Setiap orang selalu kesulitan dan membutuhkan adaptasi ketika menempati tempat kerja yang baru, bukan? Begitu pula dengan pembalap F1 yang pindah dari satu tim ke tim lainnya, apalagi dengan pengalaman yang bisa dibilang minim. Itulah gambaran dari Pierre Gasly musim ini.
Musim lalu, dia memulai debut musim penuhnya di F1 (musim 2017 sudah debut balapan) bersama Toro Rosso sebagai pembalap akademi Red Bull yang sudah pasti mengincar kursi di tim utama. Musim ini, dia mendapat kesempatan untuk membalap di kursi tim Red Bull, salah satu dari tiga tim besar di F1.
Seperti gambaran pada paragraf kedua, Gasly kesulitan dalam memberikan penampilan terbaiknya di Red Bull. Lebih tepatnya, di bawah ekspektasi publik. Padahal sudah melakoni ronde kedelapan, namun hasil positif tak kunjung menghampiri.
Sejauh ini, pembalap Prancis ini tak mampu menembus 4 besar ketika menyelesaikan balapan. Finis terbaiknya ada di GP Monako lalu, dimana dia menyentuh garis finis di urutan kelima ditambah raihan fastest lap.
Sebenarnya apa yang dialami Pierre Gasly ini bisa dibilang cukup wajar, apalagi dalam dunia balap beserta segala kompleksitasnya. Gasly yang baru "naik kelas" dari masa belajarnya di Toro Rosso ke Red Bull sebagai tim utama, tentu saja seperti yang dituliskan pada paragraf pertama akan sulit dan butuh adaptasi.
Hal itu sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh bos tim Toro Rosso, Franz Tost musim lalu. Dimana dia mengatakan bahwa Gasly jelas akan kesulitan pada periode awalnya di Red Bull. Terlebih ini bukan tim papan tengah yang biasa ditempati pembalap debutan untuk belajar seperti Toro Rosso. Tapi, ini adalah Red Bull dengan reputasinya yang pernah dominasi F1 musim 2010-2013 dengan segudang trofi.
Dengan reputasi Red Bull sebagai penantang baris depan bersama Ferrari dan Mercedes, tentu sudah memberi tekanan tersendiri pada diri Pierre Gasly. Dan itu normal. Ya, sudah pasti, siapa yang tidak tertekan membalap dengan salah satu tim besar di F1?
Jika bicara masalah tekanan, pasti semua pembalap juga merasakan tekanan (kecuali mungkin duoa Williams, karena tempat finis mereka selalu sama, hehe). Tetapi, tekanan yang diterima oleh Gasly, sepertinya agak berbeda dengan pembalap kebanyakan, mengingat ini adalah musim pertamanya di Red Bull.
Mulai dari tekanan media yang terus menerus menanyakan performa dirinya ketika balapan yang tidak bagus-bagus amat, kemudian rumor ini itu yang mengecap penampilan Gasly sebagai penampilan yang di bawah standar untuk tim sekelas Red Bull. Lalu tekanan dari penggemar yang sudah berekspektasi tinggi terhadap Gasly.
Bicara soal tekanan dari penggemar, bisa dibilang tekanannya cukup besar mengingat ekspektasi yang dibebankan kepada Gasly cukup besar. Ketika pertama kali diumumkan saat nama Pierre Gasly akan menggantikan Daniel Ricciardo untuk dampingi Max Verstappen, reaksi para penggemar saat itu adalah ini akan menjadi duet maut.
Hal ini dikarenakan pada musim sebelumnya, musim 2018, dimana Gasly lakoni musim penuh pertamanya di F1 bersama Toro Rosso-Honda, dia berhasil mencuri perhatian para penggemar F1 dengan penampilan apik nan heroiknya pada GP Bahrain, dimana dia berhasil finis di posisi keempat, finis terbaiknya sampai saat ini yang sayangnya belum bisa dia ulangi bersama Red Bull.
Selain itu, sifat khas Gasly yang bila kata penggemar "garang" di radio dan seringkali tak mau mengikuti instruksi tim untuk memberikan jalan kepada rekan setimnya (Brendon Hartley saat itu), juga dinilai akan memberi nuansa drama di dalam tim Red Bull musim mendatang.
Jadi, bahkan sebelum musim 2019 ini bergulir, pun, pembalap berusia 23 tahun ini sudah menghadapi tekanan berupa ekspektasi: duet maut bersama Verstappen dan mampu beri perlawanan berarti kepada Verstappen yang sudah dianggap anak emas di Red Bull. Dari sini saja kita sudah bisa bayangkan betapa sambat-nya batin seorang Pierre Gasly.
Ekspektasi tersebut rupanya membawa Gasly ke tekanan yang lain. Yaitu tekanan dari rekan setimnya sendiri, Max Verstappen yang perkasa. Untuk yang ini, sudah jelas dan pasti Gasly akan berada di bawah bayang-bayang penampilan superior Verstappen. Bagaimana tidak? jika dilihat dari statistik, Verstappen unggul sangat jauh dari Gasly, dimana pembalap Belanda tersebut sudah koleksi 100 poin dan dua kali podium, sedangkan Gasly baru 37 poin dan menembus empat besar saja belum.
Tentu masih segar di kepala, bagaimana Helmut Marko menurunkan kelas seorang Daniil Kvyat dari Red Bull ke Toro Rosso pada ronde kelima musim 2016 dikarenakan ulah "Torpedo" Kvyat serta penampilan inkonsistensinya, lalu mempromosikan anak emas mereka, Max Verstappen ke tim utama Red Bull. Akankah itu terulang bagi Gasly?
Rasanya untuk sekarang ini Helmut Marko tidak akan melakukan keputusan yang dia buat tiga tahun lalu itu kepada Gasly, karena tentu ini masih musim perdananya di Red Bull dan dia butuh adaptasi untuk bisa klop dengan tim dan mobil RB15. Tetapi, tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam benak Dr. Marko. Apalagi jika suatu hari nanti dia melihat salah satu dari duo Toro Rosso bertaji sedangkan Gasly masih begitu-begitu saja.
Yang jelas, tekanan dari Helmut Marko pasti sangatlah kuat kepada Gasly. Bukan hanya pada Gasly seorang saja, namun sepertinya seluruh pembalap mobil yang terafiliasi dengan Red Bull pasti juga akan merasakan tekanan yang sama. Takut didepak oleh Helmut Marko.
Selain masalah tekanan yang berhubungan dengan psikologis, penampilan standar Pierre Gasly di Red Bull pada musim perdananya juga disebabkan oleh masalah teknis. Masalah yang sering menderanya adalah seringkali merasa tidak cocok dengan setup mobil yang digunakannya.
Seperti pada GP Prancis lalu, dimana dia mengalami kesalahan pada setup mobil yang membuatnya kehilangan keseimbangan di tikungan dan lambat di trek lurus. Atau saat GP Bahrain, dimana dia kesulitan dalam hal mendapat traksi yang bagus saat keluar tikungan karena setup yang kurang pas.
Belum lagi ini juga musim pertama Red Bull bekerja sama dengan Honda sebagai penyuplai mesin dan tim pabrikan. Walaupun mesin Honda mereka sudah lebih baik dari segi ketahanan, namun dari segi kecepatan, nampaknya belum bagus-bagus amat. Spek terbaru mereka yang diluncurkan pada GP Prancis lalu, nyatanya kalah dengan mesin Renault dari Mclaren, apalagi dengan Mercedes dan Ferrari.
Selain masalah teknis, strategi juga berpengaruh terhadap performa Pierre Gasly sejauh ini. Seperti lagi-lagi pada GP Prancis lalu, dimana dia menjadi satu dari dua pembalap yang memulai balapan dengan ban paling lunak, soft, bersama Antonio Giovinazzi. Padahal kompon tersebut sangat dihindari oleh semua pembalap. Beruntung dia bisa finis di posisi 10, terbantu oleh penalti Daniel Ricciardo.
Tidak usah bertanya apakah Gasly bisa bangkit atau tidak, karena jawabannya sudah pasti bisa. Sangat bisa malahan. Hanya masalah waktu saja, kapan seorang Gasly bisa secepatnya menyesuaikan diri gaya balapnya dengan RB15, gunakan setup yang cocok, strategi yang sesuai, mesin Honda yang semoga semakin baik dan determinasi baja yang diperlukan untuk melawan Max Verstappen. Ini hanya masalah waktu saja.
Yang jelas, kita sebagai penggemar F1 sangat membutuhkan sosok Pierre Gasly untuk hadir dalam persaingan dalam merebut tempat podium. Lebih dari itu, kita menginginkan duet Gasly-Verstappen dapat menghasilkan drama yang membuat kita mendapat hiburan baru di tengah menjemukannya dominasi Mercedes di podium tertinggi dan betapa sambat-nya kita terhadap performa Ferrari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H