Selain itu, sifat khas Gasly yang bila kata penggemar "garang" di radio dan seringkali tak mau mengikuti instruksi tim untuk memberikan jalan kepada rekan setimnya (Brendon Hartley saat itu), juga dinilai akan memberi nuansa drama di dalam tim Red Bull musim mendatang.
Jadi, bahkan sebelum musim 2019 ini bergulir, pun, pembalap berusia 23 tahun ini sudah menghadapi tekanan berupa ekspektasi: duet maut bersama Verstappen dan mampu beri perlawanan berarti kepada Verstappen yang sudah dianggap anak emas di Red Bull. Dari sini saja kita sudah bisa bayangkan betapa sambat-nya batin seorang Pierre Gasly.
Ekspektasi tersebut rupanya membawa Gasly ke tekanan yang lain. Yaitu tekanan dari rekan setimnya sendiri, Max Verstappen yang perkasa. Untuk yang ini, sudah jelas dan pasti Gasly akan berada di bawah bayang-bayang penampilan superior Verstappen. Bagaimana tidak? jika dilihat dari statistik, Verstappen unggul sangat jauh dari Gasly, dimana pembalap Belanda tersebut sudah koleksi 100 poin dan dua kali podium, sedangkan Gasly baru 37 poin dan menembus empat besar saja belum.
Tentu masih segar di kepala, bagaimana Helmut Marko menurunkan kelas seorang Daniil Kvyat dari Red Bull ke Toro Rosso pada ronde kelima musim 2016 dikarenakan ulah "Torpedo" Kvyat serta penampilan inkonsistensinya, lalu mempromosikan anak emas mereka, Max Verstappen ke tim utama Red Bull. Akankah itu terulang bagi Gasly?
Rasanya untuk sekarang ini Helmut Marko tidak akan melakukan keputusan yang dia buat tiga tahun lalu itu kepada Gasly, karena tentu ini masih musim perdananya di Red Bull dan dia butuh adaptasi untuk bisa klop dengan tim dan mobil RB15. Tetapi, tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam benak Dr. Marko. Apalagi jika suatu hari nanti dia melihat salah satu dari duo Toro Rosso bertaji sedangkan Gasly masih begitu-begitu saja.
Yang jelas, tekanan dari Helmut Marko pasti sangatlah kuat kepada Gasly. Bukan hanya pada Gasly seorang saja, namun sepertinya seluruh pembalap mobil yang terafiliasi dengan Red Bull pasti juga akan merasakan tekanan yang sama. Takut didepak oleh Helmut Marko.
Selain masalah tekanan yang berhubungan dengan psikologis, penampilan standar Pierre Gasly di Red Bull pada musim perdananya juga disebabkan oleh masalah teknis. Masalah yang sering menderanya adalah seringkali merasa tidak cocok dengan setup mobil yang digunakannya.
Seperti pada GP Prancis lalu, dimana dia mengalami kesalahan pada setup mobil yang membuatnya kehilangan keseimbangan di tikungan dan lambat di trek lurus. Atau saat GP Bahrain, dimana dia kesulitan dalam hal mendapat traksi yang bagus saat keluar tikungan karena setup yang kurang pas.
Belum lagi ini juga musim pertama Red Bull bekerja sama dengan Honda sebagai penyuplai mesin dan tim pabrikan. Walaupun mesin Honda mereka sudah lebih baik dari segi ketahanan, namun dari segi kecepatan, nampaknya belum bagus-bagus amat. Spek terbaru mereka yang diluncurkan pada GP Prancis lalu, nyatanya kalah dengan mesin Renault dari Mclaren, apalagi dengan Mercedes dan Ferrari.
Selain masalah teknis, strategi juga berpengaruh terhadap performa Pierre Gasly sejauh ini. Seperti lagi-lagi pada GP Prancis lalu, dimana dia menjadi satu dari dua pembalap yang memulai balapan dengan ban paling lunak, soft, bersama Antonio Giovinazzi. Padahal kompon tersebut sangat dihindari oleh semua pembalap. Beruntung dia bisa finis di posisi 10, terbantu oleh penalti Daniel Ricciardo.