Dia menarik nafas panjang sambil tersenyum manis. "Ketika aku menyadari, cinta yang sejati tidak pernah meminta untuk dimiliki. Jika harus memilih antara kebahagiaan kami dan kehancuran keluarganya, aku lebih memilih untuk membebaskan cinta ini. Aku ingin cinta kami tetap murni, tetap tulus, dan tak harus bersama."
Icha mengibaratkan proses panjang penerimaannya sebagai bunga yang mekar perlahan. Setiap kelopak yang terbuka mengungkapkan rasa sakit yang harus dia hadapi. "Aku belajar mencintai Danar dalam diam, dalam doa, tanpa harus mengganggu kehidupannya. Cinta ini membebaskanku dari kepemilikan. Setiap kenangan indah bersamanya adalah pelajaran tentang kebahagiaan sejati."
Aku terdiam, terharu mendengarnya. "Kamu sungguh kuat, Cha."
"Sebenarnya tidak, Nad. Aku hanya belajar menerima bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk yang kita harapkan. Terkadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk mencintai."
Dia menatap keluar jendela, sinar senja memantulkan kilauan di matanya. "Aku percaya, ada waktu dan tempat untuk segala sesuatu. Jika tidak di sini, mungkin di kehidupan berikutnya. Yang penting, cinta ini tetap ada, tak berubah."
Nadia merengkuhnya dalam pelukan, merasakan kedamaian yang Icha temukan setelah perjalanan panjang sebuah penerimaan. "Kau tahu, Cha, aku bangga padamu. Kau mengajarkan arti cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak menuntut dan tidak menyakiti."
Icha tersenyum. "Terima kasih, Nad. Aku hanya ingin bahagia, dan bagiku, melihat Danar bahagia sudah cukup. Cinta sejati adalah tentang memberi, bukan memiliki."
Malam mulai turun, membawa serta ketenangan yang menyejukkan hati. Mereka berdua duduk bersama dalam keheningan, merenungi perjalanan cinta Icha yang penuh pengorbanan dan penerimaan.
Sunyi itu kembali hadir, menutup setiap akhir pembicaraan tentang cinta yang suci dan membebaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H