"Cha ...."
Belum lagi selesai Nadia bicara, Icha menukas, "Aku tahu apa yang mau kamu sampaikan, Nad, tapi cinta ini begitu kuat. Kau tahu kan, selama ini aku belum pernah jatuh cinta kepada siapa pun kecuali Danar?"
Nadia terdiam karena memang begitulah adanya. Icha memang belum pernah jatuh cinta, saat dia berkenalan dengan Danar di usia 25 tahun. Bahkan, hingga saat ini, seperti tidak ada ruang lagi dalam hatinya untuk lelaki lain, selain Danar.
"Lalu, apa yang mau kamu lakukan, Cha, kamu tidak bisa mengubah apa pun." Hanya itu yang mampu Nadia ucapkan, tak tahu lagi  harus berkata apa.
"Nad, ini hanya upayaku untuk sejenak mengenang cinta kami. Aku tak hendak mempertanyakan ini pada-Nya, karena aku tahu mata penuh cinta itu bukan milikku, rengkuh hangat, dan kecupan ringan itu juga tak seharusnya ada. Bagiku, cinta itu suci dan kusucian itu seharusnya tidak merusak apa pun. Cinta seharusnya hanya menghadirkan bahagia." Icha berhenti sejenak, menarik nafas dan kembali tersenyum.
"Entah sudah berapa kali Danar mengajak aku menikah, tapi selalu aku tolak, kan?" lanjutnya sambil melihat ke arah Nadia yang dibalas dengan anggukan ringan.
Ya, Nadia sangat tahu hal itu. Setelah pengakuan Danar saat pertemuan terakhir mereka, Danar berulang kontak Icha dan ingin menikahinya. Danar mengaku dia sangat menginginkan Icha dalam hidupnya, tetapi di sisi lain, dia tidak tega meninggalkan keluarganya.
Bagi Icha, bersatunya mereka akan merusak kehidupan seorang istri dan dua anak yang begitu mencintai Danar. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri semua kisahnya dengan Danar dan Nadia adalah satu-satunya saksi, betapa limbungnya Icha kala itu.
Icha memahami bahwa cinta sejati tidak selalu berarti memiliki. Cinta sejati adalah tentang kebahagiaan orang yang kita cintai, meskipun itu berarti harus melepaskannya. Ia menghabiskan waktu dengan merenungkan makna cinta dan pengorbanan, mencoba menemukan kedamaian dalam hatinya.
Dia sering berbicara dengan Nadia tentang perasaannya, "Nad, aku sadar bahwa kebahagiaan Danar juga adalah kebahagiaanku. Aku tidak bisa egois dengan memintanya meninggalkan keluarganya." Nadia mengangguk, memahami kedalaman perasaan sahabatnya, "Aku bangga padamu, Icha. Kamu mengajarkan arti cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak menuntut dan tidak menyakiti."
Nadia menatap Icha penuh kasih. Dia tahu sahabatnya itu sedang berusaha mengumpulkan kepingan kenangan indah yang berakhir dengan kesedihan. Nadia memilih membiarkan Icha berkelana dalam lorong waktu memorinya.
oOo