Masalahnya, tidak ada bukti kepemilikan tanah tersebut. Pemerintah desa hanya memberikan petok D sebagai surat keterangan pemilikan tanah. Sekadar catatan, tanah yang diklaim milik pak Hilal tersebut merupakan tanah milik Perhutani. Pada saat itu, dokumen petok D memiliki kedudukan yang sama dengan sertifikat tanah yang ada saat ini. Bahkan tanah dengan dokumen tersebut bisa diperjualbelikan.
Namun setelah penerbitan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, petok D tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah atau bangunan. Lantas bagaimana solusinya? Pak Hilal sudah telanjur membeli sebidang tanah setelah keluar aturan itu dan baru-baru ini mengetahuinya.
Pak Hilal menyadari bahwa masalah ini bisa menjadi konflik, terutama jika generasi berikutnya kurang peduli atau kurang memahami pentingnya menjaga aset tanah keluarga. "Bagaimana kalau anak-anakku tidak tahu cara mengurus tanah ini? Apa mereka akan mampu melindunginya?" pikir Pak Hilal.
Manfaat Bank Tanah dalam Kehidupan Sehari-hari
Ketika kepala desa menjelaskan lebih jauh, Pak Hilal mulai menyadari pentingnya keberadaan bank tanah. Beberapa manfaat yang ditekankan antara lain:
1.Keamanan Hak Milik
Bank tanah membantu memastikan bahwa setiap tanah memiliki status hukum yang jelas. Hal ini mengurangi konflik tanah yang sering terjadi di masyarakat.
2.Kemudahan Akses Tanah
Bank tanah menyediakan lahan bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti petani baru atau keluarga muda yang ingin membangun rumah.
3.Pengelolaan Sumber Daya
Tanah yang tidak produktif dapat dioptimalkan untuk keperluan publik, seperti pembangunan fasilitas umum atau penghijauan.