Menjelang puasa Ramadan, bioskop hingga stasiun televisi marak memproduksi dan menayangkan 'film religi'. Namun masyarakat seakan sudah terkontaminasi bahwa film religi harus bernuansa Islami.
Pengertian Religi
Religi dalam pengertian mendasar adalah keyakinan seseorang terhadap sebuah ajaran yang menjadi pedoman dalam kehidupannya. Sudah kita ketahui, mayoritas manusia memiliki keyakinan dalam menjalani kehidupan. Pada setiap keyakinan akan mengajarkan manusia untuk berbuat baik antarsesama manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah religi berasal dari bahaa Latin 'Religare' yang berarti suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguhan dalam melakukan perbuatan.
Istilah religi juga mengacu dari kata 'Relegare' yang berarti perbuatan bersama dalam ikatan mengasihi. Kedua istilah ini merujuk pada corak kehidupan manusia secara individual dan sosial dalam kegiatan religius atau yang bersifat keagamaan.
Menurut Koentjaraningrat dalam jurnal Sistem Religi dan Kepercayaan Masyarakat Kampung Adat Kuta Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis oleh Eka Kurnia dan Nurina Dyahstilah, religi mencakup keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan tingkah laku, alam pikiran, dan perasaan manusia sebagai penganut suatu kepercayaan.
Oleh karena itu, film yang dianggap bertema religi yakni film yang mencakup dimensi religi itu. Dan sudah kita ketahui pula, Indonesia mengakui keberadaan lima agama dalam kepercayaan masyarakat. Sudah sepatutnya pula, film religi juga memasukkan film-film dari agama lain, bukan hanya Islami. Meski film-film berlatar belakang agama lain belum banyak berani muncul di layar kaca.
Pionir Film Religi
Di Indonesia, label film bergenre religi masuk Indonesia melalui film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008. Kala itu Hanung Bramantyo selaku sutradara mulai memasukkan unsur budaya Timur Tengah dalam sinema Indonesia.
Label film religi didapat dengan memasukkan nilai budaya dari segmen agama. Pemain memakai baju koko, peci, jilbab/kerudung, bahkan cadar. Simbol lain berupa aktivitas keagamaan yang dilakukan di rumah/tempat ibadah. Sekaligus dialog yang mengutip kitab Al Quran atau Hadits.
Perjalanan film religi di Tanah Air telah muncul sejak tahun 1950 hingga tahun 1980-an. Saat itu sudah muncul film yang sarat makna nilai kehidupan. Seperti Dosa Tak Berampun pada 1951 meski isi ceritanya malah mengisahkan seorang ayah yang meninggalkan keluarganya. Film berujung sang anak tidak mengakui ayahnya tersebut.
Film religi yang sarat dengan nilai Islam yakni Tauhid (1964) karya Asrul Sani. Film itu mengisahkan seorang dokter kapal yang seringkali bertugas dalam perjalanan ke Tanah Suci tapi tidak turut menunaikan ibadah haji. Atau film Ja Mualim (1968) karya Usmar Ismail yang juga menceritakan perihal rukun Islam kelima tersebut.
Yang bikin bangga, film Al Kautsar (1977) besutan Chaerul Umam berhasil menyandang penghargaan Tata Suara Terbaik di Festival Film Asia XXIII di Bangkok.
Film Berlantunkan Musik Dangdut
Era 1980-an mulai marak film religi yang dipasangkan dengan lantunan melodi seni musik dangdut. Kepiawaian Rhoma Irama sebagai penyanyi sekaligus aktor menjadikannya sebagai Raja Dangdut yang kita kenal hingga sekarang.
Filmnya yang terkenal antara lain Perjuangan dan Doa, Keagungan Tuhan hingga Nada dan Dakwah yang menggandeng KH Zainuddin MZ.
Kebangkitan film religi Tanah Air juga mulai membuncah dengan film Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), yang merupakan produksi ulang dari film Asrul Sani. Film tersebut memenangkan penghargaan Skenario Terbaik, nominasi Sutradara, Pemeran Utama Pria, Pemeran Utama Wanita, Pemeran Pembantu Pria, Editing, Fotografi, Musik dan Artistik Terbaik di ajang Festival Film Indonesia tahun 1983.
Puncak Kebangkitan Industri Film Religi
Film Ayat-Ayat Cinta pada 2008 dipercaya sebagai momentum kebangkitan industri film religi di Tanah Air. Sejak diputar pada 2008, film tersebut telah dilihat lebih dari 3,6 juta penonton. Hal ini mendorong sineas lain ikut serta memproduksi film serupa.
Kendati Indonesia yang mayoritas muslim menjadi pasar potensial penonton yang jelas, perjalanan sineas muda menggarap film religi tak semudah membalikkan telapak tangan.
Hanung Bramantyo yang menggarap film adaptasi dari novel best seller karya Habiburrahman El Shirazy ini mengatakan, bukan perkara film Islami pasti banyak penonton. Namun bagaimana inovasi yang dibawa dalam film itu.
Meski hampir 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim, tetap saja mereka selalu menyukai hal-hal baru. Terbukti film-film religi setelah itu masih belum dapat mengalahkan karya Hanung. Setidaknya yang terjadi pada medio 2007-2022. Mayoritas penonton Indonesia masih menyukai genre horor, komedi, dan drama remaja.
Film Religi Tak Harus Islami
Saya kembali setuju dengan Hanung yang menyebut film religi cuma menjadi penyedap rasa film Indonesia. Bahkan kategori/genre film religi itu tidak ada. Yang ada hanya drama berlatar agama karena dasar ceritanya adalah agama.
Film religi juga tak memiliki batasan jelas. Apakah pemain harus menggunakan kerudung (jilbab) dan peci, mengucapkan assalamu'alaikum, melakukan salat dan mengaji? Sementara film di jazirah Arab juga memakai simbol-simbol tersebut tapi tak bernilai religi.
Yang lebih parah, film bernuansa Islami juga harus memberikan tuntunan Islami. Misalnya semua pemain harus memakai simbol agama tadi/menutup aurat. Padahal kenyataan di masyarakat, kehidupan terlalu heterogen.
Imbasnya, sineas akan dihadapkan pada pilihan, membuat film sesuai ketentuan Islam (tidak mempertontonkan aurat) atau membuat film yang terasa utopis (cerita yang tidak sesuai kenyataan).
Begitulah yang terjadi saat keluar gedung bioskop setelah menonton film Ayat-Ayat Cinta. Masyarakat terlanjur suka dengan sosok Fahri yang diperankan Fedi Nuril. Namun sosok seperti Fahri ini susah banget ditemukan di dunia nyata. Udah ganteng, sholeh, baik, pokoknya sifat-sifat yang baik ada pada dia deh semuanya. Kayaknya kita dibikin halu (istilah anak sekarang bucin) dengan sosok Fahri.
Tak Penting Film Religi
Bagiku, film sekelas KKN Di Desa Penari pun layak dimasukkan genre religi. Film terlaris sepanjang masa di Indonesia (setidaknya pada 2007-2023) ini mengisahkan tentang perjalanan anak kuliah sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa, tapi melanggar aturan di desa tersebut.
Bagaimana pun film ini mengadopsi kearifan lokal masyarakat. Kepercayaan yang diyakini masyarakat setempat. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Kepiawaian produser pun patut didukung. Film yang berangkat dari trending topic media sosial, akhirnya bisa difilmkan dan kembali menjadi viral. Imbasnya, jumlah penonton membeludak. Pihak rumah produksi pun untung.
Kembali lagi, saya pribadi juga sependapat dengan pernyataan Hanung yang menyebut, "Setiap film itu membawa pesan. Film religi/ bukan, film harus tetap membawa pesan positif untuk para penontonnya. Karena itu bagian dari dakwah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H