Hanung Bramantyo yang menggarap film adaptasi dari novel best seller karya Habiburrahman El Shirazy ini mengatakan, bukan perkara film Islami pasti banyak penonton. Namun bagaimana inovasi yang dibawa dalam film itu.
Meski hampir 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim, tetap saja mereka selalu menyukai hal-hal baru. Terbukti film-film religi setelah itu masih belum dapat mengalahkan karya Hanung. Setidaknya yang terjadi pada medio 2007-2022. Mayoritas penonton Indonesia masih menyukai genre horor, komedi, dan drama remaja.
Film Religi Tak Harus Islami
Saya kembali setuju dengan Hanung yang menyebut film religi cuma menjadi penyedap rasa film Indonesia. Bahkan kategori/genre film religi itu tidak ada. Yang ada hanya drama berlatar agama karena dasar ceritanya adalah agama.
Film religi juga tak memiliki batasan jelas. Apakah pemain harus menggunakan kerudung (jilbab) dan peci, mengucapkan assalamu'alaikum, melakukan salat dan mengaji? Sementara film di jazirah Arab juga memakai simbol-simbol tersebut tapi tak bernilai religi.
Yang lebih parah, film bernuansa Islami juga harus memberikan tuntunan Islami. Misalnya semua pemain harus memakai simbol agama tadi/menutup aurat. Padahal kenyataan di masyarakat, kehidupan terlalu heterogen.
Imbasnya, sineas akan dihadapkan pada pilihan, membuat film sesuai ketentuan Islam (tidak mempertontonkan aurat) atau membuat film yang terasa utopis (cerita yang tidak sesuai kenyataan).
Begitulah yang terjadi saat keluar gedung bioskop setelah menonton film Ayat-Ayat Cinta. Masyarakat terlanjur suka dengan sosok Fahri yang diperankan Fedi Nuril. Namun sosok seperti Fahri ini susah banget ditemukan di dunia nyata. Udah ganteng, sholeh, baik, pokoknya sifat-sifat yang baik ada pada dia deh semuanya. Kayaknya kita dibikin halu (istilah anak sekarang bucin) dengan sosok Fahri.
Tak Penting Film Religi