Melintas kembali bayangan bapak. Aku begitu beruntung diberi seorang bapak sepertinya walau raganya sudah tak ada tapi hasil keringatnya pun mampu menjaga keluarga dan tetanggaku dari hujan dan panas.
"Udah jangan sedih, lihat kita semua tak ada yang menangis, karena semua sama. Sama-sama susah,mungkin ini cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa jika Tuhan berkehendak dalam hitungan detik bisa hancur lebur." kata adik bungsuku yang begitu kucemaskan keadaannya karena aku begitu menyayanginya.
Luar biasa. Mereka mampu tersenyum, ditengah luka yang mendera, tidur berselimut angin malam dan nyanyian jangkrik yang riang gembira seolah punya teman dimalam hari  yang sesekali diayun oleh getaran bumi yang belum puas membuai mereka.
"Tuhan, berikan semua saudaraku ini ketabahan dan keyakinan bahwa dibalik semua ini ada hikmahnya dan mampu untuk tetap mendekatkan dirinya kepada-Mu".
 Tak terasa malam menjelang, kubenamkan semua kepedihanku dibalik selimut yang tak mampu membuat badanku hangat.  Mataku tertuju pada puing-puing rumah yang tinggal ambruk. Sesekali gempa membuai membuat tubuhku ngilu.
Ampun yaAllah. Jika laku yang membuat semua terjadi maafkan kami. Jika lupa yang membuat Kau murka ingatkan kami
Kutarik selimutku, kupeluk tubuh letih ibuku dan kubenamkan dukaku malam itu di reruntuhan tahta kenangan bersama bapakku.Â
[ Peristiwa: Gempa Sumbar 2009]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H