Aku ngilu! Sejenak aku terdiam dalam sesak .  Aku tak tau aku mau apa, suhu ruangan di kantor ku terasa begitu dingin, aku menggigil dan tangisku semakin sulit untuk kubendung.  Kiranya ada seseorang yang mengerti apa yang aku rasakan, ia salma, teman dekat ku di kantor, ia datang menghampiri dan bertanya ada apa denganku. Ku tunjukkan isi pesan itu padanya. dia diam  dan mendekapku. Yah tangis ku pecah,  aku tak mampu lagi menahan, tidak peduli itu di kantor, aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapan sahabatku itu.  Berusaha ia menenangkanku tapi tak jua aku tenang, kenangan itu terus berputar dan air mataku terus mengalir. Â
Dulu bapak yang terbujur kaku di tengah rumah itu. Sekarang! Kenangan bersama bapak di tengah rumah itupun telah porak poranda. Kubayangkan senyum bapak di rumah itu dulu, terngiang  kata --katanya di beranda depan rumah suatu malam menjelang bapak tiada.
Apapun yang diberikan ibu nanti , harus diterima dengan lapang dada ya, Nak.
Kata-kata itu nyata dan lekang diingatan. Walau dulu kata-kata itu tak ku tahu muaranya. Ku seka air mataku, ku ucap terima kasih pada sahabatku dan hal ini muncul dibenakku bahwa
 Tuhan maha pengasih dan maha adil, ia pasti punya sesuatu di balik semua ini. Tidak akan ia berikan musibah bila hambanya tidak dapat melewatinya.
Kembali kubuka SMS itu, ku yakinkan diriku. Musibah ini terjadi bukan hanya menimpa keluargaku. Banyak air mata yang lain yang juga jatuh akibat musibah ini.Â
Akhirnya kuputuskan untuk melihat rumah gadangku. Dari Bandara Minangkabau ku kumpulkan kekuatanku, kutekan dadaku kuat-kuat dengan doa penuh harap tempat kenangan itu terukir, masih bisa kutemukan. Disepanjang jalan lukisan alam yang dulu begitu menyegarkan, berganti aroma yang membuat bulu kuduk merinding bak melihat seringai kuntilanak lapar di siang hari.Â
Mata ini seolah tak mampu berkedip, melihat pesona alam yang dulu membuai rindu tuk selalu menandanginya kini berubah dingin dan menyeramkan. Tak dapat kubayangkan bagaimana getaran itu telah memporak porandakan semuanya. Belum tuntas ketidak percayaanku tentang suguhan alam yang ada di depannku, mobil yang kutumpangi telah memasuki pekarangan yang begitu akrab dengan diriku.
Turun dari mobil, kuhimpun semua kekuatan agar aku mampu tegar, tapi aku tak mampu, tak satu katapun yang mampu ku ucapkan melihat keadaan disekelilingku. Kutatap anggota keluargaku satu persatu sebelum beralih pada tetangga yang juga sedang berkumpul diteras rumahku karena rumah mereka telah rata dengan tanah. Lagi, air mataku tumpah, persendianku melemah.
"Sudahlah semua sudah kehendakNya, jangan menyesalinya. Duka ini duka semua
Suara itu menyadarkanku. Kutatap sumber suara itu, seolah tak mempercayai masih ada orang yang sanggup untuk mengucapkan kata-kata itu. Kupeluk mereka satu persatu.
"Sekarang rumah kita sudah rata dengan tanah,tapi teras rumahmu ini masih bisa untuk kami menumpang sementara" Mak Tua mengurai kesedihanku.