Darfur, Sudan -- Konflik di Darfur, Sudan yang meletus pada tahun 2003, telah mengguncang dunia dengan dampak kemanusiaan serius yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun. Pemberontakan oleh kelompok seperti Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM), yang menuntut perubahan politik dan pembagian kekuasaan yang lebih adil, memicu kekacauan. Sebagai respons, pemerintah Sudan yang dipimpin oleh Presiden Omar al-Bashir mendukung milisi Arab Janjaweed, yang melakukan serangan brutal terhadap desa-desa yang dianggap mendukung pemberontak bahkan melakukan kekerasan seperti pembunuhan massal, pemerkosaan, serta pembakaran rumah dan desa-desa. Berdasarkan data dari Refugees International, sebanyak lebih dari 300.000 orang tewas terhitung sejak tahun 2003, sementara sekitar 2,7 juta orang lainnya menjadi pengungsi yang terpaksa melarikan diri dari tanah kelahiran mereka, membentuk salah satu krisis pengungsi terbesar di dunia.
Konflik di Darfur melibatkan pertarungan antara kelompok etnis Arab dan non-Arab, semakin memburuk dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok non-Arab yang merasa dimarjinalkan oleh pemerintah. Namun, meskipun tragedi ini menarik perhatian dunia internasional, langkah konkret untuk menghentikan kekerasan sangat minim. Meskipun komunitas internasional sudah mengakui pentingnya Responsibility to Protect (R2P) sebagai suatu prinsip untuk melindungi warga sipil dari kejahatan kemanusiaan, gagal dalam memberikan respons yang efektif dan cepat Resolusi Dewan Keamanan PBB dan upaya diplomatik Uni Afrika gagal menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Darfur. Mengutip dari global centre for the responsibility to project Pemerintah Sudan justru terus mendukung milisi Janjaweed dan menanggapi tuntutan dunia dengan ketidakpedulian, sementara penderitaan di Darfur semakin dalam dan meluas.Hal ini mencerminkan kegagalan komunitas internasional dalam merespons pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut di wilayah tersebut.Â
Di sini prinsip Responsibility to Protect (R2P) adalah komitmen internasional untuk melindungi individu dari kejahatan massal, seperti genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. R2P menegaskan bahwa setiap negara bertanggung jawab melindungi rakyatnya dari kejahatan tersebut, dan jika suatu negara tidak mampu atau tidak bersedia, masyarakat internasional harus bertindak untuk melindungi warga negara tersebut.
R2P muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan humanitarian intervention yang sering dipandang ilegal karena kepentingan negara besar. Berbeda dengan intervensi kemanusiaan, R2P menekankan tanggung jawab bersama negara-negara untuk melindungi rakyat mereka dan memberikan bantuan ketika negara gagal melakukan hal tersebut. Intervensi militer hanya dilakukan sebagai langkah terakhir dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB. R2P mencakup tiga tanggung jawab utama yakni mencegah kejahatan massal, bereaksi saat kejahatan terjadi, dan membangun kembali setelah kejahatan tersebut. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan mencegah terjadinya kekejaman massal di seluruh dunia.
Konflik genosida yang terjadi di Darfur, Sudan Barat, pada tahun 2003 merupakan lanjutan dari ketegangan yang dimulai sejak tahun 1980-an. Konflik ini melibatkan pemberontakan dari kelompok-kelompok seperti Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM), yang dibantu oleh Sudanese People's Liberation Army (SPLA). Kelompok-kelompok ini menduduki fasilitas penting seperti bandara, yang memicu serangan pemerintah Sudan terhadap etnis Fur, Zaghawa, dan Masalit. Konflik tersebut menyebabkan ribuan korban jiwa dan masyarakat harus mengungsi. Hingga 2004, sekitar 30.000 orang terbunuh dan lebih dari 1,4 juta orang mengungsi. Meskipun Amerika Serikat menyatakan peristiwa ini sebagai genosida pada 1 Juni 2005, Uni Afrika (AU) dan Liga Arab menentang klaim tersebut. PBB menganggapnya sebagai krisis kemanusiaan, dengan resolusi DK PBB yang mengutuk tindakan pemerintah Sudan. Namun, langkah-langkah yang diambil tidak efektif terhadap situasi mengingat konflik masih berlangsung. Beberapa upaya perjanjian perdamaian, seperti Comprehensive Peace Agreement (CPA) dan Darfur Peace Agreement (DPA) yang gagal dijalankan.
Menghadapi krisis ini, PBB mengimplementasikan prinsip R2P untuk melindungi warga sipil. AU membentuk AMIS untuk mengawasi resolusi PBB, sementara Uni Eropa mendesak PBB untuk mengambil tindakan. Sejumlah resolusi diterbitkan, termasuk pembentukan UNMIS pada 2005 dan perluasan mandat UNAMID pada 2007, yang menggabungkan misi PBB dan AU di Darfur.
Pada 4 Maret 2009, Presiden Sudan Omar al-Bashir ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional atau  International Criminal Court (ICC) sebagai penjahat perang atas perannya dalam genosida yang mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pemindahan paksa terhadap kelompok etnis tertentu di Darfur. ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan kedua terhadap al-Bashir pada 12 Juli 2010. Al-Bashir dianggap bertanggung jawab atas upaya untuk memusnahkan kelompok etnis Fur, Masalit, dan Zaghawa selama konflik di Darfur. Proses ini menunjukkan pentingnya prinsip Responsibility to Protect (R2P), yang mendesak intervensi internasional dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun, implementasi R2P di Darfur menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi politik maupun praktis yang menghalangi respons efektif terhadap krisis ini.
Konflik yang berkepanjangan di Darfur, Sudan, mencerminkan kegagalan komunitas internasional dalam mengimplementasikan prinsip Responsibility to Protect (R2P), yang disahkan dalam KTT Dunia 2005. Konflik yang dimulai sejak 2003 ini, yang melibatkan pemberontak seperti Justice and Equality Movement (JEM) dan Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A), berakar dari ketidakadilan yang terus dirasakan oleh warga Darfur dari pemerintah Sudan. Konflik ini semakin memuncak dengan terlibatnya milisi Janjaweed yang diketahui mendapatkan dukungan oleh pemerintah Sudan yang kemudian menimbulkan dugaan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam hal pencegahan, R2P gagal mencegah kekerasan yang semakin memburuk meskipun tanda-tanda konflik sudah terlihat. Sejak awal, pemberontakan yang dipicu oleh ketidakadilan etnis dan sosial di Darfur yang tidak direspons dengan tindakan preventif yang memadai oleh komunitas internasional. Selain itu, meskipun R2P menekankan pentingnya pencegahan melalui diplomasi dan intervensi dini, upaya untuk menghindari kekerasan lebih lanjut sangat terbatas. Untuk intervensi, meskipun Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi No. 1593 yang memberikan kewenangan kepada ICC untuk menyelidiki kejahatan di Darfur, tidak ada tindakan militer yang diambil untuk melindungi warga sipil dari serangan yang terus berlanjut. Hal ini mencerminkan kegagalan pada tahap intervensi dari R2P, di mana komunitas internasional tidak bertindak tegas untuk menghentikan kekerasan.
Terakhir, dalam hal rekonstruksi setelah berakhirnya kekerasan, tantangan besar dalam membangun perdamaian dan stabilitas di Darfur muncul. Proses rekonstruksi pasca-konflik menghadapi hambatan yang signifikan, termasuk ketidakpercayaan terhadap pemerintah Sudan dan ketegangan etnis yang terus membara. Ini menunjukkan bahwa selain intervensi militer, penting bagi komunitas internasional untuk memastikan keberlanjutan perdamaian dan memfasilitasi rekonstruksi yang inklusif dan berkelanjutan. Â
Konflik Darfur mengajarkan pentingnya komitmen politik internasional untuk mendukung prinsip Responsibility to Protect (R2P). Tanpa dukungan yang konsisten dari negara-negara besar, implementasi R2P akan sulit berjalan dengan efektif. Selain itu, konflik ini menunjukkan perlunya penguatan mekanisme perlindungan dalam hukum internasional agar lebih responsif dalam menangani kejahatan kemanusiaan. Meskipun ada lembaga seperti ICC, tantangan dalam pelaksanaannya tetap ada. Kegagalan internasional dalam menangani Darfur juga menegaskan pentingnya reformasi kerja sama internasional. Negara-negara besar dan lembaga internasional perlu bertindak lebih cepat dan efisien dalam merespons tragedi kemanusiaan, tanpa terhambat oleh pertimbangan politik.
Konflik di Darfur mencerminkan kesenjangan antara prinsip moral R2P dan realitas politik global. R2P bertujuan melindungi warga sipil dari kejahatan serius, tetapi penerapannya sering kali terhambat oleh faktor politik. Untuk ke depan, diperlukan perbaikan dalam mekanisme internasional dan komitmen yang lebih kuat dari negara-negara besar.
DAFTAR PUSTAKA
Oktaviana, M. (2021). Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Dalam Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Oleh Omar Hassan Al-Bashir Di Darfur, Sudan. BELLI AC PACIS (Jurnal Hukum Internasional), 7(2), 59-67.
Rahayu, R. (2012). Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect Dalam Hukum Internasional. Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 128-136.
Retnowatik, F. W., & Pasan, E. (2021). Pelaksanaan Prinsip Responsibility To Protect PBB Dalam Penanganan Krisis Kemanusiaan Di Afrika (Republik Afrika Tengah, Sudan & Nigeria). Jurnal Sosial-Politika, 2(1), 17-30.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H