Mohon tunggu...
Dita Deviana
Dita Deviana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Ahmad Dahlan

Saya adalah seseorang yang suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Book

Buku IMM Autentik

14 November 2023   23:50 Diperbarui: 14 November 2023   23:55 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merawat Muruah Persyarikatan dan Bangsa 

          Bagi IMM, kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat seyogianya menjadi wujud pengamalan nilai-nilai kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan. Nilai-nilai yang tersemat dalam diri setiap kader menjadi kepribadian, karakter, dan perilaku yang mampu merepresentasikan nilai-nilai Islam yang hanif dan rahmat. Sehingga kehadiran kader IMM menjadi bagian dari inti masyarakat. Tentu, IMM sebagai organisasi dakwah, memiliki peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam dakwahnya, IMM berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Baik itu dalam dakwah keagamaan maupun kemasyarakatan, termasuk dalam urusan politik. IMM tidak perlu berafiliasi dengan parpol atau terlibat dalam politik praktis menjalankan misi dakwahnya. Karena, parpol ataupun politik praktis (real politic) lebih berorientasi jangka pendek dan cenderung memandang politik sebagai ajang perebutan kekuasaan. Sementara IMM –sebagaimana Muhammadiyah-, memandang politik sebagai ilmu, sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Yang tentunya memiliki orientasi jangka panjang dan luas.  

          Peran IMM dalam kehidupan politik, dapat dilihat dari proses penyemaian karakter kepemimpinan kader, dengan adanya profil kader dan trikompetensi dasar (humanitas, intelektualitas, dan religiositas). Singkat kata, secara etik, IMM (sebagai anak kandung Muhammadiyah) memiliki tanggung jawab moral menyiapkan kader-kader –secara individu- terbaik untuk mampu dan layak berkiprah di mana pun –termasuk dunia politik. Kader IMM juga harus mau terlibat dalam berbagai bidang kehidupan dan bergumul dengan masyarakat. Karena itulah sejatinya wujud gerakan intelektual yang membumi dan autentik, yakni berdiri sendiri dan berdasar pada kemurnian; keikhlasan dan ketulusan. Selain itu, kader IMM juga dituntut untuk mampu memfilter (dan sebisa mungkin menghilangkan) nalar pragmatis dan oportunis yang dewasa ini menjangkiti kebanyakan kaum muda.

REFLEKSI 52 TAHUN; TRADISI INTELEKTUAL IMM

          Lima puluh dua tahun sudah, kini momentum bagi kita; segenap keluarga besar IMM, untuk sama-sama merefleksi dan muhasabah diri. Tentang bagaimana semrawutnya wajah kita saat ini. Dan, bagaimana perkembangan tradisi intelektual di dalam tubuh ikatan saat ini.

Membangun Tradisi Intelektual; Perkuat Akar Gerakan 

          Tradisi intelektual adalah akar dari suatu gerakan. Dalam artian sebagai pembangun dan pemerkuat landasan gerakan. Jika tradisi ini luntur, maka pupuslah gerakan-gerakan yang kita perjuangkan. Dan akan berujung kepada stagnasi gerakan. Intelektual, seperti yang dikatakan Kuntowijoyo adalah orang yang hidup dalam masyarakat dan meminjamkan pisau anali-sisnya kepada masyarakat, agar mereka (masyarakat) bisa menghadapi problematika dan merumuskan sendiri solusinya. Maka seyogianya, seorang intelektual memiliki cakrawala keilmuan yang mumpuni, berpikir yang logis dan ilmiah, serta memiliki keikhlasan untuk bermasyarakat, guna menjawab setiap tantangan realitas. Jika kita merujuk kepada tradisi intelektual yang dilakukan Ki Bagus Hadikusumo semasa hidupnya, yaitu terbagi menjadi tiga hal, membaca, menulis, dan dokumentasi. Hal yang patut kita teladani adalah membaca buku. Dengan membaca buku kita dapat menangkap informasi yang bisa kita telaah dan kontekstualisasikan ke dalam menghadapi realitas kehidupan.

          Tradisi intelektual tidaklah berhenti hanya pada dunia literasi. Dunia literasi dalam kehidupan intelektual memang sangat penting, tapi harus sampai pada tahap transformasi ide, tidak berhenti pada wacana yang biasa dikatakan utopis dan mengawang-awang. Untuk mewujudkan budaya intelektual sejati, harus sampai pada aksi (tindakan/perbuatan) dan refleksi. Maka, tradisi-tradisi intelektual, baca, tulis, dan diskusi, dapat menjadi pupuk organik yang memperkuat dan menumbuh-suburkan pohon ide dan gagasan kita, mulai dari akar sampai ke buahnya. Namun, kemudian langkah praksis (action) dan gerakan yang akan menentukan di mana sebenarnya posisi kita sebagai kaum intelektual. Dengan demikian, berikut penulis coba menjabarkan apa yang dimaksud dengan tradisi intelektual dan bagaimana bangunan tradisi tersebut bisa dibangun :

Membaca; Menangkap Rentetan Makna 

          Iqro’ sebagaimana kita ketahui adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang pada waktu itu msih ummi (belum bisa membaca aksara). Hingga beliau kemudian mengerahkan tenaganya, sampai berkeringat dan gemetar. Begitu pula kita, sebagai makhluk intelektual harus bisa membaca. Membaca dalam arti yang luas, yakni membaca aksara tulisan (Al-Quran, hadis, dan teori-teori) maupun aksa-ra realitas (kemiskinan, penindasan, kesewenang[1]wenangan, dan sebagainya). Sebagai bentuk penghambaan diri kita kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat untuk bisa memaknai dan meresapi setiap aksara baik tersirat maupun tersurat. Untuk kemudian mengejanya menjadi ilmu dan kearifan tindak. Yang dengan membacalah kita bisa mengisi kekosongan otak dan hati kita. “Mari kita ngosong, biar gampang ngisi” (kata Mbah Sujiwo Tejo).

Diskusi; Dari Wacana Utopis Ke Praksis-Realistis 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun