Ada banyak definisi yang menerangkan tentang Ibu , ribuan  puisi  dan bahkan berjuta -juta buku  menceritakan kemulian seorang ibu yang dikarang oleh para pengagum sang bunga kehidupan untuk mengagungkan sosok jiwa yang melahirkan anak-anak manusia atas dasar fitrah kemuliannya.Â
Sayangnya semua itu takkan ada kelarnya, takkan cukup dan takkan bertemu habisnya untuk menuang lukiskan kemulian seorang Ibu. Â
Aku akui aku tak pandai merangkai kata tentang ibu, atau bahkan sekedar berpuisi sebagai makna mengagungkan tokoh yang bergelar telapak syurga tersebut seperti para penulis yang melukis bait-bait indah mengagungkan wanita yang menaruh nyawa sebagai taruhannya demi nyawa yang baru. Aku hanya mampu menggelarinya "Rupa Syurga".
Mengapa?
Lely Husna, nama ibuku. Nama yang indah seindah perangainya. Â Ibu Sekolah Pertamaku yang tidak ada SPP nya ,jam istirahat atau dering bell pertanda pulang dan bahkan tak juga berpanggung wisuda kelulusan.Â
Ada banyak hal yg dibimbingnya tak terhitung jumlahnya. Aku mengagumi kesabaran dan kebaikannya yang pemurah, gemar menyantuni anak  yatim dan piatu, dari beliau aku belajar berbagi dan memaknai bahwa rezeki yang Allah beri bukanlah untuk mengkayakan diri tetapi untuk berbagi.Â
Dari kecil aku sudah menyaksikan semua gerak gerik kebaikan ibu yang menjadikannya dicintai keluarga dan sanak saudara. Ibu tak hanya membimbingku tapi juga supporter terbaik dari usia kandungan hingga aku bergelar guru.Â
Dunia menyediakan kesempatan untuk setiap manusia menjadi pribadi yang hebat yang bisa saja di raih. Ntah menjadi presiden, dokter, pengusaha, dan sejuta bintang kedudukan di muka bumi ini.Tetapi... sederhana saja aku hanya ingin menjadi guru dan berperan sebagaimana peran yang pernah ibu ku contohkan. Pribadi yang sederhana, Sosok yang baik sebagai istri yang setelah ketiadaannya Ayahanda masih saja menyebutkan sosok mulia tersebut adalah wanita terbaik dan sosok panutan terutama bagi putra putrinya.Â
Ibuku tak hanya baik, beliau juga Ibu yang pintar, ibu yang bijak dan Setiap kali aku mendengar kata IBU aku seperti mendengar kata seindah syurga dan rangsangan rindu menghapiriku. Betapa tidak? 6 Tahun Ibu telah tiada.Â
Sebelumnya Ibu menderita gagal ginjal dan selama 6 tahun juga ibu harus berkawan dengan ruang Hemodialisa (ruang cuci darah). Aku tak pernah mendengar sekalipun ibu mengeluh, marah  atau bahkan menuang kesal dengan kesakitan yang dialami. Ibu selalu diam dalam kesakitan, pernah ibu berkata padaku bahwa "Ibu sangat bersyukur Allah memilih Ibu untuk menjalani cobaan ini" Karna menurut ibu apa yang dialami adalah rupa kasih sayang Allah padanya.Â
Dari semua itu aku menyaksikan bahwa Ibu mengajarkan ku tentang ikhlas dan sabar sampai pada akhirnya Allah menjawab cukup dengan dikirimkanNYA sang Izrail, pecah tangis dan lafas Do'a seketika serentak bercampur di ruang ICU  tepatnya Siang Berkumandang Adzan Jum'at 9 Ramadhan pada nafas terakhir ibu berucap Laa ilahaillah. (Alhamdulillah Ibu ku baik ibu ku Husnul Khatimah, InshaAllah).Â
Dari duka ini aku mulai menuang mengisahkan tentang ibu lewat bait berikut yang aku abadikan disebuah buku terindah tentang Ibu. Sebuah puisi melepas kepergian Ibu
Di siang itu benakku tak berbicaraÂ
Terus kutatap rupa syurga yang ada di hadapanku
pada detik-detik akhir masa Bunda
Tubuh tersentak di sudut permohonan
Pulang ku pulang ke rumah
Dengan tubuh yang kebingungan sudahÂ
Bertanya- tanya ini mimpikah?
Seakan hari telah berhenti di hari iniÂ
Ibu ... Aku rindu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H