"Earth provides enough to satisfy everybody's needs, but not everybody's greed---Mahatma Gandhi."
      Isu ekologi semakin santer dibicarakan dalam ruang-ruang publik dan berbagai platform. Dalam konteksnya, semakin banyak orang paham bahwa kerusakan ekologis berupa krisis iklim, kerusakan alam dan keanekaragaman hayati, pencemaran air dan udara akibat pembuangan limbah dan uap, timbunan sampah plastik dan seterusnya benar-benar terjadi di Indonesia.    Â
      Global Climate Report 2022 melaporkan tahun 2022 tercatat sebagai tahun terpanas keenam. Suhu rata-rata global 1,15 (1,02-1,28)oC di atas rata-rata tahun 1850-1900. Sepanjang 2015-2022 merupakan delapan tahun terpanas dalam catatan instrumental sejak tahun 1850 yang mengakibatkan perubahan iklim ekstrim.
      Sebagai negara tropis, memahami iklim musim Indonesia sangatlah mudah. April-September tercatat sebagai musim kemarau, sedangkan Oktober-Maret musim hujan. Namun kini kesimbangan tersebut sudah rusak. Para petani mengalami gagal panen akibat cuaca yang tidak menentu. Akibatnya kebutuhan masyarakat dan ketersediaan bahan tidak seimbang sehingga harga-harga bahan pokok melambung dan akhirnya memperlebar kesenjangan ekonomi.
      Pemenuhan ekonomi berupa industrialisasi dan pembangunan di sisi lain juga mengancam masa depan planet bumi. Gedung-gedung dibangun, pohon-pohon di tebang, dan sumber mineral dikeruk habis. Padahal, bumi dan alam semesta mempunyai prinsip-prinsip kehidupan berupa wisdom of nature dalam ruang lingkup ekosistem yang harus dipatuhi (Capra, 1996).
      Atas nama peningkatan nominal Produk Domestik Bruto (PDB), gedung-gedung di perkotaan tumbuh menjulang dan padat sebagaimana mestinya pohon-pohon tumbuh subur di tengah hutan. Padahal bumi adalah ekosistem dimana semua makhluk hidup dan manusia melangsungkan kehidupan dan berkelanjutan, oleh karenanya konsep biodiversitas sangat urgen untuk menjaga keberagaman ekologis serta keterkaitan antara satu dengan yang lain.
      Sejak tahun 2010 beberapa kebijakan telah dibuat terkait krisis iklim di Indonesia berupa komitmen pembangunan berkelanjutan, dimulai dengan tahun 2010 sebagai base-year emisi gas rumah kaca, kemudian tahun 2011 dikeluarkan peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), tahun 2014 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API), tahun 2016 Ratifikasi Persetujuan Paris (UU. No. 16/2016) dan Penyampaian National Determined Contribution (NDC), tahun 2019 peluncuran Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dan pada tahun 2021 diterbitkan Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR).
      Dengan semua kebijakan tersebut, apakah sudah bisa menjaga keberlangsungan ekologis Indonesia? memperbaiki krisis iklim misal?, Belum. Justru Global Climate Risk Index 2021 melaporkan bahwa Indonesia menduduki posisi ke-3 tingkat fatalitas risiko iklim.
      Apakah lambannya penangan krisis iklim di Indonesia karena faktor pendanaan? bahwa kita membutuhkan dana mencapai US$247,2 miliar atau sekitar Rp3,461 triliun untuk penurunan emisi pada tahun 2030 seperti yang dilaporkan oleh Second Biennial Update tahun 2018? lagi-lagi bukan.
      Mark Z. Jacobson, seorang peneliti dari Stanford mengatakan kendala utama dalam transisi energi baru terbarukan (sebagai salah satu upaya penanganan krisis iklim) bukanlah biaya, melainkan kemauan sosial dan politik yang kuat, dan disinilah pentingnya peran seorang 'green leaders' mestinya berada.
      Semua data-data dan fakta-fakta keadaan ekologis Indonesia dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja. Tapi tentu berada dalam level tahu--knowing--saja tidak cukup. Apakah setelah mengetahui, mengkaji, dan mengeksplorasi akan isu-isu ekologis, timbul perasaan--feeling-- empati akan kondisi ekologis saat ini?, selanjutnya, setelah tahu dan merasakan, apakah muncul dorongan untuk melakukan upaya nyata --action-- untuk memberikan solusi yang akan mengantarkan pada keadilan ekologis?.
      Tiga proses tersebut seharusnya menjadi identitas para pemimpin yang "pikiran" dan "hatinya" benar-benar memiliki keinginan untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sehingga melahirkan "action" berupa kebijakan pro-ekologis dengan disertai keinginan yang kuat dalam mengimplementasikannya.
      Kebijakan atau peraturan pemerintah yang sifatnya pro-ekologis akan mendukung gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan yang sudah dilakukan oleh aktivis lingkungan dan masyarakat umum. Sebagai contoh pengurangan penggunaan plastik sudah banyak digaungkan oleh para environmentalist dan didukung kajian fakta-fakta ilmiah bahaya penggunaannya.
      Aksi ini sedikit banyak telah menimbulkan kesadaran di masyarakat untuk membawa kantong belanjaan sendiri meskipun belum massiv dilakukan. Hal tersebut kemungkinan berkorelasi dengan proses diatas, ada yang masih di level -knowing - saja, atau juga sudah ada yang sampai di level --action-- namun belum mengakar kuat, sekali dua kali karena terburu-buru orang-orang masih lupa membawa kantong sendiri saat berbelanja.
      Pada 9 April 2022 Pemerintah Kota Surabaya resmi menerapkan peraturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai pada toko bisnis retail, hasilnya no more plastic bag. masyarakat sudah mawas diri untuk membawa kantong belanja sendiri, atau pun ketika lupa mereka meminjam keranjang atau troli sampai ke parkiran dan memindahkan barang belanjaan ke bagasi mobil atau motor.
      Jadi kebijakan pro-ekologis dari pemerintah dan disatukan dengan campaign dari aktivis lingkungan dan kesadaran masyarakat akan benar-benar menghasilkan tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi bumi. Namun tentu saja seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk melahirkan sebuah kebijakan pro-ekologis dibutuhkan sosok green leaders untuk mendrive hal tersebut.
      Sebaliknya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan menjadi suatu wacana yang tumpul ketika pemegang kebijakan tersebut ---leaders---tidak memiliki pikiran dan hati yang 'green', menjaga alam diperlukan integrasi multi-interdisipliner karena harus melibatkan banyak unsur-unsur, diantaranya ekologi, ekonomi, politik dan budaya. Kebijakan pro-ekologi harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang bener-benar feels in atas isu tersebut dan tergerak untuk mengatasinya.
      Dalam banyak kitab suci, Tuhan menginstruksikan untuk menyerahkan sebuah urusan pada ahlinya, maka seorang green leaders sejati seharusnya adalah mereka yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis serta memiliki skill kepemimpinan dalam menentukan kebijakan yang pro lingkungan serta memobilisasi individu lain untuk mendukung dan menerapkan kebijakan tersebut. Salam hijau dan lestari!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H