Perempuan desa di sebuah sudut kota Jawa Tengah itu bernama Sri. Tumbuh dalam sebuah keluarga dengan ayah yang berprofesi guru SD membuatnya akrab dengan berbagai bacaan seperti majalah si Kuncung dan Penyebar Semangat. Bacaan masyarakat daerah kami di jaman itu, ketika anak desa lain masih jauh dari kegemaran membaca. Dari bacaan-bacaan itulah ia mulai mengenal sosok Ibu RA Kartini, jauh sebelum ia duduk di bangku Sekolah Dasar yang semakin membuatnya mengidolakan wanita hebat di matanya setelah ibundanya.
Dan sebagai anak perempuan tertua dari 4 bersaudara, Sri terdidik lebih cepat dewasa dari usianya.
Dari ibunya yang seorang penjahit, Sri menguasai pekerjaan jahit menjahit sedari usia Sekolah Dasar. Keahliannya terus meningkat seiring dengan jam terbangnya yang kian bertambah dengan membantu Ibu menjahit pakaian keluarga maupun para pelanggannya yang membayar ongkos menjahit semampunya. Ada kalanya seseorang membayar ongkos jahit dengan setandan pisang atau beberapa kaleng beras atau kacang hijau, hasil palawija selepas panen padi.
"Usaha itu jangan hanya mengejar keuntungan, tetapi juga berkah dari Gusti Allah,..." Demikian suatu ketika Ibunya berujar, sebagai penjelasan pada sang putri mengapa selama ini sang ibu tidak pernah mematok harga tertentu untuk ongkos menjahitnya. Bahkan imbalan berupa makanan / bahan makanan pun diterima dengan ikhlas dan tangan terbuka.
"Bu, aku ingin melanjutkan ke PGSLB ( Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa ) saja. Semoga saja kelak anak-anak tuna rungu dan tuna netra seperti Marni, Surip dan Gimin tetangga kita bisa terbantu dengan pendidikan atau ketrampilan untuk bekal hidup mereka di masa nanti. Jika RA Kartini berjuang untuk kaum wanita Indonesia, aku akan berjuang untuk orang-orang yang cacat ya Bu,..." ujar Sri di tengah-tengah kesibukannya memasang kancing baju jahitan ibunya.
"Baiklah nDuk, ibu merestui saja. Apa pun cita-citamu selagi itu baik dan bisa menjadi jalan ibadah pada Gusti Allah, Ibu setuju. Semoga Bapak dan Ibu bisa mengusahakan biaya sekolahmu nanti" jawab sang Ibu dengan senyum tulusnya. Diam-diam wanita desa itu diselimuti rasa bangga. Bukan karena begitu tingginya cita-cita sang putri, namun rasa kepedulian pada sesama yang demikian besar adalah sebuah cita-cita mulia.
***
20 tahun kemudian,....
"Hallo dik Rina,... Lusa aku sampai Jakarta. Aku ndak mampir ke tempatmu maaf karena cuma sehari nganterin Sri Rejeki di Program Tali Kasih Indosiar. Doakan keluarganya atau tetangga keluarganya ada yang nonton acara tersebut sehingga ia bisa ketemu orang tuanya lagi,..." Suara Sri di sana terdengar antusias dan penuh harap.
"Oh iya Mbak Sri, aku doakan. Besok aku susul ke sana saja ya. Ini ada sedikit titipan buat Bapak dan Ibu...." Janjiku pada kakak iparku yang demikian kukagumi selama ini.
Kagum atas kepedulian sosialnya terhadap kaum difabel. Kagum pada semangatnya untuk terus belajar dan menggali potensi diri terhadap berbagai macam kesenian, aneka tari tradisional, ketrampilan pijat, merajut aneka tas, dompet, merangkai bunga, membuat bordir tangan, mengkombinasikan bordir dan lukis tangan untuk aneka produk handycraft, dst.
Dimana semua ketrampilan yang ia kuasai adalah semata-mata untuk diajarkan kembali pada murid-muridnya di Panti Kinasih, lembaga sosial di bawah Departemen Sosial Purworejo, tempat ia mengabdi selama ini.
Sri Rejeki, adalah seorang remaja putri tuna rungu wicara dengan paras jelita. Rambutnya panjang ikal hitam legam, kulit kuning langsat, bertubuh langsing dan bermata indah. Sebelum berkomunikasi dengannya, tidak akan pernah menyangka jika gadis cantik itu adalah satu di antara ribuan kaum difabel yang sering termarjinalkan.
Sri Rejeki ditemukan oleh seseorang di terminal Banyumas yang lalu dititipkan ke Panti Kinasih 7 tahun yang lalu.
Karena gadis itu buta huruf dan tak dapat menyebutkan namanya, pihak panti menamainya Sri Rejeki - yang dimaknai sebagai pemberian / titipan Tuhan.
Tujuh tahun? Ya, tak terasa telah 7 tahun Sri Rejeki tinggal di Panti, dan di bawah bimbingan Mbak Sri. Bahkan ketika libur lebaran tiba, saat anak-anak panti lain pulang ke keluarga masing-masing, Sri Rejeki turut mudik ke kampung kami di Kebumen sana.
"Eh ah uh,..." Diikuti gerakan sandi bahasa para tuna rungu wicara dengan menunjuk Mbak Sri sebagai jawaban, mau pilih ikut lebaran dengan guru yang mana. Karena Panti akan kosong tak berpenghuni beberapa hari menjelang dan selepas Idul Fitri sebagaimana biasanya.
Bukan tanpa usaha tentu saja untuk mempertemukan Sri Rejeki dengan keluarganya. Pengumuman ke seluruh polsek dan polres sekitar hingga meluas ke kabupaten sekitar yang disebarkan hingga pelosok desa. Namun hingga genap tujuh tahun, ia belum juga bertemu dengan keluarganya. Apakah keluarganya juga tak lelah mencarinya meski ia berkekurangan dalam hal fisiknya? Tentu saja. Karena kami tetap berbaik sangka, bagaimana pun wujud dan rupa serta kondisi seorang anak, orang tua akan kehilangan jika sang anak pergi tanpa ada kabar berita. Pasti ada mendung tebal di atas langit keluarga mereka. Untuk itulah Mbak Sri mencari segala macam cara untuk mempertemukan Sri Rejeki dengan keluarganya. Yang mengantarkannya pada Program Tali Kasih, di mana pada akhirnya menjadi jalan yang dihamparkan Allah untuk mengembalikannya pada kedua orang tua tercinta. Ya, singkat cerita salah seorang tetangga keluarga Sri Rejeki di Tasikmalaya menyaksikan acara tersebut.
Dan dari informasi itulah mereka menghubungi Indosiar hingga menyusul ke Panti membawanya pulang.
Pulang dengan berbagai bekal ketrampilan yang telah digenggam tentu saja. Juga pengalaman berbagai kompetisi tarian tradisional dari mulai Gambyong, Merak, Pendet, dan Saman. Mbak Sri memang sering mengikutsertakan siswa siswinya mengikuti pagelaran seni di berbagai kota. Dan bagi sesiapa yang turut menyaksikan pasti akan berdecak kagum melihat bagaimana mereka, kaum difabel itu tampil penuh pesona nyaris tanpa cela. Ya, mereka memang memiliki kekurangan secara fisik. Namun Allah ternyata menganugerahi mereka kelebihan lainnya yang antara lain ulet, rajin, dan juga telaten. Dari kelebihan itulah Mbak Sri dan seluruh rekan-rekan guru berusaha membekali mereka dengan aneka ketrampilan yang semoga kelak kan berguna.
***
"Tante, aku akan meneruskan perjuangan Ibu di kota kecil kelahiranku. Berkat dukungan Ibu, aku sudah mengantongi sertifikat bertaraf nasional membuat hantaran dan seni merangkai bunga" demikian Sari, keponakanku berujar. Ia adalah putri Mbak Sri yang baru lulus sarjana Gizi dari Universitas Indonesia.
"Wah, itu baru keren Sari..! Orang lain berlomba mencari kerja dan berkarir di kota Metropolitan ini. Kau bahkan menolak tawaran bekerja di beberapa perusahaan multi nasional untuk pulang ke desa, membangun daerahmu." Sahutku bangga. Gadis cerdas keponakanku itu disamping mengantongi serangkaian prestasi akademis  juga menuruni bakat dan minat ibunya dalam berbagai ketrampilan dan seni. Di fakultasnya pun ia aktif dalam kegiatan seni tari dan sering mewakili almamaternya di berbagai pagelaran seni tari.
"Iya tante,...kalau pulang kampung sudah tua, telat lah, sudah tidak produktif. Anak muda seperti saya sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun desa. Terlebih saya ingin meneruskan perjuangan Ibu untuk membuka lapangan kerja bagi murid-murid Ibu. Karena selama ini sudah ribuan murid memiliki keahlian, tapi di luaran sana masih sedikit yang mau mempekerjakan kaum difabel. Doakan usahaku segera jalan dan maju ya tante, sehingga cepat menyerap tenaga kerja, para kaum difabel terutama. Semoga mereka bisa mendapat penghidupan yang layak dari ketrampilan yang dimiliki." Ujarnya dengan semangat yang membara.
"Amien YRA. Pasti kudoakan, Sari. Nanti kubantu cari order di sini InshaAllah. Berbagai souvenir untuk acara gathering perusahaan dan event lainnya semoga bisa kau garap di sana. Jika RA Kartini berjuang untuk kaumnya, Eyang Putri telah berjuang untuk keluarga sehingga dengan usaha menjahit yang penuh berkahNya itu mampu membantu suami membiayai pendidikan seluruh putra putrinya hingga sarjana. Ibumu telah berjuang sehingga anak-anak difabel mampu berprestasi, berkreasi dan memiliki berbagai ketrampilan hidup. Dan kini kau, RA Kartini generasi ketiga akan menyerap tenaga kerja dari pada difabel sehingga mereka dapat hidup layak dan menjadi para orang tua hebat bagi putra-putri yang semoga normal sehat wal afiat harapan bangsa." Jawabku menambahkan secawan semangat untuknya.
"Siaaaap! Terimakasih tante, semoga aku bisa" Sahutnya cepat, dan derai tawa kami mengalir di sela-sela obrolan kami tentang cita-citanya.
Kupeluk Kartini muda modern dari keluarga kami itu dengan taburan doa-doa terbaik. Berharap akan dibukakan berbagai pintu kemudahan di depan sana, karena telah ia relakan pundaknya untuk memikul amanah yang semoga dititipkanNya, yaitu menjadi generasi muda yang berjuang untuk negerinya.
Ya, karena sesungguhnya semangat Kartini masih mengalir deras di jiwa kami. Harum Kartini telah menembus masa dan menjadi inspirasi bagi kita untuk berbuat sesuatu sejauh tangan meraihnya. Semoga setitik amal yang dikerjakannya kan mengundang simpatiNya.
***
Cerita ini diikutsertakan dalam lomba Cermin RTC Kartini di Rumpies Club.
Nomor Peserta : 81
Dita Widodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H