"Tante, aku akan meneruskan perjuangan Ibu di kota kecil kelahiranku. Berkat dukungan Ibu, aku sudah mengantongi sertifikat bertaraf nasional membuat hantaran dan seni merangkai bunga" demikian Sari, keponakanku berujar. Ia adalah putri Mbak Sri yang baru lulus sarjana Gizi dari Universitas Indonesia.
"Wah, itu baru keren Sari..! Orang lain berlomba mencari kerja dan berkarir di kota Metropolitan ini. Kau bahkan menolak tawaran bekerja di beberapa perusahaan multi nasional untuk pulang ke desa, membangun daerahmu." Sahutku bangga. Gadis cerdas keponakanku itu disamping mengantongi serangkaian prestasi akademis  juga menuruni bakat dan minat ibunya dalam berbagai ketrampilan dan seni. Di fakultasnya pun ia aktif dalam kegiatan seni tari dan sering mewakili almamaternya di berbagai pagelaran seni tari.
"Iya tante,...kalau pulang kampung sudah tua, telat lah, sudah tidak produktif. Anak muda seperti saya sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun desa. Terlebih saya ingin meneruskan perjuangan Ibu untuk membuka lapangan kerja bagi murid-murid Ibu. Karena selama ini sudah ribuan murid memiliki keahlian, tapi di luaran sana masih sedikit yang mau mempekerjakan kaum difabel. Doakan usahaku segera jalan dan maju ya tante, sehingga cepat menyerap tenaga kerja, para kaum difabel terutama. Semoga mereka bisa mendapat penghidupan yang layak dari ketrampilan yang dimiliki." Ujarnya dengan semangat yang membara.
"Amien YRA. Pasti kudoakan, Sari. Nanti kubantu cari order di sini InshaAllah. Berbagai souvenir untuk acara gathering perusahaan dan event lainnya semoga bisa kau garap di sana. Jika RA Kartini berjuang untuk kaumnya, Eyang Putri telah berjuang untuk keluarga sehingga dengan usaha menjahit yang penuh berkahNya itu mampu membantu suami membiayai pendidikan seluruh putra putrinya hingga sarjana. Ibumu telah berjuang sehingga anak-anak difabel mampu berprestasi, berkreasi dan memiliki berbagai ketrampilan hidup. Dan kini kau, RA Kartini generasi ketiga akan menyerap tenaga kerja dari pada difabel sehingga mereka dapat hidup layak dan menjadi para orang tua hebat bagi putra-putri yang semoga normal sehat wal afiat harapan bangsa." Jawabku menambahkan secawan semangat untuknya.
"Siaaaap! Terimakasih tante, semoga aku bisa" Sahutnya cepat, dan derai tawa kami mengalir di sela-sela obrolan kami tentang cita-citanya.
Kupeluk Kartini muda modern dari keluarga kami itu dengan taburan doa-doa terbaik. Berharap akan dibukakan berbagai pintu kemudahan di depan sana, karena telah ia relakan pundaknya untuk memikul amanah yang semoga dititipkanNya, yaitu menjadi generasi muda yang berjuang untuk negerinya.
Ya, karena sesungguhnya semangat Kartini masih mengalir deras di jiwa kami. Harum Kartini telah menembus masa dan menjadi inspirasi bagi kita untuk berbuat sesuatu sejauh tangan meraihnya. Semoga setitik amal yang dikerjakannya kan mengundang simpatiNya.
***
Cerita ini diikutsertakan dalam lomba Cermin RTC Kartini di Rumpies Club.
Nomor Peserta : 81
Dita Widodo