Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Masih ada Jalan untuk Kembali

18 Maret 2014   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:48 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejutan awal tahun 2011 buat saya adalah, sebuah telepon dari salah seorang klien ; “Selamat siang Ibu…Terimakasih atas semuanya !!. Terhitung hari kemarin, saya sudah tidak di PT. X. Saya dipecat karena laporan pihak Ibu. Sekarang Ibu puas kan??”

Degg!!! Astaghfirullah…..Sejenak saya terhenyak mendengarnya. Kaget. Antara turut bersedih, ikut kecewa, dan beraneka rasa tak nyaman bercampuraduk menjadi satu. Tentu rasa ‘tidak enak’ karena berarti yang bersangkutan tahu apa yang terjadi. Pun sekaligus ada rasa ‘kesal’ karena pihak manajeman PT. X ‘ingkar janji’.

Ingatan saya langsung melayang ke beberapa bulan terakhir. Ketika dalam kondisi tanpa sengaja informasi bahwa kami memilih mundur dari sebuah pekerjaan penanganan acara karena ketua panitia menghendaki ‘mark-up’ harga sampai ke telinga manajemen.

Saya mohon dengan sangat, Ibu-ibu bisa memberikan data kepada kami terkait apa yang terjadi. Bukti sms atau email akan sangat berarti bagi kami dalam mendorong terciptanya perusahaan yang bersih”, ujar Ibu Ys, salah seorang petinggi perusahaan tersebut. Beliau juga mengapresiasi sikap kami yang tidak bersedia menjadi partner kongkalikong mengambil dana puluhan juta rupiah di perusahan yang beliau nahkodai.

Saya dan sahabat saya saling berpandangan. Awalnya kami bersikeras untuk tidak mau terlibat lebih jauh urusan internal perusahaan tersebut. Dan dari awal bukan menjadi tujuan kami untuk melaporkan hingga ke manajemen, ke pucuk pimpinan pula! Astaga, ini di luar skenario kami.

Sebenarnya, ini berawal dari obrolan ringan. Saya masih teringat detik demi detik bagaimana urusan obrolan per telepon antar sahabat itu berlangsung. Ketika itu, saya dan keluarga hendak mendampingi acara ‘lamaran’ seorang kerabat di Lampung. Saat itu kami menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Bakaheuni. Dan sambil menikmati pemandangan laut yang amat mengesankan untuk saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan melintasi samudra, saya dan suami mengisi perbincangan ringan.

“Aku lepasin aja deh pekerjaan perusahaan X ya Pak…. Si Pak S kemarin sms ke Mbak Ayi ( teman, red ) kalau harga tiketnya diminta dinaikin. Kita sudah berusaha mengarahkan ke hal-hal yang lebih real, bukan perkara salah atau benar. Dosa atau bukan. Kita sampaikan, bahwa harga itu publish setiap orang bisa mengakses informasi ke sana. Dan itu bisa jadi masalah di kemudian hari karena yang kami ajukan sistem discount dari harga umum itu…”

“Ya sudah, cari aja proyek lain yang lebih baik. Aku juga gitu kok. Ya kalau rejeki biasanya balik lagi. Ingat kan proyek dari PT. G waktu itu? Orang dalam minta nitip 10%, tapi aku tidak menyanggupi. Kusampaikan kami hanya bisa memberikan best price dan best support aja. Akhirnya proyek itu kembali ke kami, meski orang lain yang mendapatkan ordernya…!” Saya tentu hafal caranya memberikan dukungan. Dengan membesarkan hati, dengan memberikan contoh kasus lain yang semakin menggiring sebuah keyakinan bahwa rizki itu tak pernah salah alamat. Bahwa mencari rizki yang halal itu tidak sesulit yang dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa memilih mendapat yang sedikit dibanding yang banyak tapi ‘ga jelas’ itu lebih nyaman untuk kami. Bahwa terjadinya korupsi bukan hanya sepihak saja sebagai pelaku. Tapi karena dua pihak yang bersekutu. Antara penyuap, dan yang disuap. Kedua pelaku menanggung resiko yang disediakanNya dengan setara.

Pak F tidak tahu lho kalau kami diminta jadi EO di sana…” saya jadi ingat Pak F, teman suami yang juga bekerja di perusahaan X. Saya berpikir, untuk bercerita padanya setelah semuanya clear. Pak F adalah bagian dari manajemen di PT. X, dan rasanya lebih nyaman jika kami memenangi tender bukan karena pertimbangan ada ‘seseorang kuat’ di sana.

Tak terasa, perjalanan begitu cepat terasa. Dan sesampai di penginapan, entah seperti ada frekuensi yang menghubungkan kami, Pak F menghubungi suami via telepon. Sebagaimana sebelum-sebelumnya, perbincangan antar sahabat itu menyebar ke segala topik. Hingga akhirnya tanpa disengaja ‘keceplosan’lah suami menceritakan perihal rencana mark-up yang menjadikan saya memilih mundur sebagai vendor EO di perusahaan X. Pembicaraan ditutup dengan janji bahwa itu hanya sekadar untuk diketahui. Dan bukan untuk di blow-up.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun