Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Pertama (2)

13 Maret 2014   03:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Elegi Esok Pagi

Surat Pertama (2)

Rania akhirnya lolos UMPTN, tapi bukan di Universitas Indonesia! Ya Tuhan, kenapa bisa? Bukankah dia telah menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat maksimal? Ataukah Allah memiliki rencana lain yang lebih baik untuknya? Dan juga untukku tentu saja?

Sejuta pertanyaan mengusik tidur malamku. Termasuk keputusannya mengambil pilihan keduanya yaitu jurusan teknik kimia di Universitas Sebelas Maret, Solo. Sebuah peristiwa yang melenceng dari skenario hidupku. Artinya, kami tidak akan berada dalam satu kota seperti angan-anganku. Banyak hal yang mungkin terjadi di depan sana.

Gadis itu akan memiliki banyak kawan pria. Dan satu di antaranya mungkin akan menawan hatinya. Bukankah cinta amat mungkin tumbuh karena terbiasa? Terlebih hubungan kami masih dalam kerangka persahabatan semata? Astaga, betapa rumit hidup ini. Kepalaku sejenak rusuh oleh semua ketakutan yang satu per satu bermunculan. Aku kalut oleh berbagai hal yang amat menyesakkan dadaku.

***

Akhirnya kudapatkan alamat tinggal Rania. Ia tinggal di rumah seorang kerabat ibunya di Solo. Tepatnya, kakak sepupu ibu Rania yang akrab disebut Pakde Sardi. Kabarnya, kerabatnya belum dikarunia seorang anakpun, meski usia mereka telah hampir memasuki setengah abad. Rania pernah bercerita tentang keluarga itu. Bahwa Pakde Sardi dan istrinya yang mempunyai sebuah usaha produksi batik amatlah dermawan. Tidak memiliki keturunan bukan berarti menjadikan hidup mereka hampa. Ada saja hal yang dilakukan keduanya. Dari mulai mengunjungi panti asuhan setiap akhir pekan untuk berbagi makanan dan aneka buku bacaan, hingga mengurus berbagai kegiatan sosial. Terlebih kepada keluarga karyawan, keduanya memberikan berbagai bentuk perhatian sehingga pabrik batik itu seakan sebuah keluarga besar yang hidup penuh rukun dan saling mendukung. Sebuah pemandangan yang cukup langka di dunia ini dimana seseorang yang memiliki kekayaan mampu berbagi dengan ‘semestinya’.

Kuputuskan menulis sebuah surat pendek. Surat pertama yang pernah kutulis untuk seorang gadis. Keberanian yang timbul karena dorongan terbesar berupa ‘kekhawatiran’ selepas kuterima kabar bahwa Rania tidak akan pernah menyusulku melanjutkan belajar di kota Jakarta ini.

Kutulis sebuah surat dengan goresan tanganku sendiri. Kubuat serapi mungkin agar ia terbaca dengan kesan terindah.

Teruntuk Rania

Semoga kau dalam keadaan terbaik ketika membaca tulisan tanganku yang pasti tidak serapi goresan tanganmu :D

Selamat kuucapkan atas keberhasilanmu menembus UMPTN, meski mungkin cita-cita terbesarmu harus kau belokkan sedikit untuk kali ini. Percayalah, bahwa apa yang digariskanNya adalah yang terbaik untuk setiap kita.

Sesungguhnya awalnya aku sangat berharap kau bisa diterima di UI sehingga sekali waktu kita bisa berjumpa kembali untuk berbincang aneka topik seperti hari-hari kemarin. Tahukah kau, hidup di kota besar yang asing ini sungguh tidak mudah untukku. Teramat banyak cerita yang ingin kubagikan sebenarnya.

Semoga kau berkenan berbagi kisah harian denganku melalui surat-surat di waktu mendatang.

Tetap semangat Rania! Kau pasti bisa mencapai kesuksesanmu dengan tangga yang disiapkan Allah untukmu di hari ini :D

Salam,

Prasetyo

Kulipat kertas menjadi 3 bagian, kumasukkan dalam amplop air mail panjang, lalu kububuhi perangko berseri yang telah kusiapkan. Seri pertama telah kutempelkan. Aku tetap harus menjaga agar jangan sampai terlalu mencolok misiku dengan mengirimkan surat aneka warna. Terlebih dengan wewangian yang disematkan. Bisa-bisa suratku tak pernah terbalas. Bukankah aku masih ingin menyematkan perangko seri berikutnya di surat lainnya?

Bergegas aku menuju kantor pos di kawasan Jurang Mangu, tempatku menimba ilmu. Cukup sekali naik angkutan kota, kantor pos yang kutuju telah di depan mata.

Bismillah ; Surat pertama, semoga menjadi pembuka jalan berikutnya.

( Bersambung )

Tulisan sebelumnya :

Alasan Terindah (1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun