Mohon tunggu...
Dismas Kwirinus
Dismas Kwirinus Mohon Tunggu... Penulis - -Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Tumbuh sebagai seorang anak petani yang sederhana, aku mulai menggantungkan mimpi untuk bisa membaca buku sebanyak mungkin. Dari hobi membaca inilah, lalu tumbuh kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Upacara Adat Perkawinan Aso Sule' pada Suku Dayak Taman

9 April 2021   09:19 Diperbarui: 10 April 2021   07:51 4365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun rumah tangga bagi masyarakat Dayak Taman, Kapuas Hulu, bukanlah perkara mudah untuk dilakukan. Selain mengadakan resepsi pernikahan (Nikah Gereja) juga harus mengadakan pernikahan adat yang biasanya dinamai dengan Aso Sule'. 

Upacara adat ini merupakan sebuah kegiatan yang wajib dilakukan. Aso Sule' ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan diri sendiri atau keluarga kedua mempelai dari malapetaka, serta sebagai ucapan terima kasih kepada Jubata, terang salah seorang pengurus adat Dayak Taman.

"Upacara adat ini wajib sifatnya. Untuk waktu pelaksanaan dilakukan pada saat kedua mempelai sudah menyelesaikan semua tahap-tahap perkawinan adat secara normal, misalnya melalui tahap berikut:

1. Sikilalan (tahap perkenalan), 2. Manujuang (tahap penentuan jodoh) 3. Mananya' (tahap melamar), 4. Paloa' (tahap pertunangan) dan 5. Aso Sule' (tahap upacara perkawinan).

Dengan kata lain aso sule' merupakan tahap terakhir dari prosesi upacara adat perkawinan pada Suku Dayak Taman", jelas seorang tetua kampung.

Setelah menjalani masa paloa' pertunangan, selanjutnya kedua calon memasuki masa peneguhan dan pesta perkawinan. Upacara pesta perkawinan berpusat pada acara ipasidudukang (kedua pengantin disandingkan) dan manjejenang pakaian (meletakan pakaian/menyerahkan pakaian).

Upacara ipasidudukang merupakan upacara penerimaan pengantin laki-laki secara resmi untuk menjadi anggota keluarga secara baru dalam keluarga pengantin perempuan.

Selain itu dalam upacara ini kedua mempelai dinyatakan secara resmi suami-istri di hadapan tamu undangan yang hadir dan leluhur yang diundang melalui 'doa' para tetua adat.

Ada pun rumusan upacara ini diucapkan oleh tetua adat sebagaimana dicatat oleh Mgr. Van Kessel ketika bertugas sebagai imam dan uskup di Sintang, Kalbar sebagai berikut:

"Sa', dua, tiga, mpat, lima, nam, tujuh! Tujuh matahari tumbuh, isa', tumuh tuah, tumuh Limpah, tumuh untung, tumuh nyurung. Nema nuan, bukai tajak sebuah lajak, pulai nipak ipuk munuh, bukai beruai', suti a-i, ngami nelali tanah tumuh, bukai kenyalang sebuah lemang, nagang beramang besuluh, bukau oleh nginau di kampung juah, bukai kuku sebuah melabu, pulai nguyu', kemayau muduh. Oleh nuan bulai purih ngau bekibau, ngau bekitau, ngau menselan, ngau nemungan, ngau bejadi, ngau bensangi".

Artinya: "satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Tujuh matahari terbit, supaya terbit tuah, sumbuh berlimpah terbit keberuntungan, tumbuh berlipat ganda. Karena kamu, bukan burung tajak rawa, yang pulang mencari getah, racun kayu ipuh membunuh, bukan burung berui', satu air berkuasa atas tanah tumbuh, bukan kenyalang sebuah lembah yang melarang pepohonan tumbuh subur. Sebab kamu (suami-istri) mendapat keturunan dipakai untuk melamba, dipakai untuk berkipas untuk memberkati, untuk disembah, untuk menggenapkan, untuk berlindung".

Jika yang kawin orang Katolik atau Protestan, oleh seorang imam/pendeta dikawinkan secara Kristen. Acara ini biasanya diadakan di gereja atau dibilik rumah pengantin perempuan.

Biasanya acara perkawinan ini diawali dengan pemberkatan secara Kristen, setelah itu menyusul acara adat. Jika diadakan di rumah mempelai, maka acara diadakan secara bersama-sama.

Untuk menghormati tuan rumah dan adat setempat kerapkali imam mengajak salah seorang tetua adat bersamanya untuk mengawinkan calon pengantin. Dalam acara ini terjadi pertemuan yang harmonis antara ajaran Kristen dan adat yang dipandang berasal dari ajaran nenek moyang.

Menjejenang pakaian adalah upacara penyerahan suatu barang yang bersifat seremonial. Ada pun barang-barang yang diberikan dalam adat ini antara lain gong atau tawak, kalung manik, kain tenunan, emas dan perak (berupa uang logam Belanda).

Salah satu jenis barang-barang tersebut diberikan dari orang tua laki-laki kepada orang tua pengantin perempuan.

Penyerahan barang ini didahului dengan penjelasan secara singkat mengenai pertemuan anak mereka dan ditegaskan kembali berbagai kesepakatan pada tahap paloa' yang dikukuhkan oleh tetua adat yang hadir pada saat paloa' itu.

Sebagai akhir dari prosesi upacara ini, tetua adat yang memimpin menguncapkan mantera 'doa' sambil menaburkan beras kuning pada kedua mempelai:

"Sa' dua, tiga, mpat, lima, nam, tujuh! Nema nuan: berau budi, berau kala, berau ica, berau kala, berau jama, berau kala, berau suah berau udah... Nuan beras pantas, beras awas, beras pantas beras tumas. Nti' adai urang ngau alau, ngau mpangau tai' ka' ngemara' ka' ngeruga', tai nyuayak, tai' ngererak... ya' tingang nuan sengiang beras, pampas juata mas, tingang sengiang padi, pampas juata sigi. Isa' urang tu-e idup nyamai, umur panyai pemakai adai".

Artinya: "satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Karena kamu: beras berbudi, beras berbakti, beras dimakan... beras pantas, beras awas, beras jatuh, beras tembus. Kalau ada orang, dengan guna-guna, dengan racun, mau menyetubuhi, yang menceraikan, yang memisahkan... dia ditimpa hantu beras, hambur beras emas, ditimpa hantu padi, hambur beras sigi. Supaya orang tua hidup nyaman, umur panjang, makanan cukup rezeki kalian melimpah-limpah."

Setelah membaca 'doa' tetua adat memberikan nasihat atau petuah kepada kedua mempelai yang akan mengarungi samudra rumah tangga. Menurut Singa Djumin bunyi nasihat tersebut sebagai berikut:

"Kedua mempelai, pada saat ini kalian telah dipersatukan oleh Jubata secara adat, yang disaksikan oleh tamu undangan, kerabat dan keluarga kalian masing-masing. Dengan demikian, mempelai laki-laki saat ini bukan lagi bujakng, tetapi telah bertanggung jawab atas istrinya selaku suami. Demikian pula si perempuan pada saat ini bukan lagi dara, teteapi telah menjadi ibu rumah tangga yang patuh dan mendampingi suaminya dalam menjalankan roda kehidupan rumah tangga. Kalian harus ingat pesan-pesan picara/tetoa adat".

Setelah acara ini selesai, maka acara berikutnya adalah pasiap. Dalam acara ini setiap kampung diundang untuk menghadiri pesta.

Gadis-gadis dan juga beberapa ibu pada hari kedua datang ke rumah panjang pesta itu untuk tiangankan (kue-kue) kepada orang-orang yang duduk di serambi rumah. Acara pasiap adalah penutup dari pesta perkawinan adat.

Dengan demikian acara pesta ini berakhir di tempat pengantin perempuan.

Dari uraian mengenai perkawinan pada adat Dayak Taman ini ada beberapa kesimpulan yang dapat saya berikan. Pertama, adanya tahapan perkawinan ini mau menunjukkan bahwa perkawinan merupakan adat yang sentral bagi suku ini.

Tujuan dari tahap tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya.

Kedua, tahap awal dari sebuah perkawinan lazimnya selalu dimulai dari perkenalan. Akan tetapi tidak jarang terjadinya sebauh perkawinan pada suku Dayak Taman karena campur tangan dari orang tua. Dalam hal ini yang mencari jodoh ialah orang tua.

Di sini saya melihat bahwa dengan adanya campur tangan dari orang tua atau pun kerabat justru menghilangkan "kebebasan" dari kedua calon mempelai.

Ketiga, tahap menentuan jodoh sampai dengan pertunangan dipandang sebagai tata kesepakatan nikah secara "yuridis". Selanjutnya perkawinan menjadi penuh dan sah setelah melaksanakan upacara pesta pernikahan Aso Sule'.

Pada tahap terakhir ini dipandang sebagai tata peneguhan pernikahan. Dengan demikian kedua pasangan akan menjadi suami-istri yang sah jika telah melaksanakan tahap-tahap tersebut.

Demikianlah perkawinan adat pada suku Dayak Taman dilaksanakan, memang tidaklah gampang untuk membangun rumah tangga, ada banyak tantangan, meskipun demikian setiap pasangan harus tetap mempertahankan pernikahan yang utuh dan sakral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun