"Silakan mas... tapi maaf mas pekerjaan ini kotor, apakah kamu sebagai orang muda tidak malu bekerja seperti ini?
Malang (18/2/2020). Saya melangkah dengan pasti mengitari alun-alun kota dan di bawah terik matahari saya terus menelusuri lorong-lorong trotoar jalan-jalan kota. Saya masuk menyelinap melewati "kerumunan orang" yang berjalan kian kemari berbelanja dan menawarkan barang-barang mereka. Melihat "kerumunan orang" banyak itu saya berinisiatip untuk masuk ke sebuah pasar basah yang terdapat di Kota Malang. Saya masuk bukan bermaksud untuk berbelanja atau pun menawarkan barang dagangan saya, tetapi saya ingin mengalami kehidupan orang-orang kecil zaman ini.
Dalam pikiran dan hati saya tidak ada niat untuk merencanakan target siapa yang harus saya bantu. Hingga pada saatnya tiba saya berjumpa dengan seorang penjual tela/singkong sederhana yang penghasilannya hanya Rp25.000,00 per hari.
Seorang Madura bernama Soleman, berusia 28 tahun. Ia merantau ke tanah Jawa (Malang) kurang lebih sudah lima tahun. Ia sudah menikah dan dikaruniai seorang buah hati. Pak Soleman begitulah ia akrab disapa bekerja sehari-hari sebagai penjual singkong.
Hasil dari berjualan tela/singkong digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia rela berjualan singkong di pasar basah Kota Malang dengan penghasilan yang sangat minim. Saya bertanya kepada beliau: "Apakah itu cukup pak untuk biaya hidup sehari-hari?"
Ia menjawab:
"Mas... mas... memang kalau dilihat dari segi jumlah sangat kurang. Saya beberapa kali bercekcok mulut dengan istri karena penghasilan tidak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Namun, saya selalu berusaha menyadarkan istri saya untuk menerima kenyataan ini hingga pelan-pelan ia juga sadar. Kami merasa bahagia menjalani hidup ini dan selalu mensyukuri hidup meskipun selalu berkekurangan. Kami berusaha untuk saling mengerti."
Apakah bapak tidak mencari pekerjaan lain? Pak Soleman menjawab:
" saya merasa tidak nyaman dengan pekerjaan yang terikat seperti di pabrik atau di perusahan-perushan karena di situ saya harus bekerja tepat waktu, taat pada pimpinan, bos, majikan atau direktur. Seandainya saya kerja di pabrik pastinya berangkat pagi pulang malam. Kasihan anak istri saya mas. Saya merasa betah dengan pekerjaan sebagai penjual singkong."
Saya terkesan mendengarkan kisah perjuangan hidupnya. Saya berusaha untuk meneguhkan dan membantu Pak Soleman untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini semampu saya. Satu jam bersama Pak Soleman terasa satu menit, waktu begitu singkat karena beliau mudah terbuka dengan saya.
Bekerja bersama Pak Soleman mengupas singkong, memotong-motongnya menjadi bagian-bagian kecil, bergumul dengan tanah, kotoran yang melekat pada kulit singkong bukanlah pekerjaan baru bagi saya. Hal itu sudah biasa dan saya menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat.
***
Saya akhirnya meninggalkan Pak Soleman dan mengayunkan langkah kembali ke alun-alun kota. Tuhan kembali menunjukkan pribadi-Nya dalam diri seorang pemulung tua.
"Selamat siang pak... boleh saya bantu." Saya menawarkan jasa. Pak tua itu pun membalas, "silakan mas... tapi maaf mas pekerjaan ini kotor, apakah kamu sebagai orang muda tidak malu bekerja seperti ini?" Sambung saya, "tidak apa-apa pak saya mau membantu bapak."
Saya mencoba membantu bapak itu semampu dan sekuat tenaga saya. Bergumul dengan sampah bukanlah hal baru bagi saya karena setiap pagi saya juga bekerja di kandang ternak yang kotor dan bau. Namun, yang sungguh baru bagi saya ialah bekerja sebagai pemulung dengan karung di pundak, membuka tong-tong sampah, berenang di lautan sampah yang bau dan kotor dengan disaksikan ribuan pasang mata yang menatap dengan sinis.
Saya berusaha untuk membungkus rasa malu itu dan menghilangkannya serta memalingkan pandangan saya dan memandang mereka dengan senyuman. Hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Setelah semua pekerjaan memulung selesai saya mengajak pak tua itu untuk duduk sejenak melepas lelah di bawah pohon besar, menghirup udara segar dan meneguk sebotol air mineral yang saya belikan untuk Pak Muklis. Ya nama pemulung tua itu Pak Muklis.
Pak Muklis adalah pria kelahiran Surabaya, berusia 58 tahun. Ia sudah bekerja menjadi pemulung kurang lebih sudah separuh hidupnya. Ia memulung di Surabaya selama 5 tahun dan di Malang selama 20 tahun. Ia terpaksa merantau ke Malang karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual oleh abang kandungnya.
Pak Muklis sudah mempunyai satu orang istri namun sayang istrinya sudah tiada. Ia juga dikaruniai tiga orang buah hati. Anak-anaknya tinggal bersama mertuanya di Surabaya. Ketika ia hendak berjumpa dengan anak-anaknya ia kerap kali ditolak mentah-mentah dan diusir karena mertuanya menganggap ia tidak ada. Ia sering menerima cacian, makian, sumpah serapah dan bahkan hujanan hujat dari mertuanya supaya ia jera untuk tidak lagi bertemu dengan anak-anaknya. "Dulu kamu memang ayah mereka, tapi sekarang bukan... pergi... pergi dasar pemulung miskin."Â Demikianlah hujatan dari salah seorang mertuanya. Ia menerima hujatan dan penghinaan itu dengan sabar dan tabah.
Pak Muklis pemulung tua, miskin dan malang seorang Katolik yang beriman dan gigih menghadapi kenyataan hidup ini. Sebelum berangkat memulung ia selalu mengawali aktivitasnya dengan berdoa, kalau hari Minggu ia menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan Ekaristi di sebuah Gereja Katolik yang terletak di pusat Kota Malang.
Kisah hidupnya sungguh sangat mengesankan dengan penghasilan rp15.000,00/hari itu sangat minim terkadang ia pernah tidak makan tiga hari tiga malam. Saat ini ia sedang gelisah untuk mencari tempat tinggal karena masa kontrakan akan segera berakhir pada Bulan Maret mendatang. Meskipun demikian ia tetap mensyukuri hidupnya. Tuhan Yesus sebagai saudara yang tertua yang selalu memperhatikan kehidupannya.
Hari ini saya berjumpa dengan dua orang tokoh yang menginspirasi hidup saya, yaitu Pak Soleman dan Pak Muklis. Dalam perjumpaan dengan keduanya saya tidak hanya berkerja dan membantu meringankan beban mereka, tetapi di sana juga terjadi dialog, sharing dan berbagi pengalaman kisah hidup untuk saling menguatkan.
Saya sempat bertanya kepada Pak Muklis, pemulung Katolik yang menderita penyakit polio sejak lahir. Sudah berapa lama bapak bekerja seperti ini? Ia menjawab, "kurang lebih separuh hidup saya."Â Dengan latar belakang pekerjaan bapak seperti ini apakah bapak tidak merasa kekurangan? Ia dengan penuh semangat menjawab:
"Saya selalu mengandalkan Tuhan. Saya terus berdoa dan berusaha serta memohon agar Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan kepada saya untuk menghadapi ujian kehidupan ini dengan tabah dan berani. Dalam situasi yang sulit ini harapan saya hanya satu, yaitu bersandar kepada pertolongan Tuhan. Jika saya tidak mengandalkan Tuhan, saya tidak akan demikian tabah menghadapi kemiskinan ini. Tanpa Tuhan saya akan sama seperti orang yang tidak beriman, akan gelisah, terus mengeluh dan menyesali nasib diri yang malang. Saya kini menghabiskan waktu saya dengan memulung dan membantu karya-karya sosial. Ternyata kemiskinan bukanlah kemalangan jika diterima dengan iman."
Saya tertegun mendengarkan kesaksiannya. Kemiskinannya sungguh memurnikan imannya kepada Tuhan seperti proses pemurnian emas dalam tanur api. Iman Pak Muklis terpancar dalam reaksinya pada penderitaan dan kemiskinan hidup. Semakin tabah dalam menghadapi pergumulan kehidupan, ia semakin menunjukkan kualitas imannya yang tinggi.
Kata-katanya "Kemiskinan bukanlah kemalangan jika diterima dengan iman" terus menerus bergema ditelinga saya bersaut-sautan dengan teriakan kata-kata dan suara gemuruh sorak-sorai kesombongan orang kaya yang angkuh. Imannya memberikan kekuatan baru kepadanya untuk dapat menanggung beban hidup dengan rela.
*Pak Soleman salah satu yang mewakili sekian banyak Penjual tela/singkong atau sayur di Pasar Besar; dan
*Pak Muklis salah satu dari "pemulung kota". Dengarkanlah teriakan dari ceruk hati mereka yang terdalam.
"TANPA SAYA MENYEBUTKAN APA YANG MENJADI KEBUTUHAN MEREKA, ANDA SENDIRI DAPAT MENYIMPULKAN APA YANG PALING MEREKA BUTUHKAN DALAM HIDUP INI".
Bukit Bandulan, 20 Februari 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI