***
Saya akhirnya meninggalkan Pak Soleman dan mengayunkan langkah kembali ke alun-alun kota. Tuhan kembali menunjukkan pribadi-Nya dalam diri seorang pemulung tua.
"Selamat siang pak... boleh saya bantu." Saya menawarkan jasa. Pak tua itu pun membalas, "silakan mas... tapi maaf mas pekerjaan ini kotor, apakah kamu sebagai orang muda tidak malu bekerja seperti ini?" Sambung saya, "tidak apa-apa pak saya mau membantu bapak."
Saya mencoba membantu bapak itu semampu dan sekuat tenaga saya. Bergumul dengan sampah bukanlah hal baru bagi saya karena setiap pagi saya juga bekerja di kandang ternak yang kotor dan bau. Namun, yang sungguh baru bagi saya ialah bekerja sebagai pemulung dengan karung di pundak, membuka tong-tong sampah, berenang di lautan sampah yang bau dan kotor dengan disaksikan ribuan pasang mata yang menatap dengan sinis.
Saya berusaha untuk membungkus rasa malu itu dan menghilangkannya serta memalingkan pandangan saya dan memandang mereka dengan senyuman. Hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Setelah semua pekerjaan memulung selesai saya mengajak pak tua itu untuk duduk sejenak melepas lelah di bawah pohon besar, menghirup udara segar dan meneguk sebotol air mineral yang saya belikan untuk Pak Muklis. Ya nama pemulung tua itu Pak Muklis.
Pak Muklis adalah pria kelahiran Surabaya, berusia 58 tahun. Ia sudah bekerja menjadi pemulung kurang lebih sudah separuh hidupnya. Ia memulung di Surabaya selama 5 tahun dan di Malang selama 20 tahun. Ia terpaksa merantau ke Malang karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual oleh abang kandungnya.
Pak Muklis sudah mempunyai satu orang istri namun sayang istrinya sudah tiada. Ia juga dikaruniai tiga orang buah hati. Anak-anaknya tinggal bersama mertuanya di Surabaya. Ketika ia hendak berjumpa dengan anak-anaknya ia kerap kali ditolak mentah-mentah dan diusir karena mertuanya menganggap ia tidak ada. Ia sering menerima cacian, makian, sumpah serapah dan bahkan hujanan hujat dari mertuanya supaya ia jera untuk tidak lagi bertemu dengan anak-anaknya. "Dulu kamu memang ayah mereka, tapi sekarang bukan... pergi... pergi dasar pemulung miskin."Â Demikianlah hujatan dari salah seorang mertuanya. Ia menerima hujatan dan penghinaan itu dengan sabar dan tabah.
Pak Muklis pemulung tua, miskin dan malang seorang Katolik yang beriman dan gigih menghadapi kenyataan hidup ini. Sebelum berangkat memulung ia selalu mengawali aktivitasnya dengan berdoa, kalau hari Minggu ia menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan Ekaristi di sebuah Gereja Katolik yang terletak di pusat Kota Malang.
Kisah hidupnya sungguh sangat mengesankan dengan penghasilan rp15.000,00/hari itu sangat minim terkadang ia pernah tidak makan tiga hari tiga malam. Saat ini ia sedang gelisah untuk mencari tempat tinggal karena masa kontrakan akan segera berakhir pada Bulan Maret mendatang. Meskipun demikian ia tetap mensyukuri hidupnya. Tuhan Yesus sebagai saudara yang tertua yang selalu memperhatikan kehidupannya.
Hari ini saya berjumpa dengan dua orang tokoh yang menginspirasi hidup saya, yaitu Pak Soleman dan Pak Muklis. Dalam perjumpaan dengan keduanya saya tidak hanya berkerja dan membantu meringankan beban mereka, tetapi di sana juga terjadi dialog, sharing dan berbagi pengalaman kisah hidup untuk saling menguatkan.
Saya sempat bertanya kepada Pak Muklis, pemulung Katolik yang menderita penyakit polio sejak lahir. Sudah berapa lama bapak bekerja seperti ini? Ia menjawab, "kurang lebih separuh hidup saya."Â Dengan latar belakang pekerjaan bapak seperti ini apakah bapak tidak merasa kekurangan? Ia dengan penuh semangat menjawab:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!