Mohon tunggu...
Dismas Kwirinus
Dismas Kwirinus Mohon Tunggu... Penulis - -Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Tumbuh sebagai seorang anak petani yang sederhana, aku mulai menggantungkan mimpi untuk bisa membaca buku sebanyak mungkin. Dari hobi membaca inilah, lalu tumbuh kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyimak Upacara Adat Tiwah: Upacara Kematian pada Suku Dayak Ngaju (Bagian II)

30 Januari 2021   07:46 Diperbarui: 30 Januari 2021   07:47 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Foto: Sandong adalah tempat untuk memakamkan tulang-tulang mediang dalam upacara adat Tiwah. (sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Dalam bagian satu upacara adat Tiwah saya telah menguraikan penjelasan sampai pada hari keempat, yaitu hari khusus yang diperuntukan bagi para wanita untuk menyiapkan puncak Tiwah. Maka pada bagian kedua ini saya akan melanjutkan uraian di hari kelima upacara tiwah yang disebut Andau Labon.

Pada hari kelima perkabungan dan pali berakhir. Seluruh suku diundang untuk berpesta juga mereka yang sudah meninggal. Orang-orang yang sudah meninggal diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng.

Hari itu dimulai dengan Malalohan, yaitu pemberian hadiah. Orang-orang dari tetangga desa membawa beras, tuak, kelapa, binatang kurban, uang dan sebagiannya. Mereka datang dengan naik perahu yang dihias. Mereka datang bersama dengan nenek moyang mereka, yang diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng dan berada di depan sendiri. Pada waktu mereka mendekati desa yang berpesta itu mereka dijemput oleh nenek moyang orang-orang desa itu dengan perahu yang diwakili oleh orang-orang yang bertopeng juga. Kedua kelompok itu kemudian mengadakan peperangan semu.

Sesudah beberapa waktu, penjemput yang bertopeng tadi mengundurkan diri ke desanya dan para tamu diperkenankan mendarat. Tetapi desa itu masih tertutup bagi mereka, karena masih ada rintangan-rintangan.

Rintangan pertama sebuah kain, kedua sebuah tikar, ketiga sebuah gong, selanjutnya ada rintangan bejana tanah liat, bejana yang berharga dan sebatang kayu. Penduduk desa menantikan para tamu di belakang rintangan yang terakhir. Tamu yang tertua memotong rintangan itu dengan mandaunya serta menyebutkan kekayaan dan jasa-jasa kepahlawanannya.

Dengan pemotongan segala rintangan itu selesailah waktu pali, pakaian perkabungan ditanggalkan dan mulailah pesta besar.

Hari keenam dan hari ketujuh adalah hari menyucikan orang-orang yang ikut serta dalam perayaan Tiwah tersebut.

Hal utama yang menjadi sorotan dari perbuatan-perbuatan di dalam upacara Tiwah itu adalah pendramatisasian mitos penciptaan. Yang digambarkan dengan rintang-rintangan itu adalah pohon kehidupan (Batang Garing) dengan buah-buahan yang banyak sekali. Para tamu dan mereka yang mengadakan pesta menggambarkan dua kelompok yang saling bersaingan. Sebagaimana kedua burung enggang di dalam mitos itu merupakan pohon kehidupan, demikianlah kedua kelompok tadi membinasakan dirinya sendiri di dalam peperangan semu.

Dari pembinasaan diri itu lahirlah suatu penciptaan yang baru, yaitu: "sial" yang meliputi desa ditiadakan karenanya. Pendramatisasian mitos penciptaan, yang berarti mengulangi dan menghadirkan kembali apa yang terjadi pada zaman dahulu demi keselamatan suku, juga terdapat di dalam upacara-upacara lain, seperti pada waktu ada kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagiannya.

Upacara kematian seperti Tiwah bagi orang Dayak mutlak harus dilakukan. Sebab pengabaian akan menjadikan para liau tetap bertahan di Bukit pasahan raung, yang pada suatu saat liau-liau itu akan kehabisan daya hidup dan hilang begitu saja. Maka untuk memelihara daya tahan mereka biasanya setiap waktu tertentu diantarkan kurban-kurban makanan oleh kerabatnya, sampai kerabatnya itu mampu melaksanakan ritus yang diperlukan.

Keadaan liau yang dibiarkan, apabila ia habis daya tahannya dan hilang begitu saja berarti suatu kehinaan bagi keluarganya dan suatu kesedihan terberat. Karena liau yang tidak sampai ke Lewu liau berarti tidak berkumpul lagi dengan sukunya dan para moyangnya.

Liau-liau yang dibiarkan biasanya akan menegur atau memperingatkan kerabatnya yang masih hidup dalam bentuk datangnya kecelakaan, penyakit dan semacamnya. Suatu peringatan bagi kerabatnya supaya mempersembahkan makanan atau segera melaksanakan upacara kematian lengkap baginya.

Dengan demikian ritus kematian yang lengkap selain berfungsi untuk mengantar liau, secara tidak langsung juga berfungsi untuk melindungi mereka yang masih hidup. Karena dengan melaksanakan ritual itu, mereka dibebaskan dari ganguan atau teguran liau-liau yang masih gentayangan.

Hanya dengan melakukan ritus-ritus inilah para liau dengan diantarkan oleh Tempon Telon dapat sampai ke Lewu Liau yang dirindukan. Maka semakin lengkap dan sempurna suatu ritus dilaksanakan, semakin sempurna pulalah kehidupan para liau itu. Lengkap tidaknya, besar kecilnya pelaksanaan ritus ikut menentukan kedudukan para liau di Lewu liau. Karena dalam ritus inilah mereka dibekali secukupnya oleh para kerabatnya yang masih hidup. Pandangan ini juga mendornong orang Dayak mengadakan upacara kematian secara besar-besaran.

Baca juga: Menyimak Upacara Adat Tiwah: Upacara Kematian Pada Suku Dayak Ngaju (Bagian I)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun