Sedangkan nilai ekstrinsik memaksudkan bahwa bahasa simbolik yang terdapat pada pantun bisa menjadi sarana menyenangkan telinga, intelek dan hati. Pantun sebagai tradisi lisan itu tidak statis, karena ketidakstatisannya maka ia juga memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia zaman ini. Bahasa simbolik yang diungkapkan dalam pantun mengajarkan bahwa orang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain, orang juga harus tunduk pada peraturan.Â
Dengan demikian, pantun menjadi ruang yang sungguh menghadirkan dan memprsentasikan sesuatu yang absen. Misalnya saja ketika mempersiapkan pesta dan perayaan gawai tahunan di rumah panjang para muda-mudi saling berbalas pantun sebagai ungkapan kegembiraan dan kebersamaan. Sedangkan para tetua adat atau suku menceritakan pengalaman dan sejarah nenek moyang dengan bahasa lisan atau dengan pantun. Suasana persaudaraan, kehangatan dan sukacita, saling memberi dan menerima sungguh terasa di dalamnya.Â
Di situlah terwujud semangat kebersamaan dan solidaritas untuk saling meringankan beban sesama. Dari peristiwa sosial budaya semacam ini, selain tumbuhnya rasa kebersamaan, juga timbul rasa aman, rasa saling menghargai dan membutuhkan dalam perjalanan hidup ini. Pantun sebagai ruang yang sungguh menghadirkan apa yang absen juga merupakan sarana pemenuhan sosial emosional horizontal antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Pantun sebagai tradisi lisan dan virtual space pada Suku Dayak tidak hanya sebagai acara belaka yang diserimonikan semua warga masyarakat, melainkan dibalik peristiwa itu ada latar belakang atau ada dasar kepercayaan yang mewarnai, mengapa itu harus dijalankan. Tradisi lisan dalam bentuk pantun itu tidak saja menyentuh kehidupan sekarang tetapi melibatkan sisi kehidupan setelah kematian atau boleh kita tafsirkan sebagai tujuan akhir hidup seorang manusia Dayak.Â
Tradisi lisan dalam bentuk pantun dan pendasarannya mewakili pandangan filosofi orang Dayak, serta pandangan keagamaan, juga konsep pemikiran mereka akan segala realitas di luar pemahaman indera mereka.
Bagi kehidupan orang Dayak sendiri ternyata tradisi lisan dalam bentuk pantun dan segala atributnya itu menjadi model kepribadian yang membentuk jati diri masyarakat Dayak sendiri, boleh kita katakan kepribadian orang Dayak lahir dari penghayatan tradisi saat mereka berhadapan dengan segala realitas kosmos. Bagaimana bersikap dengan Yang Tertinggi, sesama dan segala ciptaan. Tradisi juga melahirkan hukum, tatanan moral bagi kehidupan dan menumbuhkan rasa solidaritas yang dalam bagi individu maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H