Bangsa Indonesia kaya akan keberagaman budaya, kesenian, kerajinan dan bahasa daerah. Kenyataan itu membuat bangsa Indonesia menjadi sangat unik dan menarik baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara. Salah satu cara masyarakat Indonesia mengungkapkan keindahan dan kekayaan bangsa ialah dengan melestarikan kesenian dan tradisi.
Wujud nyatanya bisa dalam bentuk tari-tarian, musik daerah, kesenian tenun ikat, bercerita -- berpantun dan lain-lain. Secara khusus di Kalimantan Barat cara masyarakat melestarikan kekayaan budaya dengan tradisi lisan. Tradisi lisan sesungguhnya merupakan pintu pertama untuk memahami kehidupan orang Dayak. Pemahaman yang benar terhadap tradisi lisan, berarti menuntun pihak yang berkompeten untuk menemukan dan menarik kesimpulan yang objektif.Â
Pemahaman itu untuk menghindari peminggiran dan perlakuan yang tidak semestinya, bahkan pemusnahan terhadap nilai-nilai kehidupan kelompok masyarakat suku tertentu.
Bagi masyarakat Dayak tradisi lisan tidak hanya berupa cerita, tetapi juga bisa dalam bentuk pantun. Pantun merupakan tradisi lisan yang bukan termasuk cerita. Pada masyarakat Dayak pantun dikenal bersajak, a -- b -- a -- b atau a -- a -- a -- a, dua baris sampiran dan dua baris berupa isi. Pada acara belian (pengobatan tradisional pada suku Dayak) biasanya dinyanyikan dengan iringan sebuah gong atau ketobong (sejenis gendang kecil yang di bawa dengan memakai tali dikaitkan pada bahu). Berikut ini contoh pantun dalam bahasa Dayak Desa:
Buah manis buah ramai
Masae bebuah musim menebas
Bila pedeh kerena diutik utai
Rancak dipulah untuk pembibas
Artinya:
Ada sejenis pohon buahnya rasanya manis, kemudian masa berbuah pada saat pekerjaan ladang atau pertanian menebas, bila seseorang sakit karena gangguan dari makhluk alam yang jahat, maka manusia memberikan sejenis persembahan agar jangan menganggu lagi. Ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa dengan persembahan itu roh penganggu dapat berdamai dengan manusia. Ujud dari perdamaian itu adalah persembahan yang disampaikan.
Pantun yang bersajak, a -- a -- a -- a, yang juga dikenal oleh masyarakat Dayak Desa misalnya:
Bukit Kujau terampar di tanah datar
Ruai bekicau kedinga lapar
Pedeh serasa upa dibakar
Kerena kekaseh hati adai urang yang melamar
Artinya:
Sebuah bukit yang berdiri kokoh disebuah dataran, merupakan tempat burung-burung (ruai khas Kalimantan, sejenis burung yang indah) yang selalu berbunyi tanda mau makan, kemudian seorang pemuda yang punya kekasih tetapi kekasihnya itu sudah dipinangkan orang tuanya kepada orang lain.
Pantun asli dalam bahasa daerah ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, akan tetapi baris perbaris tidak akan dapat bersajak seperti aslinya. Pantun yang dimengerti dalam tradisi lisan ini adalah yang memuat nasehat, petuah, ungkapan hati atau selipan ungkapan kasih sayang dan peringatan. Pantun biasanya berisi nasehat, pujian kepada Petara, ungkapan kasih sayang dan nasehat-nasehat yang perlu dipatuhi.
Dengan kata lain bahwa pantun merupakan persentasi tentang sesuatu yang absen tetapi dihadirkan dalam bentuk simbolik. Dengan demikian tidaklah salah kalau pantun dikatakan sebagai virtual space (ruang yang sungguh) dari daya energi yang metafisk. Virtual space merupakan jembatan simbol yang tak terpahami menjadi terpahami, yang tak terjangkau menjadi terjangkau dan yang tak terdengan menjadi terdengar. Hal ini nyata dalam kehadiran orang yang membawa pantun, baik pantun yang diungkapkan secara lisan maupun pantun dalam bentuk lagu atau nyanyian yang memberi efek-efek tertentu bagi penikmat pantun.
Bahasa simbolik yang terdapat pada pantun sesungguhnya mejelaskan adanya suatu realitas dan tuntutan kepada setiap orang untuk menafsirkan dan merefleksikan sekaligus apa yang dihadirkan oleh pantun secara simbolik. Dengan demikian orang dapat menikmati aspek-aspek seni yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini pantun sebagai virtual space memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik.
Nilai intrinsik adalah bahwa di dalam pantun terdapat simbol-simbol estetis yang memiliki nilai bermutu tinggi untuk disingkapkan. Kandungan makna yang terdapat di dalam bahasa simbolik pantun memiliki nilai di dalam dirinya sendiri, yang tidak ditentukan dari luar. Oleh karena itu pantun memiliki di dalam dirinya in se per se. Pantun menyampaikan pesan berupa nasehat, petuah, ungkapan hati atau selipan ungkapan kasih sayang dan peringatan.
Sedangkan nilai ekstrinsik memaksudkan bahwa bahasa simbolik yang terdapat pada pantun bisa menjadi sarana menyenangkan telinga, intelek dan hati. Pantun sebagai tradisi lisan itu tidak statis, karena ketidakstatisannya maka ia juga memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia zaman ini. Bahasa simbolik yang diungkapkan dalam pantun mengajarkan bahwa orang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain, orang juga harus tunduk pada peraturan.Â
Dengan demikian, pantun menjadi ruang yang sungguh menghadirkan dan memprsentasikan sesuatu yang absen. Misalnya saja ketika mempersiapkan pesta dan perayaan gawai tahunan di rumah panjang para muda-mudi saling berbalas pantun sebagai ungkapan kegembiraan dan kebersamaan. Sedangkan para tetua adat atau suku menceritakan pengalaman dan sejarah nenek moyang dengan bahasa lisan atau dengan pantun. Suasana persaudaraan, kehangatan dan sukacita, saling memberi dan menerima sungguh terasa di dalamnya.Â
Di situlah terwujud semangat kebersamaan dan solidaritas untuk saling meringankan beban sesama. Dari peristiwa sosial budaya semacam ini, selain tumbuhnya rasa kebersamaan, juga timbul rasa aman, rasa saling menghargai dan membutuhkan dalam perjalanan hidup ini. Pantun sebagai ruang yang sungguh menghadirkan apa yang absen juga merupakan sarana pemenuhan sosial emosional horizontal antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Pantun sebagai tradisi lisan dan virtual space pada Suku Dayak tidak hanya sebagai acara belaka yang diserimonikan semua warga masyarakat, melainkan dibalik peristiwa itu ada latar belakang atau ada dasar kepercayaan yang mewarnai, mengapa itu harus dijalankan. Tradisi lisan dalam bentuk pantun itu tidak saja menyentuh kehidupan sekarang tetapi melibatkan sisi kehidupan setelah kematian atau boleh kita tafsirkan sebagai tujuan akhir hidup seorang manusia Dayak.Â
Tradisi lisan dalam bentuk pantun dan pendasarannya mewakili pandangan filosofi orang Dayak, serta pandangan keagamaan, juga konsep pemikiran mereka akan segala realitas di luar pemahaman indera mereka.
Bagi kehidupan orang Dayak sendiri ternyata tradisi lisan dalam bentuk pantun dan segala atributnya itu menjadi model kepribadian yang membentuk jati diri masyarakat Dayak sendiri, boleh kita katakan kepribadian orang Dayak lahir dari penghayatan tradisi saat mereka berhadapan dengan segala realitas kosmos. Bagaimana bersikap dengan Yang Tertinggi, sesama dan segala ciptaan. Tradisi juga melahirkan hukum, tatanan moral bagi kehidupan dan menumbuhkan rasa solidaritas yang dalam bagi individu maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H