Nietzsche mengunci bahwa kehendak itu ialah untuk berkuasa. Contohnya, seperti yang disebut Thomas Hobbes, ketika manusia lahir, dia menangis. Tangisan ini bukanlah sekadar tangisan. Tangisan itu adalah raungan untuk menerkam yang lain. Manusia itu bukan manusia yang suka menjadi orang yang lebih lemah.Â
Tak mungkin kamu menjadi manusia untuk mempunyai posisi yang lemah. Pemerkosaan adalah cetusan yang paling jelas dalam hal ini. Tentu saja Nietzsche tidak bicara soal pemerkosaan.Â
Tetapi Nietzsche bicara bahwa kepentingan dari nilai itu kerap berada pada kutub untuk berkuasa. Dalam Nietzsche, tidak ada yang namanya baik buruk sedemikian rupa, sebab tindakan atau perbuatan manusia itu berdasarkan pada kesadarannya sendiri, pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau de facto ia ingin memukul orang?Â
Yang bersangkutan pasti bukan memukul untuk memukul, tetapi dia berada pada self deception, artinya penipuan diri sendiri.Â
Kelompok masa yang sedang bentrok dan baku pukul dengan aparat keamanan misalnya, mereka ikut bentrok bukan karena mereka ingin dipukul, tetapi mereka mengira bahwa mereka bentrok dan baku pukul untuk keadilan, dengan melakukan aksi demo.
Hakekat kekuasaan sebagaimana dimengerti oleh Nietzsche adalah pedoman dan ukuran yang menentukan hidup manusia dalam segala bidang. Egalitarisme pun dilatarbelakangi oleh motif kekuasaan.Â
Kekuasaan dalam pandangan Nietzsche merupakan dasar dan pendorong bagi seluruh tindakan manusia termasuk tindakan baik yang dilakukan seseorang digerakkan oleh kehendak berkuasa ini.Â
Implikasi atas pernyataan ini sangat luas sehingga dapat melegitimasi adanya penindasan satu kelompok yang berkuasa atas kelompok yang lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H