Fenomena yang baru-baru ini terjadi di bangsa Indonesia seperti unjuk rasa, kekejaman, kekerasan, penindasan, bentrok dan bentuk kekerasan yang lain memang sulit untuk di bendung.Â
Kita lihat saja unjuk rasa dan bentrok antara masa dengan aparat keamanan yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Jakarta dan di daerah-daerah lain, oknum-oknum tertentu mengerahkan masa dan membuat kerusahan dengan membakar mobil-mobil dan merusak berbagai fasilitas umum karena ingin menuntut haknya seperti menolak pengesahan UU cipta kerja.Â
Ini semua terjadi karena manusia yang satu ingin mengusai yang lain. Yang kuat mau menguasai yang lemah. Dan yang lemah berusaha untuk bertahan dan membela haknya.
Nietzsche filosof yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken rupanya juga memikirkan hal yang sejalan dengan pemikiran ini. Dia menulis sebuah buku yang berjudul "der Wille Zur Macht (The Will to Power)". Pemikiran Nietzsche ini kemudian menuai banyak kritikan dan dituduh sebagai penyebab tragedi kemanusian yang lain seperti perang dunia ke II. Salah satu filosof yang menuduhnya adalah Hendri de Lubac.
Apakah benar dan tepat bahwa kehendak untuk berkuasa yang digagas oleh Nietzsche menjadi penyebab tindakan kekerasan yang dilakukan oleh manusia dewasa ini?Â
Apakah pemikirannya ini memiliki provokasi politik? Lalu apa sebenarnya kehendak berkuasa menurut pemikiran Nietzsche? Apakah kepentingan "kehendak untuk berkuasa" bagi hidup manusia dewasa ini? Tulisan ini mengulas pandangan Nietzsche tentang Kehendak Berkuasa.
Kehendak dalam Perspektif NietzscheÂ
Kehendak dalam bahasa Inggris: will; bahasa latin: voluntas; Yunani: Boulema. Semua istilah ini mengacu kepada suatu potensi atau daya dalam manusia yang terlibat di dalam pengambilan keputusan.Â
Bagi kelompok voluntarisme, kehendak lebih unggul atas rasio. Sebaliknya kelompok intelektualisme melihat rasio sebagai yang menentukan kehendak.Â
Nietzsche membongkar modernisme dengan menyangkal dan menolak rasio. Akibatnya, dari sendirinya runtuhlah bangunan, sistem itu. Runtuh artinya periode ini sudah masuk dalam periode tidak.Â
Artinya, sejarah sudah tidak seperti yang dekonstruksi oleh Hegel. Epistemologi tidak lagi seperti yang diajukan oleh Kant, termasuk penilaian moral.Â