Mohon tunggu...
Diski Chandra
Diski Chandra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Universitas Prof. DR.HAMKA

Author

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Marxisme dalam Insfrastruktur Kapitalisme Kritik Terhadap Dampak Sosial dan Lingkungan Studi Kasus Jalan Tol Trans - Jawa

7 Juli 2024   11:19 Diperbarui: 7 Juli 2024   11:34 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan infrastruktur telah lama dianggap sebagai tanda kemajuan suatu negara. Di Indonesia, seperti di banyak negara berkembang lainnya, proyek-proyek infrastruktur besar sering kali disambut dengan harapan akan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

Namun, di balik narasi kemajuan ekonomi, terdapat aspek yang sering kali terabaikan: dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh pembangunan tersebut Salah satu contoh yang menonjol adalah proyek pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa. Jalan tol ini tidak hanya menjadi simbol modernisasi infrastruktur transportasi di Pulau Jawa, tetapi juga menghadirkan pertanyaan penting tentang model pembangunan yang dianut oleh pemerintah Indonesia. 

Dalam konteks teori marxisme, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dapat dipahami sebagai bagian dari ekspansi kapitalisme, di mana kapital menguasai produksi dan distribusi sumber daya serta mengeksploitasi tenaga kerja untuk keuntungan ekonomi yang semakin besar. 

Teori Marxisme menawarkan sudut pandang kritis terhadap infrastruktur kapitalis, menyoroti bagaimana proyek-proyek besar tersebut tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga mempengaruhi struktur sosial dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Marxisme mengajarkan bahwa infrastruktur bukan hanya tentang pelayanan publik atau pengembangan ekonomi, tetapi juga merupakan alat untuk memperkuat dominasi kelas kapitalis atas sumber daya dan produksi. Dalam hal ini, Jalan Tol Trans-Jawa menjadi studi kasus yang relevan.

Proyek ini tidak hanya mengubah pola transportasi di Pulau Jawa, tetapi juga telah menghadirkan sejumlah masalah sosial yang tidak bisa diabaikan. Misalnya, migrasi besar-besaran dari daerah pedesaan ke perkotaan yang disebabkan oleh pembangunan jalan tol ini telah menyebabkan perubahan sosial yang signifikan. 

Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam keseimbangan dengan alam sekitarnya, kini menghadapi tantangan integrasi ke dalam lingkungan perkotaan yang sering kali tidak ramah terhadap mereka. Dari segi lingkungan, proyek ini juga telah menimbulkan kekhawatiran serius. 

Perambahan hutan dan konversi lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur sering kali mengarah pada degradasi lingkungan yang signifikan. Deforestasi tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem lokal, tetapi juga berpotensi mengurangi ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan bencana alam Kritik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa ini bukan sekadar mempertanyakan keputusan teknis atau kebijakan pengelolaannya, tetapi lebih dalam lagi, mencerminkan ketidaksetaraan struktural yang mendasari kapitalisme modern. 

Dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi dan sosial, pembangunan infrastruktur sering kali menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat sementara meninggalkan mayoritas dalam kondisi yang rentan. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengkaji dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan infrastruktur kapitalis seperti Jalan Tol Trans-Jawa melalui lensa teori marxisme. 

Dengan menyoroti ketidaksetaraan yang muncul dari ekspansi kapitalisme, artikel ini akan memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana infrastruktur dapat menjadi instrumen dominasi ekonomi yang tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan

Dasar Teori Marxisme dalam Infrastruktur Kapitalisme

Dalam perspektif Marxisme, kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana produksi barang dan jasa dikendalikan oleh pemilik modal atau kapitalis, yang memiliki kekayaan dan alat produksi seperti pabrik, tanah, dan peralatan. Pekerja atau proletariat, di sisi lain, harus menjual tenaga kerja mereka kepada kapitalis untuk mendapatkan penghasilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. 

Marxisme menyoroti bahwa hubungan ini tidak adil karena kapitalis mendapatkan keuntungan dari kerja keras pekerja dengan membayar mereka upah yang lebih rendah daripada nilai sebenarnya yang dihasilkan oleh pekerja itu sendiri. Ini menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang mendasar antara kelas kapitalis yang kaya dan proletariat yang mengalami kesulitan ekonomi. Ketika kita menerapkan kerangka pemikiran Marxisme untuk menganalisis infrastruktur seperti jalan tol, kita melihat bahwa proyek-proyek infrastruktur besar seperti ini tidak hanya tentang membangun jalan untuk memfasilitasi transportasi. 

Secara lebih dalam, infrastruktur seperti jalan tol dapat dianggap sebagai alat untuk memperkuat dominasi kapitalis atas sumber daya ekonomi dan kontrol terhadap tenaga kerja. Proyek-proyek ini sering kali didanai dan dimiliki oleh kapitalis atau konsorsium swasta yang mencari keuntungan finansial melalui tarif tol dan investasi jangka Panjang, 

Dalam konteks eksploitasi sumber daya alam, Marxisme menunjukkan bahwa infrastruktur kapitalisme sering kali mengarah pada pengambilan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Misalnya, pembangunan jalan tol mungkin melibatkan deforestasi untuk membebaskan lahan, atau penambangan bahan baku untuk material konstruksi. 

Pada saat yang sama, infrastruktur ini dapat memperburuk polusi udara dan air, mengancam ekosistem alami yang penting bagi keberlanjutan lingkungan. Marxisme menilai bahwa kapitalisme cenderung mengutamakan keuntungan jangka pendek atas pertimbangan lingkungan jangka panjang atau kesejahteraan sosial. 

Selain itu, dalam hubungan dengan tenaga kerja, infrastruktur kapitalis seperti jalan tol juga memainkan peran dalam eksploitasi pekerja. Pekerja sering kali dipekerjakan dalam kondisi yang tidak aman atau dengan upah rendah, tanpa jaminan perlindungan sosial yang memadai. 

Dalam kasus pembangunan jalan tol, pekerja migran sering kali menjadi korban utama eksploitasi, dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Marxisme menunjukkan bahwa solusi untuk masalah ini tidak hanya terletak pada perbaikan peraturan atau pengawasan pemerintah, tetapi pada perubahan struktural yang lebih dalam dalam cara kita memahami dan mengelola ekonomi dan infrastruktur. Ini termasuk pemikiran tentang kepemilikan kolektif atas sumber daya ekonomi, distribusi kekayaan yang lebih adil, dan penghargaan terhadap nilai kerja manusia di atas nilai kapital. 

Dengan memahami perspektif ini, kita dapat lebih kritis dalam mengevaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari proyek infrastruktur kapitalis seperti jalan tol, dan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan dan adil bagi masyarakat secara keseluruhan.


Sejarah Pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa

Sejarah pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa dimulai pada awal 1970-an. Sebagai respons terhadap kebutuhan akan jaringan transportasi yang lebih baik di Pulau Jawa, yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dan populasi terbesar di Indonesia. Pada saat itu, pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mengidentifikasi bahwa peningkatan infrastruktur jalan akan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, memperbaiki konektivitas antar kota dan daerah, serta mendukung distribusi barang dan jasa secara efisien. 

Proses keputusan politik di balik pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa mencakup berbagai tahap yang melibatkan perencanaan strategis, pemilihan rute yang optimal, pendanaan, dan pengadaan tanah. 

Pada awalnya, pemerintah menetapkan bahwa jalan tol ini akan menghubungkan Jakarta (ibu kota Indonesia) dengan Surabaya (kota terbesar kedua di Indonesia dan pusat ekonomi di Jawa Timur), melalui jalur utama yang melintasi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 

Keputusan politik untuk membangun jalan tol ini juga dipengaruhi oleh dorongan dari sektor swasta dan investor yang melihat potensi besar dalam pembangunan infrastruktur transportasi yang modern. Secara ekonomi, jalan tol diharapkan dapat meningkatkan efisiensi logistik dan mengurangi biaya transportasi bagi industri dan bisnis, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional. 

Diharapkan bahwa pengembangan ini akan mendorong investasi lebih lanjut di wilayah yang dilalui oleh jalan tol, menciptakan lapangan kerja baru, dan mempercepat distribusi produk-produk industri. Keuntungan ekonomi yang diharapkan dari proyek Jalan Tol Trans-Jawa mencakup peningkatan mobilitas barang dan orang, yang akan membuka akses ke pasar yang lebih luas dan memperluas jangkauan geografis bagi bisnis dan industri. Jalan tol ini juga diharapkan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas di jalan-jalan konvensional, sehingga meningkatkan efisiensi waktu perjalanan dan mengurangi biaya operasional untuk transportasi barang. 

Dalam jangka panjang, pemerintah juga berharap bahwa jalan tol ini akan membawa pertumbuhan ekonomi yang merata di sepanjang jalurnya, mempercepat urbanisasi dan pembangunan di daerah-daerah sekitarnya. Namun, selain manfaat ekonomi, proyek ini juga menimbulkan sejumlah tantangan dan dampak sosial yang perlu diperhatikan. 

Proses pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sering kali melibatkan pembebasan lahan dari pemilik tanah lokal, yang dapat menimbulkan ketidakpuasan atau masalah hukum terkait ganti rugi dan kompensasi. Selain itu, ada juga kekhawatiran terkait dengan dampak lingkungan seperti deforestasi, polusi udara, dan perubahan ekosistem akibat dari pembangunan infrastruktur skala besar ini. 

Secara keseluruhan, Jalan Tol Trans-Jawa adalah proyek infrastruktur penting yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Meskipun menjanjikan keuntungan ekonomi yang signifikan, implementasi proyek ini memerlukan manajemen yang hati-hati untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap masyarakat lokal dan lingkungan sekitar.


Kritik Terhadap Dampak Sosial dan Lingkungan

Kritik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan jalan tol seperti Trans-Jawa di Indonesia sangat relevan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan. Salah satu dampak sosial yang signifikan adalah terkait dengan komunitas lokal yang terkena dampak langsung dari proyek ini. 

Proses pengadaan lahan untuk pembangunan jalan tol sering kali melibatkan pengusiran paksa atau pemaksaan untuk menjual tanah mereka dengan harga yang mungkin tidak adil. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketegangan sosial di antara penduduk setempat, terutama jika mereka kehilangan sumber mata pencaharian atau tempat tinggal yang sudah mereka miliki secara turun-temurun. 

Pekerja migran juga menjadi kelompok yang rentan terhadap dampak sosial negatif. Mereka sering kali datang dari daerah lain untuk bekerja pada proyek konstruksi seperti jalan tol ini, tanpa jaminan perlindungan sosial atau keamanan kerja yang memadai. Kondisi kerja yang keras dan upah yang rendah dapat menyebabkan eksploitasi buruh dan kondisi hidup yang tidak layak bagi pekerja migran, yang sering kali terpisah dari keluarga mereka untuk waktu yang lama. Dampak lingkungan dari pembangunan jalan tol juga merupakan perhatian utama.

Misalnya, pembukaan lahan baru untuk jalan tol dapat mengakibatkan deforestasi atau penggundulan hutan, yang mengancam keanekaragaman hayati dan habitat satwa liar di sekitarnya. Selain itu, pembangunan jalan tol dapat memicu peningkatan polusi udara dan air akibat dari lalu lintas kendaraan yang meningkat, serta perubahan ekosistem yang berdampak jangka panjang terhadap lingkungan lokal. 

Kondisi hidup masyarakat sekitar setelah pembangunan jalan tol juga perlu dievaluasi secara kritis. Meskipun pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dapat meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas, dampaknya terhadap masyarakat lokal sering kali kompleks. 

Misalnya, sementara beberapa masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari peningkatan aksesibilitas, yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi lokal, yang lain mungkin mengalami peningkatan biaya hidup atau kesulitan dalam mengakses sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Kritik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan jalan tol seperti Trans-Jawa di Indonesia sangat relevan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan. Salah satu dampak sosial yang signifikan adalah terkait dengan komunitas lokal yang terkena dampak langsung dari proyek ini. 

Proses pengadaan lahan untuk pembangunan jalan tol sering kali melibatkan pengusiran paksa atau pemaksaan untuk menjual tanah mereka dengan harga yang mungkin tidak adil. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketegangan sosial di antara penduduk setempat, terutama jika mereka kehilangan sumber mata pencaharian atau tempat tinggal yang sudah mereka miliki secara turun-temurun. 

Pekerja migran juga menjadi kelompok yang rentan terhadap dampak sosial negatif. Mereka sering kali datang dari daerah lain untuk bekerja pada proyek konstruksi seperti jalan tol ini, tanpa jaminan perlindungan sosial atau keamanan kerja yang memadai. Kondisi kerja yang keras dan upah yang rendah dapat menyebabkan eksploitasi buruh dan kondisi hidup yang tidak layak bagi pekerja migran, yang sering kali terpisah dari keluarga mereka untuk waktu yang lama. 

Dampak lingkungan dari pembangunan jalan tol juga merupakan perhatian utama. Misalnya, pembukaan lahan baru untuk jalan tol dapat mengakibatkan deforestasi atau penggundulan hutan, yang mengancam keanekaragaman hayati dan habitat satwa liar di sekitarnya. 

Selain itu, pembangunan jalan tol dapat memicu peningkatan polusi udara dan air akibat dari lalu lintas kendaraan yang meningkat, serta perubahan ekosistem yang berdampak jangka panjang terhadap lingkungan lokal. Kondisi hidup masyarakat sekitar setelah pembangunan jalan tol juga perlu dievaluasi secara kritis. 

Meskipun pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dapat meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas, dampaknya terhadap masyarakat lokal sering kali kompleks. Misalnya, sementara beberapa masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari peningkatan aksesibilitas, yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi lokal, yang lain mungkin mengalami peningkatan biaya hidup atau kesulitan dalam mengakses sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk kehidupan sehari-hari.

 Pentingnya evaluasi ini adalah untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur seperti jalan tol tidak hanya memberikan manfaat ekonomi jangka pendek bagi sebagian kecil populasi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial secara lebih luas. Ini melibatkan perlindungan hak asasi manusia dari komunitas lokal, termasuk hak mereka atas tanah dan penghidupan yang berkelanjutan. 

Selain itu, perlindungan lingkungan harus menjadi prioritas dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur besar, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem lokal dan global. Dalam konteks jalan tol Trans-Jawa, penting bagi pemerintah dan pengembang proyek untuk melakukan dialog terbuka dengan masyarakat lokal dan kelompok masyarakat lainnya yang terpengaruh, untuk memahami kebutuhan mereka dan meminimalkan dampak negatif sebanyak mungkin. 

Ini akan membantu memastikan bahwa pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan berdaya tahan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat, sambil menghormati hak-hak masyarakat dan menjaga keseimbangan ekologi yang penting bagi masa depan generasi mendatang.

Perspektif Marxisme Terhadap Solusi Alternatif
Dalam perspektif Marxisme, solusi alternatif untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol harus berfokus pada redistribusi kekayaan dan sumber daya untuk kepentingan kolektif dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Marxisme menilai bahwa dalam sistem kapitalisme, infrastruktur sering kali dibangun dengan tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan kapitalis, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak masyarakat yang lebih luas, Salah satu alternatif yang diajukan oleh Marxisme adalah kepemilikan dan pengelolaan kolektif atas infrastruktur. Ini berarti bahwa proyek-proyek seperti jalan tol seharusnya dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan atau pemerintah yang mewakili kepentingan publik, bukan oleh sektor swasta yang berorientasi pada keuntungan. Dengan demikian, pengelolaan dan pendanaan proyek infrastruktur akan lebih mementingkan pelayanan publik dan kepentingan sosial daripada pencapaian keuntungan finansial yang maksimal. Pemikiran tentang redistribusi kekayaan dalam konteks pembangunan infrastruktur juga mencakup penataan ulang cara sumber daya ekonomi didistribusikan. Marxisme menyoroti bahwa dalam sistem kapitalisme, kekayaan dan kontrol atas sumber daya sering kali terkonsentrasi di tangan sedikit kapitalis yang mempengaruhi kehidupan banyak orang. Sebagai alternatif, Marxisme mendorong untuk menempatkan kekayaan dan sumber daya produksi di tangan masyarakat secara luas, sehingga manfaat ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan infrastruktur dapat dinikmati secara merata oleh seluruh anggota masyarakat. Sebagai contoh konkret, dalam konteks pembangunan jalan tol seperti Trans-Jawa, solusi alternatif menurut perspektif Marxisme mungkin melibatkan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis dan transparan. Ini termasuk melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dan kelompok masyarakat yang terpengaruh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan manajemen proyek. Dengan cara ini, kebutuhan dan aspirasi lokal dapat lebih dipertimbangkan dalam setiap tahap proyek, sementara keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari infrastruktur dapat digunakan untuk memperkuat layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. Selain itu, Marxisme juga menekankan pentingnya untuk memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dalam pembangunan infrastruktur. Alternatif solusi menurut Marxisme akan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem lokal dan global, dengan mengadopsi praktik konstruksi yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang. Pendekatan Marxisme terhadap solusi infrastruktur juga mempertimbangkan perlunya mengurangi ketimpangan ekonomi yang ada. Ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin melalui kebijakan redistribusi kekayaan dan penguatan hak-hak buruh. Dengan memberdayakan pekerja dan masyarakat secara keseluruhan, solusi alternatif ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan tetapi juga untuk membangun fondasi yang lebih kuat bagi keadilan sosial dan keberlanjutan jangka panjang. Dalam kesimpulan, perspektif Marxisme menawarkan pendekatan alternatif yang menekankan kepemilikan dan manajemen kolektif atas infrastruktur, redistribusi kekayaan untuk kepentingan sosial, dan perlindungan lingkungan dalam pembangunan infrastruktur. Solusi-solusi ini bertujuan untuk memastikan bahwa proyek-proyek pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat dan lingkungan.

Dalam perspektif Marxisme, pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa memiliki dampak sosial dan lingkungan yang signifikan. Secara sosial, proyek ini menghadirkan tantangan serius bagi komunitas lokal dan pekerja migran yang terlibat. Proses pengadaan lahan sering kali mengakibatkan pengusiran paksa atau pemaksaan untuk menjual tanah dengan harga yang tidak adil, yang menyebabkan ketegangan sosial dan kehilangan sumber penghidupan bagi banyak penduduk. Pekerja migran, yang bekerja dalam kondisi yang tidak aman dan dengan upah rendah, juga rentan mengalami eksploitasi yang serius. Dari segi lingkungan, pembangunan jalan tol ini memicu kerusakan alam yang signifikan. Penggundulan hutan untuk membebaskan lahan dan peningkatan polusi udara dan air akibat lalu lintas kendaraan merupakan beberapa dampak negatif yang penting. Marxisme menyoroti bahwa infrastruktur kapitalis cenderung mengutamakan keuntungan finansial jangka pendek atas pertimbangan lingkungan jangka panjang atau kesejahteraan masyarakat. Kesimpulan dari analisis ini adalah bahwa pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa, seperti proyek infrastruktur besar lainnya, harus dinilai dengan lebih kritis dari sudut pandang sosial dan lingkungan. Marxisme menawarkan solusi alternatif dengan menekankan kepemilikan dan pengelolaan kolektif atas infrastruktur serta redistribusi kekayaan dan sumber daya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Implikasi kesimpulan ini terhadap teori Marxisme secara lebih luas adalah pentingnya transformasi struktural dalam ekonomi dan politik untuk mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan Marxisme menegaskan perlunya menempatkan kekuasaan ekonomi kembali ke tangan masyarakat melalui pengelolaan kolektif atas sumber daya ekonomi. Dalam konteks pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, hal ini berarti mengubah cara infrastruktur dikelola dan dimiliki sehingga melayani kepentingan sosial dan lingkungan yang lebih besar. Ini melibatkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan serta perlindungan hak-hak pekerja dan komunitas lokal yang terpengaruh Secara lebih luas, kesimpulan ini mengarah pada perlunya perubahan struktural dalam sistem ekonomi global yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, keberlanjutan, dan pemerataan kekayaan. Marxisme memandang bahwa kapitalisme, dengan fokusnya pada akumulasi kekayaan oleh sedikit orang, cenderung memperburuk ketidaksetaraan sosial dan merusak lingkungan. Oleh karena itu, alternatif-alternatif yang berdasarkan prinsip-prinsip Marxisme menawarkan jalan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan lingkungan yang lebih berkelanjutan melalui penerapan kebijakan dan praktik yang berbeda. Dalam konteks pembangunan jalan tol Trans-Jawa, ini berarti mengevaluasi ulang pendekatan terhadap pembangunan infrastruktur besar dan memprioritaskan kepentingan masyarakat dan lingkungan di atas keuntungan ekonomi semata. Kesimpulan ini menyoroti pentingnya menempatkan kembali manusia dan lingkungan sebagai fokus utama dalam pembangunan, bukan hanya sebagai penerima sisa-sisa dari pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun