Makin kesini sepertinya tidak ada lagi yang benar yang dilakukan oleh orang lain di mata kita. Dari 10 kerjaan, prestasi, perbuatan, kegiatan yang dilakukan orang lain, mungkin hanya 1-2 saja yang benar di mata kita, yang dipuji, yang kita apresiasi. Selebihnya salah, gak benar, kacau, merugikan, jelek dan negatif semua.Â
Bahkan yang lebih parah lagi, setelah 76 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini memiliki sifat egois akut kalau tidak mau dibilang tidak ada budi pekerti, tidak ada akhlak atau amoral.
Bayangkan saja, bentuk tubuh orang lain, gemuk kurusnya dia, cantik jeleknya wajah orang, bagus tidaknya mobil yang dibelinya, keren tidaknya desain rumah seseorang, semua salah di mata kita.Â
Lah mereka makan pakai uang mereka sendiri, mereka operasi plastik atau oplas pakai duit hasil jerih payah kerjanya sendiri, mereka bangun rumah desainnya sesuai selera mereka sendiri lalu kenapa kita yang marah, sewot sampai kejang-kejang, maki-maki di sosmed.Â
Begitu lah saat ini sifat menyalahkan yang kita temui hampir setiap saat di bumi pertiwi ini.
Emosi yang Kebablasan
Agama dan pendidikan saat ini bukan lah menjadi pedal rem dan gas dalam bertindak. Ilmu agama yang dalam dan tingkat pendidikan yang tinggi saat ini tak lagi mencerminkan ketinggian moral seseorang.Â
Seseorang bergelar profesor dengan santainya bisa melepaskan twit yang menyalahkan sebuah kebijakan. Seorang pemuka agama tersohor dengan amarahnya menumpahkan sumpah serapah di atas mimbar. Apa lagi kalau tidak karena "keadaan yang selalu salah" di mata mereka.
Yang lebih ekstrim lagi sering kita jumpai anak-anak kita yang belum mengerti apa-apa dalam keadaan kesal, marah, emosi memuncak dengan entengnya mengatakan, "kenapa aku dilahirkan?", "aku mau ganti mama aja deh!", "menyesal aku punya ayah seperti kau!" Seperti dialog dalam sinetron saja, ya sinetron. Sinetron atau film itu adalah cerminan atau diangkat dari kondisi yang terjadi di masyarakat. Atau membuat adegan yang akhirnya ditiru masyarakat.
Yang Mengejek Tidak Lebih Baik
Sejatinya saat ini mereka yang mengejek dan menyalah-nyalahkan itu tidak lebih baik dari yang diejeknya. Kita benci banget sama anggota dewan, Bupati, Menteri atau Presiden. Lha sekarang coba tanya pada diri kita masing-masing, mereka itu siapa? Wakil kita toh, bagian dari kita juga toh. Artinya kalau Menterinya korup, anggota dewannya tidur, pemalas ya itu lah kita, kita yang masih malas, korup, dan sebagainya.Â
Coba kalau kita dititipin uang bantuan, sedekah, uang darmawisata sekolah TK, uang arisan, yakin situ amanah? Benar bisa mengelola uang recehan dengan baik, ini belum uang ratusan juta bahkan milyaran ya, baru recehan. Apa iya gak nilep, apa gak tergiur untuk mengolahnya, memanfaatkannya, menggunakannya dulu, menginvestasikan dengan alasan bisa melipatgandakannya? Situ yakin benar, amanah, jujur, gak seperti mereka pejabat-pejabat itu?
Ingat lah prinsip Menunjuk. Ketika satu jari telunjuk menunjuk orang lain sesungguhnya 4 jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri. Lihatlah diri kamu sendiri, apa iya sudah sebaik mereka?
Mengembalikan Moral yang Hilang
Diperlukan sebuah gerakan masif, disiplin dan berkesinambungan untuk membentuk dan membangun manusia Indonesia yang berkarakter dan berbudi pekerti. Kita terhanyut dalam suasana bebas teriak di medsos.Â
Apa saja bisa kita lakukan tanpa kontrol. Sedangkan aturan sudah dibuat pun, hanya dengan drama air mata, mohon maaf dan sebuah materai pelakunya bisa bebas dan berkicau kembali menebar amarah, keburukan, hoax dan fitnah, menyalahkan keadaan tanpa alasan dan fakta yang sebenarnya.Â
Sesungguhnya aturan-aturan yang dibuat itu untuk mengingatkan kita batas-batas yang mengganggu dan melewati tatanan moral, bukan untuk menakut-nakuti seperti pemikiran kita ada polisi di jalan, kita disiplin tetapi jika tidak ada, kita semaunya, bukan seperti itu. Aturan pakai masker salah, berkerumun salah, vaksin salah, ppkm salah.Â
Sementara aturan prokes dilakukan di seluruh dunia. Aturan tidak mungkin dibuat jika kita tidak menyalahi keadaan yang ada, yang tentram, yang aman, damai.
Dari kecil kita sudah berhadapan dengan lingkungan yang menyalah-nyalahkan, anak-anak kita dibuli karena tidak bisa bilang "R", karena pendek, hitam, pitak dan sebagainya.Â
Di sekolah juga tak lebih baik, status guru memang sejatinya mengayomi, tapi banyak juga guru yang bermental "buruk", memanggil muridnya dengan sebutan si jangkung, celana kedodoran, body shaming lainnya, apa lah. Belum lagi guru-guru, dosen-dosen, ustad-ustad yang di depan kelas, di atas mimbar, dengan lantangnya menyalahkan keadaan.Â
Persis seperti penonton bola yang merasa jauh lebih hebat dari pemain di lapangan. Semua pemain dimatanya salah, bego, tidak bisa main.
Lalu kita harus bagaimana? Tulisan ini pun bisa saja dianggap "menyalahkan yang lain", "sok suci", "merasa benar sendiri", atau apa pun itu, karena memang kondisinya begini saat ini. Yang perlu kita resapi dan pahami adalah bahwa sesuatu yang terjadi, dibuat orang lain yang diluar kemampuan atau campur tangan kita, apalagi itu bukan urusan dan menyangkut kehidupan kita, jangan diurusin, diam saja.Â
Cobalah apresiasi, berikan senyuman, pujian kalau bisa, untuk hal-hal yang dilakukan orang lain. Jika kita tidak bisa mengubah atau mengendalikan sesuatu yang menurut kita jelek, cobalah untuk bisa menerima keadaan yang ada. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang semakin berakhlak dan berbudi luhur ke depannya. Maju terus Indonesia. Dirgahayu 17 Agustus 2021. Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H