Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keep Your Children Safe

20 April 2020   12:00 Diperbarui: 20 April 2020   12:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Melihat dua film terakhir yang dibintangi aktor Will Smith yaitu Bad Boys for Life dan Gemini Man ada pesan mendalam yang dapat saya rasakan yaitu Selamatkan Anakmu!

Ya, anak tetap lah anak. Betapa pun mereka terlahir di jalanan, hidup brutal, bahkan diformat menjadi mesin pembunuh sekalipun, sebisa mungkin "Sentuh Hatinya, Reset, Kembalikan Ia secara Humanis" karena itu merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai orang tua.

Dikisahkan di dua film tersebut, bahwa anak-anak Will Smith menjadi mesin pembunuh yang diformat untuk membunuh Ayahnya sendiri. Mereka tidak kenal siapa ayahnya, hanya tahu bahwa dia lah musuh terbesar yang harus dimusnahkan. 

Di akhir cerita, Sang Ayah tetap lah orang tua yang mampu mengendalikan anaknya. Bahwa lingkungan yang salah telah memformat anaknya menjadi salah yang hanya tahu bahwa kesalahan terjadi pada diri orang tuanya.

Film kok dihayati. It's just fo Fun. Benar. Ia hanya lah Hiburan. Tapi bagi saya, film, drama adalah sebuah cerminan hidup. Bagaimana ia diangkat dari cerminan kenyataan yang terjadi di masyarakat atau sebaliknya film menjadi trigger contoh yang akan terjadi di masyarakat. 

Sering menonton film sadis, brutal membuat anak menjadi psycho. Atau bisa jadi keadaan masyarakat yang gampang membully seorang baik menjadi psycho seperti Joker. Jadi ada saling keterkaitan antara dunia nyata dan film.

Format Anakmu dengan Benar

Keadaan yang terjadi saat ini disaat pemimpin-pemimpin perusahaan, pejabat-pejabat pemerintahan, bos-bos konglomerat dipimpin oleh orang-orang yang berumur 40-50an, mereka-mereka ini merupakan produk generasi yang 20-30 tahun lalu mengalami masa remajanya, sama seperti aku yang sedang menulis cerita ini. 

Apa yang terjadi dengan kami di tahun 1990-2000 yang lalu? Kami mengalami fase-fase pergantian Presiden abadi, Soeharto, krisis moneter, drama opera sabun dan berbagai kisah dramatis lainnya. Di tahun 1990-an fase dimana aku merantau dari Medan ke Jakarta untuk sekolah dan bekerja. 

Dari sekolah diploma trus bekerja dan kemudian sambil bekerja melanjutkan sekolah sarjana di program ekstension Fakultas Ekonomi UI. Hal yang paling membuatku bingung saat itu adalah ketika ada jadwal pelaksanaan ujian semester di bulan ramadhan menjelang Lebaran. 

Pulang ujian malam hari melewati saf-saf orang yang sedang melaksanakan ibadah sholat tarawih di Mesjid UI Salemba yang meluber hingga ke parkiran dan lorong masuk kampus. Mudik jelas jauh dari pikiran. 2 hari ke depan sudah Lebaran. Saat itu aku bingung, apa sih yang kucari?

Bagaimana bisa pihak kampus mengadakan ujian jelang Lebaran begitu? Apakah tidak bisa menggesernya sedikit saja setelah Lebaran? Begitu lah pikiranku yang anak kampung ini di perantauan.

Tetapi teman-temanku yang lain kulihat asik-asik saja. Mereka tetap bercengkerama, membahas pelajaran dan soal ujian. Pulang ujian masih clubbing. Dan kegiatan lainnya untuk urusan Dunia, Dunia dan Dunia. 

Kebanyakan mahasiswa ekstention kelas malam temenku itu orang yang sudah berkeluarga dan punya jabatan di kantor masing-masing. Terbayang di benakku, anaknya diurus pembantu, atau neneknya mulai melek mata sampai tidur lagi. Hanya Sabtu Minggu saja waktu kumpul keluarga mereka.

Belum lagi beberapa teman yang lain yang sibuk meningkatkan kapasitas dirinya dengan mengambil dan mengikuti kursus-kursus online demi mengejar sertifikat pengembangan diri. Alasan mereka adalah Indonesia akan menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi Asean, dimana nanti orang asing bisa berdaulat di negeri kita. 

Bisa saja yang jual mie ayam keliling rumah kita adalah orang Vietnam, nanti orang Filipina bisa menjadi atasan kita, kita pun bisa bekerja di negara Asean dan sebagainya. Good. Okeh. Bagoos. Dan sampai sekarang terlewati, perasaan apa yang dikuatirkan dengan negara ini tak seperti yang dibayangkan mereka. Masing-masing dengan kedaulatan negara masing-masing. 

Kini, didengungkan lagi bahwa Cina akan menjajah negeri ini. Hello.. pemikiran idiot 20 tahun yang lalu muncul lagi. Lha yang namanya lu punya kemampuan lu mau kerja dimana sejauh memenuhi syarat dan peraturan keimigrasian, what's wrong? so what geto loh.. masalahnya dimana, lu mau kerja di Arab, monggo, orang Cina mau kerja disini, silahkan, lu kontrak ngelas pipa di bawah perairan pasifik hayo, jadi masalahnya dimana? Siapa yang mau menguasai siapa?

Kembali ke cerita Mengamankan Anak-anak Kita tadi. Lalu bagaimana kondisi anak-anak kita saat ini? Ya seperti yang Anda rasakan. Canggih, cerdas, hightech, melek internet, familiar dengan gadget, medsos, coding, game online tapi Rapuh. Ngeyel, susah diatur, minim sosialisasi, kurang fighting spirit, melow dan kurang percaya diri. 

Kenapa bisa begitu? Karena kebanyakan dari kita yang hidupnya 20-30 tahun lalu, meninggalkan mereka di rumah dengan pembantu, memenuhi semua kebutuhannya dengan fasilitas lengkap. Rumah nyaman ber-AC, dulu juga sudah ada internet, blackberry, playstation, makanan junk food, motor, mobil tapi minim sentuhan kehangatan kekeluargaan. 

Semua dipenuhi dengan duit. Mau apa-apa dibeliin, mau apa saja dipenuhi. Anak kita tidak kita didik seperti zaman kita kecil dan remaja di tahun 1970-1980-an. Bermain bersama, ke warung, ke pasar naik sepeda, mengingat perintah belanjaan ibu, jalan kaki bersama teman ke sekolah, mencuri mangga tetangga. 

Fighting spirit-nya kuat. Mentalnya gak lembek. Kita takut anak-anak kita menderita seperti zaman kita dulu. Kita takut mereka kepanasan, kelelahan, kebingungan padahal kita membuat mereka menjadi Manja.

Informasi kita lengkap. Kompleks. Cara mendidik anak ala Jepang, Israel, kita tau. Model parenting seperti apa kita tau. Tapi lagi-lagi yang kita terapkan dirumah kebanyakan memanjakan mereka.

Lihatlah kualitas sinetron, iklan televisi kita saat ini. Dari sisi teknologi mungkin maju, menggunakan teknologi. Tapi dari sisi cerita? Kekerasan, kaya miskin, joke-joke garing, apakah mereka tidak berpendidikan? Jelas mereka sarjana. Baik produser, sutradara, semua kru mungkin berpendidikan tinggi. Tapi kualitas sinetron, tayangan gosipnya, hiburannya. Masih jauh dibandingkan era 1980-an.

Dari sisi agama alhamdulillah sekarang jauh lebih baik, banyak anak-anak dimasukkan ke pesantren, menjadi tahfiz. Tapi moralnya? Tutur katanya? Cara berdakwahnya? Pengambilan contoh dari ayat Al Quran dan Haditsnya? Justru banyak dai-dai muda yang terpleset lidah, emosional, kita temui di media youtube, facebook, atau televisi yang akhirnya berakhir dengan minta maaf. 

Ilmu agama yang dimiliki digunakan untuk menyerang Pemerintah, radikal, tidak bisa menerima perbedaan, mengkafirkan, menganggap Agamanya paling benar, mempromosikan poligami, bahkan membuatnya dengan seminar-seminar. Kesesatan justru terjadi dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki.

Teknologi dan internet membuat anak zaman sekarang terjebak dalam prilaku sex menyimpang, mengincar bocah menjadi pedofilia, menyenangi teman sejenis, melakukan pesta sex, semua semudah transaksi online.

Semua kemudahan yang kita berikan dulu membuat anak-anak kita sekarang seperti yang terjadi saat ini. Kalau kita biarkan ini terus terjadi tanpa sentuhan moral, tanpa kasih sayang dan suri tauladan, memberikan contoh baik kepada mereka, bayangkan lah apa yang terjadi di periode 20-30 tahun ke depan ketika kita menjadi kakek, mbah, dan mereka yang mengendalikan dunia ini. 

Dan anak-anak mereka? Mungkin sejak TK sudah di asramakan dan mereka asik dengan dunia mereka sendiri. Atau bisa jadi akan punah generasi berikutnya ketika mereka berpikir bahwa anak adalah beban. Dari pada kejadian seperti di film Will Smith itu terjadi, bahwa anak tidak tahu siapa orang tuanya dan mereka diformat untuk menghabisi orang tuanya yang dianggap bersalah, mari kita selamatkan generasi masa depan kita mulai hari ini.

Keep Our Children Safe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun