Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Terbalik

13 Januari 2018   09:31 Diperbarui: 14 Januari 2018   10:25 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecepatan informasi saat ini sungguh memudahkan dan menambah pengetahuan dan wawasan kita. Tapi jelas, semua memiliki dampak negatif juga sehingga yang dituntut untuk Selalu Bersikap Benar itu adalah Diri Kita masing-masing, The Man Behind The Gun. Bagi smartphonholic, majalah IT, toko hp tentulah kehadiran Iphone X menjadi sebuah penantian yang ditunggu-tunggu.

Pengen tahu kecanggihannya, performanya, keunikannya dan sebagainya. Tapi ketika smartphone secanggih apa pun dipegang balita, nah.. terbayang kan jadi apa itu hp, diketok-ketok, digigit, dilempar, dicoret-coret, dipencet-pencet sehingga settingan anda berubah semua, tahu-tahu anda berantem dengan rekan anda karena ada pesan aneh terkirim yang ternyata hasil perbuatan balita tadi he he, ya begitulah kira-kira perumpamaan siapa mengendalikan apa.

Dewasanya Anak-anak vs Anak-anaknya Orang Dewasa

Dalam sehari diperkirakan ada jutaan foto dan video diupload, dikirim ke jaringan medsos saat ini. Ada yang lucu, menganggapnya lucu, ada yang horor, menganggapnya horor, sedih atau menganggapnya sedih, tergantung dari persepsi si pengirim dan penerima foto atau video tadi. Kemarin saya sungguh tergelak, ngakak guling-guling saat melihat video seorang balita yang membawakan dan memberi minuman kepada ayahnya yang sedang bekerja di depan laptop dengan caption "Sayangnya seorang anak".

Diawal video digambarkan bocah tersebut memberikan segelas air kepada ayahnya kemudian ayahnya tersenyum dan meminumnya. Oh so sweet, bagaimana seorang balita sangat perhatian pada orang tuanya. Kemudian tindakan itu diulang kembali. Dan ayahnya kembali meminumnya. Adegan berikutnya adalah behind the scene, kejadian di belakang layar, darimana bocah tadi mengambil airnya. Apakah diberikan ibunya, kakaknya? Diambil dari dispenser? Tidak saudara-saudara, ia mengambilnya dari closet, ya kakus duduk itu, jeng jeeenng huahaha.

Ya begitulah bocah, namanya juga anak-anak. Ternyata hal serupa pernah juga saya alami beberapa tahun silam, saat itu saya ikut dengan keluarga kakak saya, kemudian kakak ipar saya ingin mengisi bensin di rest area cikarang, sebelum isi bensin kami ke toilet dulu. 

Kami bertiga masuk ke toilet laki-laki dan kencing di urinoir, tempat kencing berdiri laki-laki. Setelah kencing biasanya kita menyiramnya dengan memencet tombol di bagian atas. Kehebohan pun terjadi, ponakan saya yang masih kelas 6 SD waktu itu, saat air guyuran keluar, ia mencuci mukanya hehe. Kita pun heboh. Ya begitulah anak-anak. Belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. 

Nah, ada lagi kejadian unik lainnya yang pernah saya alami saat sholat Jumat. Karena kondisi jamaah penuh, saya hanya kebagian duduk di teras belakang mesjid. Agak jauh di samping mesjid terdapat tempat wudhu. Saat khatib berceramah, ada 3 atau 4 anak berseragam SD sedang wudhu. Mata saya jauh memandang mereka. Dan taraaa..

Kejadian aneh, sedih dan menggelikan pun terjadi saudara-saudara. Ada satu bocah yang setelah wudhu kebelet pipis, dia langsung pipis di tempat wudhu itu, lalu setelahnya, masuk ke mesjid. Teman-temannya tidak ada yang memberitahukannya, orang yang duduk dekat situ pun tidak ada yang negur atau memang tidak lihat kejadian itu. Saya yang mau negor posisinya jauh di belakang. Itu lah anak-anak dia tidak tau arti wudhu yang membersihkan hadats/kotoran kecil, dia tidak tahu apa yang dia perbuat.

Kondisi Terbalik

Begitu lucunya tingkah anak-anak itu sehingga membuat kita geli, tertawa bahkan kesal. Dan seringkali kita mendengar berita, orang tua yang bunuh anaknya gara-gara tangisan anaknya, pengurus anak yang memukul, menyiksa balita majikannya karena kesal, capek dan marah karena balitanya rewel. Nah, disini kita lihat bagaimana Orang Dewasa yang Kekanak-kanakan. Bahkan almarhum Gus Dur sampai menyebut para anggota DPR seperti anak TK. Ya, memang begitulah kondisi saat ini yang kita alami. Dunia Terbalik.

Kondisi anak yang seharusnya seperti yang saya gambarkan di awal cerita tadi, saat ini perlahan tapi pasti mengalami pergeseran. Baik itu alamiah maupun dipaksa oleh kondisi lingkungan yang ada. Minggu yang lalu, awal Januari 2018 ini, kita dikejutkan dengan viralnya video adegan dewasa yang dilakukan oleh seorang Wanita Dewasa dengan Anak berusia 7 dan 9 tahun. Naujubillahi min dzalik. 

Parahnya lagi ibu salah seorang anak ikut mengarahkan adegan tersebut. Ada apa ini. Lucu kah? Seni kah? Uang kah? Semua itu yang kita hadapi saat ini, atas nama seni, atas nama lucu-lucuan, hiburan, hepi-hepi, senang-senang, atas nama uang, yang terakhir ini yang sangat berbahaya. Anak dilacurkan, anak melacurkan diri untuk bertahan hidup. Demi sesuap nasi.

Kita tentu miris, sedih, ketika kondisi ini berkebalikan. Anak-anak yang berprilaku seperti orang dewasa dan orang dewasa yang kekanak-kanakan. Anak SD yang merokok, menonton video porno, anak-anak remaja wanita yang berkelahi seperti para gladiator, terlibat geng motor, yang paling miris kejadian perampokan toko pakaian oleh segerombol anak remaja. Bagaimana bisa mereka tinggal, mengontrak secara bersama-sama di satu tempat, tanpa pengawasan orang tua, ngontrak bukan karena sekolah dan bekerja tapi merampok dan hidup bebas. Uang makannya didapat dari jualan celurit, membegal dan narkoba. Sungguh ironi negeri ini.

Gambaran lain dipertontonkan oleh para orang dewasanya. Bagaimana keserakahan, nafsu birahi, mereka bertingkah seperti anak-anak yang tidak tahu mana yang benar dan salah. Pendidikan penduduk negeri ini sudah banyak terupdate. Jumlah yang berpendidikan S1, S2 bahkan S3 jauh meningkat dibanding tahun-tahun 1980 dan 1990an, namun jenjang pendidikan itu tidak serta merta menjamin kedewasan berprilaku dan kematangan berpikir. Norma dilanggar.

Tata krama hanya  tulisan dan petuah belaka. Ceramah agama sebatas rutinitas hampa tak berbekas. Begitulah tontonan kita saat ini. Baik yang beredar terbatas media sosial maupun bebas ditayangkan melalui televisi nasional. Merampas hak orang lain melalui korupsi, merekam adegan seks, OTT nyabu, transaksi narkoba, mempermalukan, menelanjangi orang dalam debat di televisi seolah hal yang wajar, boleh dan tidak melanggar hak orang lain, norma kesopanan dan kesusilaan, apalagi hukum agama yang rasanya kita semakin jauh darinya.

Kembali Pada Norma

Ketika ilmu itu tinggi tapi moral tiada maka kondisi terbalik seperti sekarang ini lah yang sedang kita hadapi. Kecanggihan teknologi smartphone disalahgunakan untuk merekam video porno, aplikasi media sosial facebook, twitter, whatsapp dan youtube dijadikan alat menyebarkan fitnah. Keilmuan yang tinggi juga dimanfaatkan untuk memanipulasi kebohongan dalam hukum, medis, produksi, ekonomi dan pemasaran. Semua kebablasan ini hanya bisa direm dengan yang namanya Moral.

Saya tidak tahu lagi apakah masih ada yang namanya pendidikan Moral dalam kurikulum sekolah-sekolah. Dahulu ada namanya pendidikan Budi Pekerti, kemudian PMP Pendidikan Moral Pancasila. Tetapi sekarang apakah masih ada, bagaimanakah bentuk pelajaran dan pengajarannya, apakah contoh-contoh yang diberikan mampu menggugah anak didik untuk tidak melanggar aturan. Karena sesungguhnya pendidikan Moral akan berhadapan dengan kebosanan, perasaan berontak siswa, malas, merasa sudah paling tahu akan kebenaran, tetapi pendidikan ini sangat penting dan jangan sampai hilang dalam rangka membendung kondisi Dunia Terbalik saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun