Kondisi anak yang seharusnya seperti yang saya gambarkan di awal cerita tadi, saat ini perlahan tapi pasti mengalami pergeseran. Baik itu alamiah maupun dipaksa oleh kondisi lingkungan yang ada. Minggu yang lalu, awal Januari 2018 ini, kita dikejutkan dengan viralnya video adegan dewasa yang dilakukan oleh seorang Wanita Dewasa dengan Anak berusia 7 dan 9 tahun. Naujubillahi min dzalik.Â
Parahnya lagi ibu salah seorang anak ikut mengarahkan adegan tersebut. Ada apa ini. Lucu kah? Seni kah? Uang kah? Semua itu yang kita hadapi saat ini, atas nama seni, atas nama lucu-lucuan, hiburan, hepi-hepi, senang-senang, atas nama uang, yang terakhir ini yang sangat berbahaya. Anak dilacurkan, anak melacurkan diri untuk bertahan hidup. Demi sesuap nasi.
Kita tentu miris, sedih, ketika kondisi ini berkebalikan. Anak-anak yang berprilaku seperti orang dewasa dan orang dewasa yang kekanak-kanakan. Anak SD yang merokok, menonton video porno, anak-anak remaja wanita yang berkelahi seperti para gladiator, terlibat geng motor, yang paling miris kejadian perampokan toko pakaian oleh segerombol anak remaja. Bagaimana bisa mereka tinggal, mengontrak secara bersama-sama di satu tempat, tanpa pengawasan orang tua, ngontrak bukan karena sekolah dan bekerja tapi merampok dan hidup bebas. Uang makannya didapat dari jualan celurit, membegal dan narkoba. Sungguh ironi negeri ini.
Gambaran lain dipertontonkan oleh para orang dewasanya. Bagaimana keserakahan, nafsu birahi, mereka bertingkah seperti anak-anak yang tidak tahu mana yang benar dan salah. Pendidikan penduduk negeri ini sudah banyak terupdate. Jumlah yang berpendidikan S1, S2 bahkan S3 jauh meningkat dibanding tahun-tahun 1980 dan 1990an, namun jenjang pendidikan itu tidak serta merta menjamin kedewasan berprilaku dan kematangan berpikir. Norma dilanggar.
Tata krama hanya  tulisan dan petuah belaka. Ceramah agama sebatas rutinitas hampa tak berbekas. Begitulah tontonan kita saat ini. Baik yang beredar terbatas media sosial maupun bebas ditayangkan melalui televisi nasional. Merampas hak orang lain melalui korupsi, merekam adegan seks, OTT nyabu, transaksi narkoba, mempermalukan, menelanjangi orang dalam debat di televisi seolah hal yang wajar, boleh dan tidak melanggar hak orang lain, norma kesopanan dan kesusilaan, apalagi hukum agama yang rasanya kita semakin jauh darinya.
Kembali Pada Norma
Ketika ilmu itu tinggi tapi moral tiada maka kondisi terbalik seperti sekarang ini lah yang sedang kita hadapi. Kecanggihan teknologi smartphone disalahgunakan untuk merekam video porno, aplikasi media sosial facebook, twitter, whatsapp dan youtube dijadikan alat menyebarkan fitnah. Keilmuan yang tinggi juga dimanfaatkan untuk memanipulasi kebohongan dalam hukum, medis, produksi, ekonomi dan pemasaran. Semua kebablasan ini hanya bisa direm dengan yang namanya Moral.
Saya tidak tahu lagi apakah masih ada yang namanya pendidikan Moral dalam kurikulum sekolah-sekolah. Dahulu ada namanya pendidikan Budi Pekerti, kemudian PMP Pendidikan Moral Pancasila. Tetapi sekarang apakah masih ada, bagaimanakah bentuk pelajaran dan pengajarannya, apakah contoh-contoh yang diberikan mampu menggugah anak didik untuk tidak melanggar aturan. Karena sesungguhnya pendidikan Moral akan berhadapan dengan kebosanan, perasaan berontak siswa, malas, merasa sudah paling tahu akan kebenaran, tetapi pendidikan ini sangat penting dan jangan sampai hilang dalam rangka membendung kondisi Dunia Terbalik saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H