Sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum saya menikah dan tinggal masih di sebuah kamar kos, tergiur dengan harga coret (sebutan saya untuk harga promo dengan mencoret harga sebenarnya), saya membeli sebuah rak buku bersusun 3 di pasar moderen di Cempaka Mas dengan harga hanya Rp 50.000 saja. Selang 2 minggu kemudian datang lah seorang teman dari Labuan Bajo, NTT. Dia tertarik dengan rak buku yang ada di kamar saya, dan dia lebih tertarik lagi dengan harga yang saya katakan hanya gocap, 50 ribu saja. Ya, saat itu ada 2 model yang dijual, model tanpa pintu dan dengan pintu yang harganya Rp 80.000.Â
Teman saya ini berniat untuk membeli beberapa rak untuk dibawa ke NTT, mumpung lagi di Jakarta. Sesampainya di pasar tersebut, kami blusukan mencari rak yang dimaksud, tetapi tidak ada. Kami mencari di bagian furnitur dan display promo, tetap tidak ada. Bukan rak nya yang tidak ada. Tetapi rak dengan harga gocap itu yang tidak ada. Rak tersebut ada dan sekarang dijual dengan harga Rp 100.000.Â
Teman saya pun mengatakan bahwa saya telah berbohong. Waduh, dia gak percaya dan mengatakan kenapa kemarin tidak membeli 2 atau 3 rak. Lha, mana saya tau kalau teman saya mau datang ke Jakarta dan mampir ke kosan saya. Untuk meyakinkan beliau, kami pun memanggil karyawan toko dan menanyakan harga sebenarnya. Dan karyawan tersebut menjelaskan bahwa benar kemarin harga itu sudah normal kembali ke harga semula Rp 100.000 dan memang 2 minggu sebelumnya rak itu didiskon dengan harga Rp 50.000 saja. Tetapi waktu promonya sudah habis saat kami datang waktu itu. Jelas, saya tidak bohong.
Kejadian 10 tahun yang lalu itu masih berlanjut hingga kini, pasar-pasar moderen, supermarket-supermarket seperti Hypermart, Transmart, Giant, Tip Top minimarket-minimarket ber-AC seperti Indomaret, Alfamaret, Superindo, departemen store seperti Matahari, Ramayana yang bertebaran di negeri ini selalu melakukan promo, diskon, harga coret untuk menggaet konsumennya baik melalui selebaran, iklan di koran maupun televisi. Berbagai trik penentuan harga dilakukan toko-toko modern ini mulai dari slogan "jika ada yang lebih murah, kami ganti selisihnya", membuat belanja tengah malam "midnight sale, promo sayuran di hari kamis, buah-buahan di hari selasa, belanja pakaian dalam diskon 70% dari jam 14.00-17.00, buy 1 get 1 free, beli Rp 100.00 untuk pakaian berlabel biru dapat voucher Rp 50.000 dsb dsb. Trik-trik ini tentu saja tidak kita dapatkan di pasar becek, warung bu Imah, kedai Wak Soleh dekat rumah kita.
Paling-paling kita mendapatkan harga sayur, ikan dan buah-buahan yang lebih murah di siang atau sore hari, dilebihin buah dan telur 1 butir, ditambahin 1 sachet kopi dan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh toko-toko modern tadi. Tapi bagaimana dengan harganya, ya stabil. Tidak pernah Wak Soleh tau-tau mengumbar deterjen separoh harga tetapi besoknya minyak goreng menjadi 3x lipat. Tidak pernah kita temui Bu Imah, promo Coca Cola beli 2 gratis 1 pisau cukur, kecuali memang dari distributornya membuat ketentuan seperti itu.Â
Di warung tradisional kita bisa berinteraksi dengan banyak pihak, ada kuli panggul, tukang becak, pengemis, bisa bersosialisasi dengan tetangga kompleks, bisa menawar harga. Tetapi harganya tidak bohong. Naik ya naik, dan tidak gila-gilaan jika Anda belanja secara rutin. Turun ya turun, tidak akan pernah Anda dapati harga yang sudah didiskon begitu bayar pakai kartu kredit tertentu harganya didiskon lagi.Â
Kita Memang Senang Ditipu
Apa daya, masyarakat kita saat ini memang senangnya ditipu, dibohongin. Justru kalau Anda jujur, Anda menjual dengan harga sebenarnya, dengan mengambil marjin yang hanya 10-20%, konsumen kita justru malah tidak percaya dengan Anda. Dibilanglah barang Anda tidak berkualitas, kadaluarsa, barang afkir, apa saja dilontarkan dari apa hal-hal buruk yang mereka pikirkan.Â
Teringat akan cerita Dosen Pengantar Bisnis saya di Ekonomi UI dulu. Ketika itu ia dan istrinya membuka toko batik di Pasar Sunan Giri, Rawamangun. Dia mencoba terobosan baru dengan menjual baju-baju batik murah dengan harga dibawah 100 ribu. Saat itu kita lagi menggalakkan pemakaian batik menjadi pakaian sehari-hari. Setelah 1-2 bulan buka, penjualan buruk. Hanya 1-2 orang yang masuk ke toko mereka, itu pun belum tentu membeli. Kemudian Dosen saya ini, mengubah mindset orang atas tokonya itu.Â
Semua label harga baju di tokonya diganti dengan harga baru. Semua pakaian dijual dengan harga minimal 100 ribu rupiah. Baju yang sama dengan modal yang sama, yang awalnya si bapak hanya mengambil marjin normal kini dijual dengan harga jual 3-5x lipat harga 2-3 bulan lalu. Dan anehnya, orang-orang yang tadinya menganggap batik pak dosen tadi murahan kini dianggap barang berkualitas. Batiknya laris manis. Makanya tak heran kita bila pintar menawar di pasar seperti mangga dua, tanah abang, jatinegara dan pasar-pasar di kota-kota lainnya di Indonesia ini, suka terkaget-kaget. Kok bisa ya nawar tas harga Rp 300.000 laku seharga Rp 80.000, gak salah nih, Gamis 500.000 bisa gue beli seharga Rp 225.000. Tapi kenyataannya ya seperti itu. Banyak orang yang tertipu dengan harga yang ditawarkan, yang gak bisa nawar, yang males debat, males berdesak-desakan kalah dengan harga si pedagang yang hanya bisa turun 10-50 ribu atau bahkan gak bisa ditawar. Padahal keuntungan yang diraihnya bisa 2-5x lipat modal mereka.Â
Apakah ini fair ?
Wallahualam. Hukum ekonomi sering tak berlaku di zaman hedonis kapitalis saat ini. Mana ada itu jika Demand Permintaan tinggi Harga Naik dan sebaliknya. Yang ada adalah pinter-pinternya Anda nentuin harga. Lihatlah harga di Tokopedia, Lazada, Blibli, dsb. Pedagang yang baik, yang punya nurani, yang masih berpegang teguh ajaran agama tentulah hanya mengambil keuntungan 10-20%, pastilah karyawannya betah, gak gonta ganti, gajinya gak rendah. Di toko-toko online itu kita bisa bandingkan barang yang sama, dengan jenis dan kode yang sama, harganya bervariasi, ada yang ambil untung sangat besar ada yang biasa-biasa saja. Beruntunglah mereka yang berjualan yang memegang produk yang tidak dimiliki pedagang lain, sehingga berapa pun harga yang ditawarkan pasti terjual habis.
Beberapa hari yang lalu saya mendapati minuman C1000 di toko modern dekat rumah promo dengan harga satuan Rp 7.500 beli 2 gratis satu, rasa lemon atau jeruk. Berarti dengan harga Rp 15.000 kita mendapatkan 3 botol C1000, artinya per botol hanya Rp 5.000. Lalu apa yang terjadi kemarin ? Minuman itu dijual dengan harga Rp 9.000 tetapi dengan label baru Piala Eropa 2016. Ntah lah. Saya pun iseng pergi ke toko moderen lain tetangganya, biasa dua toko ini kan selalu berdampingan. Apa yang saya temukan ? Lebih aneh lagi, untuk yang Lemon harganya Rp 6.500 sedangkan yang Jeruk harganya didiskon dari Rp 7.500 menjadi Rp 4.000 dengan masa expired keduanya 2017.
Sepertinya teori penentuan harga untuk saat ini sudah tidak berlaku lagi. Semua suka-suka. Tabrak sana sini. Saya menemukan promo minyak goreng minggu lalu di sebuah pasar rabat harga coret Rp 21.000 dari harga Rp 32.000 untuk berat 2 liter. Hellooowww.. minyak goreng 32 ribu 2 liter, gile. Lebih terkejut lagi Anda jika masuk ke sebuah departmen store, sepatu yang mungkin hanya Anda pakai jalan sehari-hari dengan tidak merasa bersalahnya di display seharga Rp 1 jutaan dan di diskon 50% plus 20% jatuhnya 300-400 ribuan hohoho.. Toh jika mereka tidak promo harga sepatu ini normalnya 250-300 ribuan. Ok lah, saya bisa menerima keadaan ini karena penampilan pegawai Dept Store ini jauh lebih baik dari sebelumnya, pakaian dan dandanan SPG nya lebih baik. Semoga karyawannya pun lebih sejahtera dari permainan harga yang mereka tawarkan. Bukan hanya pemiliknya yang sejahtera
Adapun jika ada toko yang menawarkan membayar selisih harga jika ada toko yang menjual lebih rendah, prosesnya ehm lumayan ribet. Anda harus beli barang yang sama di toko lain dan membawa struk dari toko tersebut dan membawa struk dan barang dari toko yang promo tersebut. Ah, sudah lah telan saja, tetapi jika Anda perlu bukti, coba lah iseng-iseng buat pengalaman Anda untuk menulis seperti ini, benar tidak mereka ganti, lama tidak prosesnya.
Ada lagi jenis promo setengah hati. Mengapa saya sebut setengah hati, karena saya tidak tahu ini permainan orang dalam, atau oknum atau memang mereka setengah hati menjalankan promo yang mereka keluarkan sendiri.Â
Beberapa kali saya sering kecewa dengan promo produk murah yang ditawarkan sebuah toko modern. Jika ada harga produk yang dijual lebih murah lebih dari 30% harga pasar, pasti Anda akan kesulitan mendapatkan barangnya. Suatu ketika sebuah pasar rabat menjual floridina seharga Rp 2.200 sedangkan di warung harganya Rp 3.000, begitu saya mau beli 1 pack isi 6, saya ditegur dan dilarang membeli banyak-banyak, padahal disitu tidak ada ketentuannya dan barang yang didisplay masih banyak. Kemudian ada lagi kejadian promo televisi 22 inch seharga  hanya 1,5 juta waktu itu dengan harga normal 2,2 juta. Seringkali pada saat konsumen datang untuk membeli barang itu habis, hanya yang ada di display dan itu pun tidak dijual. Ternyata para karyawannya setelah aplusan kerja, pulangnya banyak yang beli, sehingga konsumen lain tidak kebagian.
Suatu ketika saya menemukan seorang pembeli pampers di kota Medan turun dari bentor. Pembeli ini keluar dari toko modern hanya membawa beberapa buah pampers yang ternyata sedang promo ditoko tersebut. Dia mengatakan ke tukang becak tersebut, untuk kembali ke rumahnya karena sudah sore. Dia menanyakan kepada tukang becak tersebut apakah mau dicarter esok hari untuk keliling toko modern yang belum dikunjunginya untuk melanjutkan pembelian pampers promo tersebut. Saya tertawa geli, pembeli cerdas bin gigih. Tetapi kenapa tidak diteleponnya saja toko modern itu untuk mengantarkan produk yang diinginkannya, bukankah toko-toko modern ini sering memasok barang ke warung-warung kecil. Apakah di kota itu tidak berlaku ? Apakah untuk barang promo ini mereka tidak memberlakukan hal tersebut ? Ntah lah.
Sampai saat ini saya berkesimpulan. Tidak ada toko murah, yang ada harga promo murah. Murah barang yang satu saat ini ditutupi dengan mahalnya harga barang lain di saat ini juga. Lewat masa promo, keadaan pun berubah, harga barang lain diturunkan dan harga barang yang tadinya promo dinaikkan. Itu pun harus dibandingkan dengan warung dan kedai tradisional yang tanpa promo-promoan, apa adanya.Â
Bagaimana pasar tradisional dan warung sederhana mau bersaing dengan toko modern. Pulang kerja malam hari, pengen masak ikan, di toko moderen ikannya masih berenang-renang, sayur dan buahnya masih segar. Di pasar tradisional jam 10 pagi, sudah busuk, ikan tinggal yang sisa-sisa. Terpulang lagi kepada kita sendiri sebagai konsumen, menjadi konsumen cerdas seperti pemburu pampers yang hunting keliling toko yang sedang promo itu atau membiarkan tertipu harga yang suka-suka dipasang si pemilik toko. Regulasi ? Ah, jangan harap ada regulasi untuk yang beginian. Negara kita sudah sangat bebas sebebas-bebasnya, sehingga kita lah yang dituntut untuk pintar memilih, memilah barang dan toko, dan mengatur pengeluaran kita. Murah disini belanja kesini, murah disana belanja kesana.Â
Berbahagialah pemilik toko moderen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H