Filipina juga mengajukan protes atas klaim ini melaui Kementrian Luar Negrinya. Filipina berpendapat bahwa Klaim Beijing telah ditolak oleh Pengadilan Arbitrase pada 2016 sehingga pengklaiman ini tidak valid.
Walaupun terdapat pembelaan dari satu pihak yaitu dari Tiongkok mengenai penarikan garis putus-putus ini didasarkan peta historis Tiongkok pada tahun 1948, namun hal ini tidak membuat situasi mereda, melainkan malah menuai reaksi keras dari negara-negara bersangkutan karena tidak selaras dengan Hukum Internasional yang berlaku yaitu Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982.
Menanggapi hal ini pula, melalui Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Tiongkok, Wang Wenbin memaparkan bahwa sikap Tiongkok atas Laut China Selatan adalah bersifat teguh dan terang. Pemerintah Tiongkok juga merilis peta standar Tiongkok sebagai agenda rutin yang dilakukan setiap tahunnya.
Namun, jika kita telaah lebih dalam, apa yang menyebabkan Tiongkok menambah wilayah garis putus-putus tersebut? Para ahli berpendapat bahwa hal ini dilakukan Tiongkok untuk menunjukkan power-nya dalam menyambut KTT ASEAN dan G20. Ini bisa saja dilakukan demi memperkuat posisi Tiongkok di mata dunia.Â
Tiongkok terus memperbesar wilayahnya dengan memanfaatkan peta historisnya di zaman dahulu yang sudah tidak relevan di zaman sekarang karena adanaya Hukum Internasional yang berlaku. Perselisihan antarnegara ini menekankan kepada aspek kepentingan nasional, keamanan negara, kekuasaan dan kedaulatan atas wilayah negara.
Jika kita mengacu pada definisi politik internasional menurut realisme yang digambarkan bahwa ini adalah arena persaingan, konflik, dan perang antarnegara di mana isu-isu mendasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan untuk memastikan kelangsungan hidup negara berulang sendiri terus-menerus, maka konflik sengketa antara berbagai negara dan Tiongkok ini sudah menggambarkan politik internasional tersebut dengan jelas. bahwa masing-masing negara memiliki kepentingan pribadi atas wilayah yang telah mereka klaim.
Setiap negara yang bersangkutan terus menunjukkan powernya dalam menghadapi sengketa ini dengan cara melakukan protes kepada negara pengkalim hingga membawa masalah ini ke Pengadilan Internasional. Dengan adanya sengketa ini pula dapat menghambat hubungan diplomasi antarnegara. Dan jika hal ini terus berlanjut, maka bisa mempengaruhi kerjasama bidang lainnya seperti politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H