Pada Senin (28/8/23), Pemerintah Tiongkok melalui Kementrian Sumber Daya Alam China telah menerbitkan peta standar China edisi 2023 yang disebut dengan Ten Dash Line atau 10 Garis Putus-Putus. Penerbitan peta baru ini memicu kontroversi sebab klaim satu pihak yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap wilayah yang bukan merupakan kepemilikan Tiongkok.
Mengutip dari TheConversation.com, masalah ini bisa dikatakan berawal sejak tahun 1940-an dimana Tiongkok dengan sangat keras mempromosikan Nine Dash Line di wilayah Laut China Selatan. Legitimasi Tiongkok ini berdasarkan pada sejarah penguasaan tradisional di masa lalu.
Garis berbentuk "U" yang dapat kita lihat di peta membentang dari wilayah di lepas pantai Pulau Hainan Cina, menuju pantai Vietnam, berlanjut kearah Laut China Selatan hingga meliputi Kepulauan Spratly. Kemudian di Pulau Kalimantan bagian utara, garis ini membentang mengenai wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam, berpindah Haluan kearah selatan Filipina dan berakhir di bagian selatan Taiwan.
Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan memberikan pernyataan  jika wilayah Laut China Selatan telah termasuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah kelima negara itu, menurut Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on Law of Sea (UNCLOS, 1982).
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga tidak luput dari klaim ini yaitu Laut Natuna Utara yang telah diklaim sejak adanya pernyataan Nine Dash Line atau 9 Garis Putus-Putus. Padahal saat itu, Indonesia bukan termasuk negara yang terlibat dalam konflik perebutan wilayah ini, namun mulai terlibat karena aksi Tiongkok mengklaim wilayah maritim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berada di wilayah Utara Kepulauan Riau. Menanggapi hal ini maka Indonesia menolak dengan tegas adanya 9 Garis Putus-Putus tersebut dan menerbitkan peta NKRI baru yang menegaskan wilayah-wilayah Indonesia serta memperbarui sebutan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
Dengan adanya klaim Tiongkok terhadap 9 Garis Putus-Putus ini menimbulkan berbagai spekulasi dan kontroversi atas hal tersebut. Seperti apakah hal ini merupakan deklarasi Tiongkok atas wilayah kedaulatannya atau klaim atas segala sumber daya yang terkandung di daerah maritim tersebut? Namun hal ini perlahan terjawab dengan perlakuan semena-mena Beijing yang telah mendirikan pos-pos militer di berbagai pulau yang telah didirikannya di sana.
Masalah ini semakin memanas saat Tiongkok kembali merilis tambahan wilayah baru yang dilewati oleh garis putus-putus tersebut menjadi Sepuluh Garis Putus-Putus atau biasa dikenal dengan Ten Dash Line, yaitu negara bagian Arunachal Pradesh di India dan dataran tingi Aksai Chin sebagai wilayah resmi Tiongkok.
Tiongkok menyatakan bahwasanya negara bagian Arunachal Padesh merupakan bagian dari wilayah Tibet dan Aksai Chin yang merupakan bagian strategis penghubung antara Tibet ke daerah barat Tiongkok.
Klaim Tiongkok atas negara bagian Arunachal Padesh ini menimbulkan kemarahan India karena wilayahnya diklaim dengan mengajukan protes terhadap Beijing. India berpendapat bahwa hal tidak masuk akal tersebut tidak menjadikan wilayah India sebagai bagian dari Tiongkok.
Sengketa ini telah semakin merusak hubungan diplomasi antara India dan Tiongkok yang sebelumnya juga sudah bermasalah sejak bentrok antara tantara India dan China yang menyebabkan 20 tentara India dan 4 tentara China tewas pada Juni 2020 lalu.
Filipina juga mengajukan protes atas klaim ini melaui Kementrian Luar Negrinya. Filipina berpendapat bahwa Klaim Beijing telah ditolak oleh Pengadilan Arbitrase pada 2016 sehingga pengklaiman ini tidak valid.
Walaupun terdapat pembelaan dari satu pihak yaitu dari Tiongkok mengenai penarikan garis putus-putus ini didasarkan peta historis Tiongkok pada tahun 1948, namun hal ini tidak membuat situasi mereda, melainkan malah menuai reaksi keras dari negara-negara bersangkutan karena tidak selaras dengan Hukum Internasional yang berlaku yaitu Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982.
Menanggapi hal ini pula, melalui Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Tiongkok, Wang Wenbin memaparkan bahwa sikap Tiongkok atas Laut China Selatan adalah bersifat teguh dan terang. Pemerintah Tiongkok juga merilis peta standar Tiongkok sebagai agenda rutin yang dilakukan setiap tahunnya.
Namun, jika kita telaah lebih dalam, apa yang menyebabkan Tiongkok menambah wilayah garis putus-putus tersebut? Para ahli berpendapat bahwa hal ini dilakukan Tiongkok untuk menunjukkan power-nya dalam menyambut KTT ASEAN dan G20. Ini bisa saja dilakukan demi memperkuat posisi Tiongkok di mata dunia.Â
Tiongkok terus memperbesar wilayahnya dengan memanfaatkan peta historisnya di zaman dahulu yang sudah tidak relevan di zaman sekarang karena adanaya Hukum Internasional yang berlaku. Perselisihan antarnegara ini menekankan kepada aspek kepentingan nasional, keamanan negara, kekuasaan dan kedaulatan atas wilayah negara.
Jika kita mengacu pada definisi politik internasional menurut realisme yang digambarkan bahwa ini adalah arena persaingan, konflik, dan perang antarnegara di mana isu-isu mendasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan untuk memastikan kelangsungan hidup negara berulang sendiri terus-menerus, maka konflik sengketa antara berbagai negara dan Tiongkok ini sudah menggambarkan politik internasional tersebut dengan jelas. bahwa masing-masing negara memiliki kepentingan pribadi atas wilayah yang telah mereka klaim.
Setiap negara yang bersangkutan terus menunjukkan powernya dalam menghadapi sengketa ini dengan cara melakukan protes kepada negara pengkalim hingga membawa masalah ini ke Pengadilan Internasional. Dengan adanya sengketa ini pula dapat menghambat hubungan diplomasi antarnegara. Dan jika hal ini terus berlanjut, maka bisa mempengaruhi kerjasama bidang lainnya seperti politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H