Kasus kedua terjadi pada diri orang-orang Minangkabau perantauan di level menengah ke atas, kelompok ini kebanyakannya kalau bertemu sesama orang Minangkabau pun mereka lebih suka berbahasa Indonesia, apa lagi beliau-beliau yang berdomisili dan sedang "mamacik" (memegang) posisi berpengaruh di pusat itu. Dengan anak-anak keturunannya sama sekali sudah hilang bahasa ibunda, pada hal sebelumnya mereka berdua itu adalah kampung boy & girl bahkan ada yang berasal dari sebuah dusun kecil terpencil nun jauh di pelosok negeri, tapi kemudian berubah oleh gaya hidup Jakarta.
Disinyalir dewasa ini ragam perilaku orang Minangkabau di sana jangankan untuk berbahasa Minang, bahkan ada di antara mereka yang sama-sama berketurunan Minangkabau sendiri, kini ada yang malu mengaku sebagai orang Minangkabau. "...Gua sih, kalau bokap ama nyokap emang aslinya Padang, tapi gua kan udah lahir dan gede di Jakarta, jadi gua udah merasa jadi orang Jakarta. Ke Padang pernah sih, udah lama sekali waktu kecil-kecil dulu, gua juga sama sekali gak tau bahasa Minang, kagak ngerti!"
Demikian kira-kira penggalan kalimat anak-anak Minangkabau Jakarta yang dari tampilannya memang sama sekali sudah tercabut dari akar budayanya (lost identity), dan penggalan-penggalan kalimat di atas itu disampaikan dalam usaha menghindar daripada dicap sebagai orang Minangkabau. Ada apa sebetulnya dengan mereka hingga sampai sedemikian rupa?
Berdasarkan pengamatan, kebanyakan anak-anak keturunan Minangkabau yang lahir di perantauan secara perlahan memang cenderung tercabut dari akar budayanya, ini karena peranan orang tua mereka yang mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam memahami arti pentingnya budaya dalam kehidupan. Tidak seperti bangsa atau etnis-etnis tertentu lainnya yang cerdas, berpandangan jauh dan memahami bahwa jati diri budaya itu amat penting bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Bukan pula berarti penulis anti terhadap Bahasa Indonesia, saya sangat mencintai bahasa nasional saya, sebagaimana saya mencintai bangsa dan negara saya Indonesia. Tapi jika bicara soal kaum/etnis dalam konteks kemajemukan Indonesia, seseorang harus mampu menampilkan dan menempatkan diri sesuai jati diri budayanya masing-masing, termasuk tentunya dalam hal berbahasa.
Kondisi "si Minang" ini mungkin berbeda jika dibandingkan dengan etnis lain seperti Jawa misalnya. Orang Jawa saya perhatikan kalau ketemu sesama Jawa biasanya berbahasa Jawa, hal yang sama juga terjadi pada etnis Batak. Apakah ini menandakan bahwa saudara-saudara kita itu berasal dari sebuah budaya dan peradaban yang kuat? Bisa jadi begitu, tapi minimal secara kebudayaan mereka lebih kuat.
Kasus Melayu Negeri Seberang
Keadaaan Minangkabau sekarang sepertinya mirip dengan orang Melayu di Malaysia atau di Singapura. Di sana bangsa China ketemu China akan berbahasa China, demikian juga orang India ketemu India akan berbahasa India, tapi kalau Melayu ketemu Malayu akan berbahasa Inggris.
Menurut hemat penulis, ada kesan (entah ini dulunya memang dikondisikan oleh pihak-pihak tertentu, kita tidak tahu) seolah-olah berbahasa Melayu itu dianggap oleh orang Melayu sendiri sebagai kurang maju/kampungan, sehingga mereka memandang rendah bahasanya sendiri. Namun, beberapa dekade belakangan ini pemerintah (Melayu) Malaysia dengan berbagai cara berusaha keras untuk menguatkan kembali bahasa Melayu di kalangan mereka.
Penulis masih ingat lagi sekitar akhir tahun 80-an dulu, ketika itu Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kini tokoh oposisi) menjabat Menteri Pendidikan. Dia melakukan kampanye "Kembali Berbahasa Melayu Baku" khususnya untuk kalangan orang Melayu, tapi nampaknya tidak berhasil karena ternyata sudah susah untuk mengubah kebiasaan. Apalagi ada gagasan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi tuan di negeri tanah Melayu sendiri, ini pun nampaknya semakin jauh panggang dari api. Karena, kebanyakan para pemimpin Melayu itu sendiri justru dalam keluarga mereka di rumah masing-masing lebih suka berbahasa Inggris dengan keluarga mereka, nah gimana?
Kasus ketiga yang kini juga kentara, terjadi dalam proses komunikasi di level pemerintahan tertentu di Sumatera Barat, di ranah Minangkabau ini. Sudah menjadi suatu kelaziman dalam pertemuan-pertemuan informal sekalipun (khususnya antara bawahan dan atasan) mereka berbahasa Indonesia. Akhirnya dengan masyarakat pun terbawa-bawa, tetap berbahasa Indonesia di mana pun bertemu, kondisi ini akhirnya justru menimbulkan adanya jarak antara pemimpin dan rakyatnya.