Bahasa Menunjukkan Bangsa: Mempertanyakan Keminangan Orang Minangkabau
Tulisan ini berangkat dari sebuah keprihatinan dan niat yang tulus, tidak ada maksud lain. Merupakan gambaran keprihatinan penulis yang bermula dari pengamatan terhadap kondisi yang ditampilkan oleh orang-orang Minangkabau dewasa ini, baik yang ada di Ranah Minangkabau sendiri maupun yang berdomisili di perantauan.
Tulisan ini membicarakan soal bahasa, sehingga mungkin saja ada yang bertanya, kenapa bahasa yang dipermasalahkan? Karena bahasa merupakan bahagian terpenting dalam membangun peradaban. Tentu sulit membayangkan bagaimana rupa kebudayaan pada sebuah bangsa yang bisu. Peranan bahasa juga sifatnya sangat mendasar untuk menilai baik buruknya perilaku seseorang, berikut latar belakang budayanya.
Demikian juga tentunya terhadap diri dan budaya orang Minangkabau, di mana selama ini bahasa dalam banyak sangat memainkan peranan dalam membentuk kepribadian/budi pekerti dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka sebagai gambaran jati diri. Rangkaian pribahasa Minangkabau penuh dengan petatah-petitih, pantun-pantun ajaran, sindiran lembut namun mempunyai makna yang dalam. Sehingga di zaman dulu, ketika negeri ini masih memegang teguh adat dan budayanya, lahirlah masyarakat yang beradat dan beradab.
Pembangunan prilaku yang  berkonsepkan Nan Ampek (Yang Empat) adalah contoh pemanfaatan bahasa yang kini sepertinya sudah terlupakan, yang dulu harus diketahui setiap orang Minangkabau sebagai salah satu lambang jati diri. Ketika itu, Nan Ampek ibarat pakaian bahkan harga diri, jika ada seseorang mengatakan bahwa kita tidak tau di-Nan Ampek (paja indak tau di nan ampek), seandainya kata-kata itu terdengar/diketahui oleh orang yang dimaksudkan, maka hal ini bisa memicu pertentangan bahkan bisa terjadi perkelahian.
Konsep kata-kata Langgam Kato Nan Ampek sendiri mengandungi empat unsur bagi setiapnya, banyak sekali, sesuai ragam kehidupan. Salah satu contoh misalnya untuk tuntunan dalam pergaulan sosial; orang Minangkabau dulu dididik dan harus mengetahui makna kato mandaki, kato manurun, kato malereang dan kato mandata (kata mendaki, kata menurun, kata melereng dan kata mendatar).
Langgam itu disampaikan dalam bahasa-bahasa kiasan yang tajam dan indah serta mampu meresap kedalam jiwa sehingga melahirkan sebuah prilaku yang arif bijaksana. Pertanyaannya, dalam konteks kekinian adakah Bahasa Minangkabau itu masih berpengaruh dalam membentuk kepribadian keminangkabauan seseorang di ranah dan tanah beradat itu? Adakah bahasa Minangkabau masih menjadi tuan di Ranah? (Ranah = istilah untuk tanah Minangkaba), jawabannya tentu bisa "ya" bisa "tidak". Jawaban "ya" bagi orang Minangkabau yang masih melestarikan bahasa Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari, dan jawaban "tidak" bagi mereka yang sebaliknya. Jika ditelusuri lebih lanjut; apakah sekarang ada orang Minangkabau yang tidak lagi berbicara dalam bahasa daerah mereka? Kiranya, berangkat dari pertanyaan itulah artikel ini hadir.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, belakangan ini terlihat adanya kecenderungan "berbahasa Indonesia" dalam keluarga Minangkabau yang berdomisili di Ranah. Diperkirakan gejala ini bermula sekitar petengahan tahun 80-an. Penyebabnya belum diketahui secara pasti karena belum ada ditemukan suatu penelitian ilmiah tentang ini. Tapi yang jelas dan terasa, gejala ini nampaknya bermula karena ikut-ikutan, entah siapa yang memulainya sehingga dengan begitu para Ibu Bapa Minangkabau dalam pergaulan sosial merasa (seolah-olah) dianggap lebih modern apabila berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka, sepertinya ada gengsi di sana.
Alhasil, hari ini muncul lah sebuah generasi baru di Ranah Minangkabau yang tidak lagi berbahasa Minangkabau tetapi berbahasa Indonesia. Fenomena kelompok masyarakat baru, yang terdiri dari para anak muda Minangkabau yang dalam kesehariannya mereka berbahasa Indonesia namun kedengaran aneh di telinga. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia dengan lenggok/gaya kampung asal masing-masing, ada gaya Kik Tinggi (Bukittinggi), Pikumbuah (Payakumbuh), Piaman (Pariaman), Solok dan lain-lainnya, dengan kosa kata yang juga sifatnya gado-gado (campuran bahasa Indonesia-Minangkabau) semisal: ndak ada gai do.., katanya.
Terkadang penulis juga merasa jengkel menyaksikan perkembangan ini, namun dalam hati ada kesedihan melihat anak-anak Minangkabau ini yang mulai tercabut dari akar budayanya, dicabut sendiri oleh kebodohan dan ketidak-tahuan para orang tuanya, hanya untuk sebuah gengsi atau ikut-ikutan yang entah untuk apa. Akibatnya nanti, mereka ini sudah jelas akan kesulitan dalam mencerna khasanah kearifan setempat, yakni peninggalan nenek moyang yang sangat berharga sebagai sarana membangun prilaku atau kepribadian ciri khas Minangkabau mereka, karena di sanalah letaknya kecerdasan Minangkabau itu.
Ini tentunya juga merupakan sebuah kerugian besar, karena hari ini Minangkabau hanya mampu menghasilkan generasi omba-omba, yang ikut-ikutan serta tidak lagi berakar kuat pada budayanya sendiri.