Tribun Bisu
Saban menelaah pepatah, hendak kuberkata...
Saban mendengar, hendak kuberteriak...
Saban mengenang, hendak kumenindak...
Lepas...semuanya terlepas dalam diamnya suasana.
kian hari-kian tergerus oleh kelahiran sebuah semangat.
Pernah sekali saja berkehendak namun harus menepi
Apa yang seharusnya MENJADI berubah DIHILANGKAN.
Terang saja raga merana mengubur jiwa tersiksa diatas penglihatan.
Seandainya.......
Seandainya ada jalan menuju keruang kebohongan dan kebodohan, mungkin
Tidak seorangpun menginginkannya.
Petaka keretakan seakan-akan mengobrak-abrik setumpuk apel merah segar diatas bakul bambu.
Nelangsa penyair tiada orang yang tahu, perkara kesenangan tetangga siapa sangka akan berakar.
Berlumur kekosongan dan keluguan yang menggunung.
Kemarilah...
Lepaskan...
Lepaskan...
Lepaskan...
Genggamlah jemariku dengan erat, janganlah melepaskannya.
Mungkin...
Mungkin...
Mungkin ini adalah bukti KEHADIRANmu di dunia yang penuh fatamorgana.
Menggelitik, menjijikkan, memuakkan, menyusahkan.
Terang saja, hematku dialammu penuh keburukan yang menusuk.
Sudahi untuk yang terakhir kalinya AKU melihatmu berjubah sandiwara,
Bertopeng kebohongan penuh fiktif.
Kita berjalan dalam dua arah yang sedikit membingungkan tanpa harus bercermin terlebih dahulu,
biarkanlah dirimu terbang mengikuti sampai arah menunjukkan dimana kamu akan mendarat dengan sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H