#3 Bang Jenggo Yang Mencari Jalannya
Semburat mentari perlahan memendar dari cakrawala...
Memendam renjana akan bumi...
Rindu cacibar dengan nyanyiannya...
Gibas dedaunan yang tertiup angin...
Menggenta menelusuri kuping...
Ahhh...nikmat tak terkata pagi ini, diufuk timur cakrawala Lawu ... Matahari mulai menggeliat mewarnai hari. Bang Jenggo, saya dan beberapa petandang dengan tabik menjemput pagi. Menikmati suam sinarnya Mentari yang seakan menelanjangi kulit ari.
"Damar...apa makna terbitnya mentari buatmu?" pecah bang Jenggo diantara kerumunan.
" Terbitnya matahari adalah tentang sebuah spirit bang, harapan, pertanda kebangkitan, dan keinginan untuk menjemput impian. Demikian juga saat matahari tenggelam, menghantarkan ke kedamaian, menghentikan langkah "sejenak" untuk menghela nafas, menyimpan kenangan disanubari ", tukasku sambil melihat mentari.
" Betul Damar...seperti halnya Matahari yang terbit dan tenggelam, semuanya akan berproses, berputar sesuai kehendak alam. Dan saat Matahari terbit bersamanya akan ada harapan. Sama dengan diriku...berharap selalu ada asa kelak kedepannya."
" Saat ini seakan aku tidak punya harapan lagi, tidak ada yang harus diperjuangkan...hanya aku yang terus berjalan sendirian " kata bang Jenggo.
" Bang...jangan berkecil hati. Selalu ada harapan disetiap jalan, layaknya matahari yang selalu menyapa pagi." tukasku
" Bang...kalau berkenan, bisakah ikut menemani perjalananku? Menyusuri tanah Nusantara bersamaku. Saya yakin, bang Jenggo kaya pengalaman hidup keras dijalanan." imbuhku
" Ha...ha...ha...oke Damar, tadi juga terpikir olehku menemani perjalananmu, kamu masih polos....saya yakin kamu belum pernah merasakan kerasnya hidup. Itung-itung aku juga ingin menebus kesalahan masa laluku dengan hal yang berguna. Mendampingimu dan menjadi guru yang baik buatmu" kata bang Jenggo sembari terbahak-bahak.
" Mantap bang!...he..he..he" aku terkekeh.
" Ayo Damar, kita berkemas ke shelternya Mbok Yem mungkin simbok butuh bantuanmu." sela bang Jenggo.
" Ayo bang." jawabku
Kamipun bergegas, mengemasi tenda dan beranjak dari puncak Lawu menuju warung simbok.
Sejurus kami berjalan melewati route menuju warung, dari kejauhan... pelawat ketinggian banyak terlihat disekitaran warung. Waduh...mbok Yem pasti butuh bantuan melayani mereka. Dengan sedikit lari kecil untuk menghilangkan rasa dingin aku dan bang Jenggo menuju kesana.
Sesampainya didepan warung, dengan terengah kuletakkan tas carier.
" Mbok... maaf baru datang." aku meminta maaf ke simbok
" Gak masalah Damar, sarapan dulu sana sebelum membantu simbok."
" Gak apa-apa, nanti saja mbok sarapannya." jawabku.
Saatnya melanjutkan perjalanan...
Begitulah hari - hariku, bersama simbok di pegunungan Lawu. Melayani para pendaki, menyiapkan makan, minum, bahkan jadi porter membawa belanjaan dari kaki Lawu untuk stok warung Mbok Yem pun kujalani.
Banyak cerita, banyak pribadi yang kutemui. Dua minggu waktu tlah berlalu, tak terasa selama itu pula aku memeluk kabut yang datang dan pergi, menyambut mentari yang selalu membawa senyum dan mendampingi simbok...sosok perempuan yang penuh kegigihan, ketulusan dan kesederhanaan. Di sini, di puncak Lawu...banyak pelajaran yang kudapat. Hidup tak semerta harus berlari, kadang kita harus menepi tapi bukan berarti untuk berhenti.
Kita manusia diciptakan, tak hanya untuk hidup, makan, dan berakhir. Selain untuk menyembahNya...berbuat baik untuk sesama, alam dan apapun disekitar...sebisa kita walaupun itu hanya senyum tulus kepada sesama.
Menghargai kegagalan, menikmati perjalanan hidup dan bersyukur akan rasa nikmat.
Tibalah saatnya untuk pamit, "Mbok...Damar mengucapkan rasa terima kasih yang dalam, simbok disini telah menganggapku sebagai seorang anak. Wejangan tentang kehidupan yang simbok berikan ke saya tiap hari telah mengisi ruang - ruang kosong disanubariku mbok. Damar mohon pamit...melanjutkan perjalanan berikutnya."
" Iya Damar...terima kasih sudah bantu simbok disini, seandainya ada waktu dilain kesempatan...datanglah kesini lagi. Ada sesuatu yang ingin simbok berikan padamu. Tidak saat ini...tapi nanti saat kamu sudah menjadi Damar baru, doakan simbok panjang umur ya nak ", simbok berujar dengan menitikkan air mata.
Tak terasa air mataku menetes, rasa haru menyelimuti dilubuk hati.
" Nggih mbok...Damar mohon pamit, minta doanya agar perjalanan saya bersama Bang Jenggo lancar. Mbok sehat selalu nggih." begitu pintaku.
Kamipun berjalan meninggalkan warung Mbok Yem di puncak Lawu, diantar dengan senyum sederhananya.
Pagi masih cerah tapi kabut masih saja bermain diujung daun. Perlahan kami langkahkan kaki menyusuri rute kearah Cemoro Kandang.
Sesekali kami berhenti hanya sekedar untuk menikmati pemandangan, rasanya enggan untuk meninggalkan kedamaian disini. Tapi apa mau dikata, aku masih punya impian dan hidup yang bermanfaat musti terus berjalan.
(dn) yang selalu menyalakan mimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H