Ini cerita sekitar 5 tahun lalu. Ramadan kali itu saya berstatus sebagai anak kosan. Perkuliahan masih tetap dijalankan hingga pertengahan Ramadan. Beberapa aktivitas organisasi pun sedang giat-giatnya mengejar target tahunan. Belum ada kata libur dan tenang menjalankan ibadah-ibadah bulan puasa
Sebagai anak kosan, tentu segala-galanya harus mandiri. Saat itu adalah tahun pertama saya berpuasa sendiri. Tidak ada Ibu yang biasa membangunkan pukul tiga pagi untuk sahur. Tidak ada masakan ibu. Saya harus berjuang sendiri mencari makanan untuk sahur.
Maksud hati ingin memesan katering saja, seperti teman sebelah kamar. Cukup dengan dua puluh lima ribu rupiah per hari, saya harusnya sudah bisa dapat semua : nasi, lauk melimpah, sayuran, buah, dan air minum. Hanya saja, tahulah... mindset anak kosan adalah sebisa mungkin jika ada yang bisa dihemat, maka harus berhemat.
Dua puluh lima ribu rupiah sebulan, kalau dikalikan dengan dua puluh hari, berarti saya harus menghabiskan setengah juta sendiri untuk sahur. Padahal nilai ini sebetulnya cukup besar, mengingat penghasilan saya saat itu hanya dari orang tua. Angka sebesar itu sama saja dengan setengah uang bulanan saya.
Saya pun mulai membanding-bandingkan bagaimana jika saya memasak saja.
Untuk lauknya, saya pikir akan lebih praktis membeli di warteg langganan. Saya biasa membelinya di perjalanan saat pulang ke kosan selepas kuliah. Satu kali makan paling-paling akan menghabiskan 5-6 ribu rupiah saja untuk lauk. Tentu perhitungan saya akhirnya berkesimpulan bahwa memasak sendiri akan jauh lebih murah dibandingkan katering.
Namun, ternyata ada harga yang harus saya bayar.
Suatu hari, saya amat lelah sehabis rapat organisasi, dan baru pulang pukul 11 malam. Tubuh rasanya remuk redam dan hanya ingin rebah di kasur. Tapi baru duduk di kasur, saya ingat harus memasak nasi. Di kamar, saya bisa memasak nasi sendiri dengan rice cooker kecil yang dibelikan ibu sewaktu saya pindah ke kota ini untuk berkuliah.
Saya pun membuka tempat beras. Berharap bisa langsung memasak sebelum tidur, agar nantinya ketika bangun sahur, nasi sudah siap disantap. Saya mulai menakar satu cup beras untuk dimasak. Kemudian mencuci beras 5 kali bilas, lalu mengisi wadah rice cooker dengan air matang sampai ketinggian air mencapai angka satu, sesuai dengan jumlah cup beras yang saya masak.
Lalu saya memasukkan wadah tersebut ke rice cooker.
Menyambungkan kabel ke sumber listrik.
Ah, akhirnya saya bisa tidur sekarang.
Tapi saya lupa.
Saya belum memikirkan lauk untuk sahur nanti. Karena pulang terlalu malam, warteg langganan saya sudah tutup sewaktu dalam perjalanan tadi. Saya membuka lemari persediaan makanan. Ah, masih ada kerupuk dan mie instan. Ada juga sebotol bubuk cabai untuk pelengkap nasi yang hangat.
Baiklah, berarti sahur nanti saya akan makan nasi bersama mie instan dengan cita rasa bubuk cabai. .
Iyaa, saya yang kuliah Teknologi Pangan amat paham, berarti sahur saya itu karbohidrat semua. Ditambah bumbu dan mecin penyedap rasa. Tapi buat anak kosan seperti saya waktu itu, sahur bukan tentang mau makan apa, tapi makan apa saja yang ada. Karena ada mie instan, baiklah, itu sudah sangat cukup.
Saya pun berganti pakaian, kemudian merebahkan diri. Memasang alarm untuk bangun pukul 03.45 pagi, sebab saya harus memasak mie instan dahulu nanti.
Oh ya, saya memasak mie instan ini juga di rice cooker yang sama dengan saya memasak nasi. Caranya? Nasi dikeluarkan terlebih dahulu, dicuci, kemudian diisikan air.
Air kemudian dididihkan terlebih dahulu dengan mengatur agar 'jegrekan' rice cooker tetap pada posisi 'cook' (biasanya saya menahan jegrekan rice cooker dengan suatu benda, sebab kalau hanya air, rice cooker entah mengapa enggan berada dalam posisi cook, mungkin kekurangan berat. Anda yang sering memasak pasti paham).
Setelah mendidih, kemudian barulah mie instan dimasukkan, dan didiamkan beberapa saat hingga lunak. Sangat praktis untuk anak kosan seperti saya.
Saya pun tenang dengan membayangkan akan makan mie instan dan nasi hangat di dinginnya pagi nanti. Saya terlelap dan menghapus lelah hari itu.
Saya terbangun pukul 04.00. Setengah jam sebelum waktu Subuh. Sebetulnya alarm sudah terdengar sejak beberapa menit lalu, namun saya masih ingin 'tambahan lima menit' sebelum bangun. Sungguh tubuh saya rontok sekali hari itu.
Tapi kalau tidak bangun, saya sadar tidak akan ada waktu untuk memasak mie. Saya pun memaksa diri bangun.
Berjalan ke arah rice cooker, saya merasa ada yang aneh. Biasanya, aroma nasi yang sudah matang akan tercium lewat uap yang dikeluarkan rice cooker. Tapi kali itu kamar saya tidak berbau nasi.
Sedikit panik dan khawatir, saya membuka tutup rice cooker.
Astaghfirullahaladzim.
Saya tadi malam tidak menekan jegrekan untuk mengatur rice cooker dalam kondisi 'cook'. Baiklah. Saya ingin bernyanyi...
Membuka lemari persediaan makanan, saya mengambil mie instan yang tinggal satu-satunya itu. Lumayan lah, daripada tidak makan sama sekali, mie instan sebetulnya boleh juga untuk mengganjal perut. Ditambah bubuk cabai, saya bisa kuat puasa seharian.
Saya keluarkan mie instan dari lemari makanan.
Saya buka bungkusnya.
Astaghfirullahaladzim.
Gerombolan besar semut langsung menghambur keluar dari bungkus mie instan.
MIE INSTAN SAYA DISEMUTIN.
Semalam, saya nggak sadar hal ini, sebab hanya melihat sekilas saja ke dalam lemari persediaan makanan. Tapi kini setelah melihat lebih jelas, semut ternyata sudah berhasil menerobos plastik mie instan, dan bahkan sudah menggerogoti beberapa bagiannya.
Lalu apa yang saya lakukan?
Tidak, saya tidak membuang mie instan tersebut.
Saya memutuskan untuk menyingkirkan semut-semutnya. Tanpa mie instan ini, saya tidak akan punya tenaga menghadapi perkuliahan pagi hingga sore nanti. Saya harus tenang dan ingat nasihat orang tua...
Akhirnya mie bebas dari semut. Saya mencemplungkan mie tersebut, kemudian menunggunya 5 menit, lalu mengangkatnya.
Saya atur mie instan di atas piring.
Ada yang kurang? Ya, bumbu mie instan.
Astaghfirullahaladzim.
Karena panik tadi, saya membuang bungkus mie instan sekaligus dengan bumbunya di tong sampah.
Tebak apa yang saya lakukan.
Iya.
Iya.
Iya.
Saya ambil lagi bumbu mie instan tersebut. Saya pikir, plastik bumbu cukup bisa mengamankan bumbu dari berbagai macam bakteri. Saya cuci terlebih dahulu sebelum digunting dan dituangkan bumbunya ke atas mie.
Lima menit sebelum adzan. Saya makan tanpa berpikir dan berusaha amnesia, melupakan segala kejadian panik hari itu.
Kalau diingat-ingat lagi, masa-masa kuliah memang masa yang penuh kepanikan dan kemrisan seperti cerita di atas. Namun seperti kata Pandji Pragiwaksono dalam sebuah standupnya, ada sebuah rumus untuk komedi, yakni :
Tragedi + Jangka Waktu = Komedi
Jadi, apapun tragedinya di masa lalu, kalau sudah berlalu sekian tahun, kita sebetulnya bisa mengolahnya menjadi komedi. Setelah semua yang miris dan menyakitkan sudah tidak terasa lagi. Seperti melihat mantan yang menikah lebih dulu misalnya. Ah, percayalah, semua akan baik-bak saja pada waktunya nanti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H