Dalam era teknologi komunikasi yang terus berkembang, YouTube telah menjadi salah satu platform paling dominan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Platform ini menyediakan akses tak terbatas ke berbagai konten, mulai dari video edukasi, hiburan, hingga vlog keseharian kreator. Di satu sisi, YouTube dianggap sebagai alat yang mampu memperkaya wawasan anak. Namun, di sisi lain, platform ini menghadirkan tantangan besar, terutama terkait dengan pembentukan karakter anak. Ironisnya, peran orang tua atau digital parenting sering kali menjadi faktor yang gagal dalam melindungi anak dari dampak negatif YouTube.
1. YouTube sebagai Pengasuh Virtual
Dalam banyak kasus, YouTube berperan sebagai pengasuh virtual bagi anak-anak. Orang tua, yang sering kali sibuk dengan pekerjaan atau aktivitas lain, cenderung memberikan perangkat seperti ponsel atau tablet kepada anak sebagai alat untuk menghibur atau menenangkan mereka. Dengan algoritma yang terus menyarankan video baru, anak-anak dapat dengan mudah terpaku pada layar selama berjam-jam.
Masalahnya, konten yang dikonsumsi anak-anak tidak selalu mendukung perkembangan karakter yang positif. YouTube dirancang untuk mempertahankan perhatian penggunanya, bukan untuk mendidik. Algoritma platform ini cenderung mendorong konten yang sensasional atau menarik perhatian, yang tidak jarang berisi nilai-nilai yang kurang pantas bagi anak-anak. Misalnya, banyak anak terpapar konten prank yang berlebihan, video dengan bahasa kasar, atau vlog yang memamerkan gaya hidup konsumtif.
2. Kurangnya Kendali dan Kurasi dari Orang Tua
Kegagalan digital parenting tampak jelas dalam kurangnya kontrol dan pengawasan terhadap apa yang dikonsumsi anak di YouTube. Orang tua sering kali menyerahkan sepenuhnya pemilihan konten kepada anak tanpa memanfaatkan fitur-fitur pengawasan yang sebenarnya telah disediakan oleh platform, seperti YouTube Kids atau mode restricted. Akibatnya, anak-anak memiliki akses tak terbatas ke konten yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Sebagai contoh, beberapa anak diketahui meniru perilaku buruk dari video yang mereka tonton, seperti perilaku agresif atau konsumtif. Selain itu, paparan terhadap video yang berisi stereotip gender, materialisme, atau bahkan kekerasan dapat memengaruhi cara anak memandang dunia dan membentuk karakter mereka. Dalam hal ini, orang tua gagal menjalankan peran sebagai filter utama bagi informasi yang dikonsumsi anak-anak mereka.
3. Ketergantungan Anak pada Validasi Digital
Salah satu dampak serius dari YouTube terhadap anak adalah terciptanya kebutuhan akan validasi digital. Anak-anak yang sering menonton kreator konten cenderung ingin meniru gaya hidup atau perilaku mereka. Banyak anak yang mulai membuat konten sendiri dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari teman sebaya atau orang asing di dunia maya.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana platform seperti YouTube mampu mengubah pola pikir anak-anak. Mereka mulai mengukur harga diri dan kebahagiaan berdasarkan jumlah like, view, atau subscriber. Hal ini berdampak pada pembentukan karakter yang rapuh, di mana anak-anak menjadi terlalu bergantung pada validasi eksternal daripada membangun rasa percaya diri yang sehat.