Orang Minang memaknai sebuah perbedaan dengan kalimat bijak dan dalam. Dalam bahasa Minang, sebuah perbedaan pendapat dan persaingan selalu dinamis, namun demikian, usai persaingan dan berdebat, maka rekonsiliasi adalah jalan berikutnya.
Ada kalimat "Biduk Lalu, Kiambang Bertaut". Bagi masyarakat Minang jika sebuah perdebatan usai dilaksanakan dan persaingan sudah menghasilkan pemenang, maka usai sudah semua tidak ada dendam dan tidak ada pula sakit hati.
Kodrat yang menang tidak boleh jumawa dan menghina yang kalah dan sebaliknya yang kalah tidak diizinkan berhiba hiba hati apalagi merasa sebagai pihak yang tersakiti.
27 Juni 2019, sore kemarin, adalah hari dimana Mahkamah Konstitusi secara resmi telah memutuskan bahwa gugatan yang diajukan oleh pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinyatakan ditolak keseluruhan.
Dan dengan demikian, tahapan selanjutnya dari Pilpres yang menguras energi selama delapan bulan atau menurut sebagian besar pihak sudah berlangsung sejak 2014 silam ini, adalah menunggu Komisi Pemilihan Umum menggelar Rapat Pleno guna menetapkan bahwa pasangan Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr (HC) K.H Ma'ruf Amin sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Kembali ke kalimat "Biduk Lalu Kiambang Bertaut"Â saya hendak menjelaskan bahwa sejak saat ini, tidak ada lagi perdebatan benar atau salah, curang atau jujur dan juga kalah atau menang dalam Pilpres yang sudha harus diusaikan. Penting bagi semua komponen politik dan rakyat untuk bersama sama memandang kedepan untuk memperbaiki apa yang tidak benar dan meneruskan apa serta memperindah apa yang sudah tepat.
Presiden RI ke Enam, Susilo Bambang Yudhoyono jauh jauh hari sudah mengajak semua pihak untuk bersama sama melaksanakan rekonsiliasi. Hanya berselang beberapa jam setelah menerima kunjungan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Presiden RI ke Enam Susilo Bambang Yudhoyono pada april silam di Singapura, SBY mengeluarkan pendapatnya tentang perlu segera dilakukan rekosiliasi menyeluruh pasca Pilpres dan Pileg serentak yang baru saja usai dilaksanakan.
Menurut SBY, di tengah situasi panas saat itu yang juga tengah menanti hitung suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya kedua belah pihak dan tim pemenangan menahan diri agar tidak terjebak dalam ego masing-masing yang akan menyengsarakan masa depan rakyat.
SBY tentu tidak asal bicara, Ia kenyang makan asam garam politik. Ia seorang veteran Pemilu yang pernah mencatatkan namanya dengan tinta emas sebagai seorang Presiden yang terpilih secara demokratis di Pilpres langsung pertama kali dan mengulanginya pada Pilpres 2009.Â
Tentu saja, SBY tahu betul bagaimana situasi dan kondisi bangsa serta punya resep mumpuni untuk menyembuhkan luka politik pasca Pilpres.
Diakui atau tidak, pasca pelaksanaan Pilpres dan Pileg serentak, kondisi masyarakat memang tengah terbelah mengikuti dua kubu kandidat yang bersaing. Karena itulah, rekonsiliasi adalah jalan satu satunya dan mendesak direalisasikan.Â
Langkah SBY ini tidak saja mendapat tanggapan positif, namun juga ditindaklanjuti oleh beberapa tokoh diantaranya Mantan Ketua Mahkamah Konstiyusi Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, Mantan Menteri BUMN dan tokoh Pers Dahlan Iskan serta Ibu Negara Presiden RI ke Empat, Ny. Hj. Sinta Nuriyah Abudurrahman Wahid.
Kita patut memberikan apresiasi dan juga ikut serta bersama semua tokoh itu untuk berjuang mewujudkan Indonesia yang makin adil dan makmur dan bebas dari keributan politik karena perbedaan pandangan dan visi politik.
Sejak awal, harus diakui bahwa gejala keretakan di masyarakat semakin nyata terlihat. Kita bahkan sampai pada kesimpulan bahwa bangsa sebesar dan seluas Indonesia ini memang belum siap untuk menggelar hajatan politik serentak dan sebesar itu sekaligus. Namun itu adalah pekerjaan rumah yang harus dan hanya bisa diselesaikan jika semua rakyat bersama sama.
Rekonsiliasi yang ditawarkan SBY, bukanlah rekonsiliasi pihak yang kalah menerima begitu saja kekalahan dan pihak yang menang kemudian merayakan kemenangannya.
Rekonsiliasi yang dimaksud SBY adalah rekonsiliasi yang berdasarkan pada hukum dan kebenaran. Tentu saja hal itu harus dilakukan. Rekonsiliasi itu juga meliputi tiga hal utama yaitu sikap kompromi kedua belah pihak dengan mengedepankan keselamatan bangsa diatas semua kepentingan kedua calon dan pendukungnya, kedua, mencari solusi yang sama sama menguntungkan dan yang terakhir adalah rekonsiliasi yang saling menghormati proses pemilu dengan azas saling membuka diri dan menahan diri dari sikap ego.
Kini usai putusan MK, Saya melihat tawaran SBY ini wajib dicermati agar polarisasi yang terjadi di tengah warga negara dapat dihentikan dan diselesaikan. Semua pihak harus pula menahan diri. Kubu petahana dan Kubu Oposisi semestinya harus bisa menahan para timses mereka untuk tidak mengeluarkan pendapat yang justru akan memperkeruh suasana.
Rekonsiliasi seharusnya menjadi kata yang tidak hanya gampang diucapkan, namun harus mudah pula untuk dilaksanakan. Rekonsiliasi juga bukanlah kongkow-kongkow antar politisi semata, ia adalah sebuah gerakan perdamaian yang berbabis pada kebenaran dan hukum. Bukan pada bagi bagi kue kekuasaan dan belah semangka belaka.
Karena itulah orang Minang menyebut kalimat Biduk Lalu Kiambang Bertaut. Usai Pilpres, usai pula perdebatan dan persaingan. Dan Jokowi juga sudah mengajak semua komponen bangsa untuk kembali bersama sama memandang ke depan untuk Persatuan Indonesia.
Akhir kata, selamat Pak Jokowi, selamat Kiyai Ma'ruf. Selamat juga untuk Pak Prabowo dan Bang Sandiaga Uno. Kedepannya kita perlu menyaksikan sebuah politik yang lebih mengedukasi dan beretika.
Politik harus dijalankan dengan kegembiraan dan bukan dengan kening berkerut. Sampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat dan pendukung Bapak bapak sekalian untuk menjaga perdamai dan melupakan kompetisi politik sampai disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H