Ada dua nama terkenal yang selama kurun waktu beberapa bulan terakhir selalu menjadi perhatian saya setiap membaca berita. Nama pertama yaitu Ali Mochtar Ngabalin dan kedua nama Ratna Sarumpaet. Nama keduanya menjadi nama yang paling sering dikutip oleh awak media pernyataan demi pernyataanya dan menarik, baik Ratna dan Ngabalin mewakili dua kubu pasangan capres/cawapres yang tengah bersaing keras di Pilpres 2019.
Kita ketahui, bahwa selain sebagai seniman, Ratna Sarumpaet juga dikenal sebagai seorang aktifis yang teguh memperjuangkan hak hak sipil. Ratna dikenal vokal dan tak segan melabrak siapa saja karena kepeduliannya.
Sementara di kubu sebelahnya, Ali Mochtar Ngabalin adalah seorang politisi. Ngabalin dikenal pertama kali karena kiprahnya di Partai Bulan Bintang sebelum kemudian ia pindah ke Golkar dan aktif di partai itu hingga saat ini.
Ngabalin dan Ratna bagi saya adalah ikon politik Indonesia saat ini. Riuh, penuh kata kata keras dan (maaf) penuh ledekan.
Kiprah keduanya di pentas politik juga tidak boleh dianggap remeh. Ngabalin pernah menjadi anggota DPR RI periode 2004 - 2009, sebenarnya pada tahun 2009 silam, ia meraih suara terbanyak, namun sayang partainya tidak lolos ke parlemen karena kurang suara.
Ratna juga demikian, meski tidak pernah sama sekali menjadi anggota partai politik, ia adalah tokoh dan ikon perlawanan politik terhadap penguasa. Ratna pernah mengadvokasi kasus terbunuhnya buruh Marsinah pada masa Orde Baru dan belakangan kerap bersuara keras kepada rezim Jokowi - JK.
Dengan posisi politik yang berbeda, bagi saya Ratna dan Ngabalin adalah dua ikon yang bisa dibahas dan layak dijadikan sebagai bahan tesis para ilmuwan politik terkait situasi politik Indonesia saat ini.
Saya memulai dari nama Ali Mochtar Ngabalin. Tokoh bersorban satu ini memang tahu betul momentum dan kesempatan mana saja yang bisa dimanfaatkan untuk tampil ke depan media dan tentu saja menjadi pembicaraan dan pembahasan banyak orang. Statemennya ditunggu kedua kubu. Baik oleh kubu Jokowi untuk di hora horekan maupun oleh kubu Prabowo untuk dilawan, dibantah dan kalau perlu diledek datanya.
Jejak digital Ngabalin yang dulunya pendukung Prabowo bercecaran dimana mana DAN dan menjadi santapan netizen untuk diolok olok. Hal ini disebabkan posisi dan sikap Ngabalin yang tadinya pendukung Prabowo kini berbalik menyerang kubu yang mendiskreditkan pemerintah.
Hal yang berbeda terjadi pada Ratna, Ia dikenal vokal dan keras menantang kubu Jokowi dan berulang kali tampil di acara talk show televisi. Setiap ucapan Ratna ditunggu karena pastilah ia mengkritik habis pemerintah. Tidak ada yang tidak dikritik Ratna. Semua masalah selalu dikomentarinya.
Namun, nasib berkata lain, Ratna tidak semujur Ngabalin yang kini tenang tenang saja bekerja sebagai Tenaga Ahli Utama di Kedeputian IV Kantor Staf Presiden. Ratna kini justru tengah menhadapi proses hukum sebagai tersangka dalam kasus dugaan telah berbohong yang menyeret nama nama politisi dan lawan politik pemerintah dalam persoalannya.
Bagi saya, keduanya sama menariknya. Ratna dan Ngabalin adalah dua tokoh politik saat ini yang mampu memberi warna berbeda pada politik kita yang semakin gaduh dan amburadul.
Seorang teman di kampus pernah mengatakan, kalau sebaiknya Pilpres dikembalikan saja ke MPR, agar masyarakat tidak lagi terlibat terlalu jauh dalam urusan pemilihan pemimpinan di tingkat nasional.
Ia berpendapat, Pilpres atau Pilkada langsung memang membuat rakyat makin kuat dan berkuasa, namun karena kecerdasan politik yang masih jauh membuat pesta demokrasi itu menjadi tidak berkualitas.
Saya agak sependapat dengan itu. Namun bukan pada soal pemilihannya, tapi pada bahwa politik dan politisi justru tidak makin mencerdaskan rakyat. Justru sebaliknya, politik menjadi sarana pembodohan dan kering etika.
Semestinya sebagai ikon politik, Ratna dan Ngabalin serta nama nama lainnya tidak menjadi olok olok karena ulah mereka sendiri, namun menjadi panutan. Akan tetapi, itu masih jauh dari harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI