Mohon tunggu...
Dion Pardede
Dion Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Absurdites de l'existence. Roséanne Park 💍

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pidato Macron dan Sentimentalitas adalah Masalah yang Sama Besar

31 Oktober 2020   23:44 Diperbarui: 2 November 2020   08:15 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

La république En Marche! merupakan partai yang dipimpin Emmanuel Macron dan menjadi kendaraannya untuk sampai ke kursi presiden Perancis. Partai ini jelas berideologi liberal, bukan hanya ekonomi namun juga sosial.

Semangat liberal dan sekularisme ini jadi pembedanya dengan Marine Le Pen, tokoh konservatif Perancis yang menjadi rivalnya dalam Pilpres 2017 lalu.

Macron dikenal sebagai tokoh muda liberal terkemuka dekade ini. Kebebasan sipil dan berpendapat---yang memang mengakar kuat di Perancis---di tangannya semakin memiliki tempat yang mantap dalam ruang publik Perancis. 

Semangat liberalisme juga tampak dari kebijakan imigrasinya. Emmanuel Macron jauh dari kata proteksionisme dalam kebijakan keimigrasian. Dia tidak terjebak dengan ketakutan-ketakutan penuh sentimen ras.

Dia, selayaknya seorang liberal, percaya akan perlunya distingsi (pemisahan) wilayah publik dan privat antara negara dan masyarakat. Selama menjabat, sangat jarang dia mengintervensi ruang-ruang privat warga negaranya. Dia sangat jauh dari citra pemimpin partisan.

Namun, pernyataannya terkait teror yang berlangsung beberapa waktu lalu agaknya menegasikan semangat dan citra yang ia bangun selama ini. Dalam sebuah pidato, ia menyebut bahwa ajaran islam merupakan sumber krisis global. 

Pernyataan yang diklaim sebagai tindakan proteksi terhadap kebebasan berpendapat---yang juga merupakan salah satu poin liberalisme---tersebut jika kita bedah akan sangat bertentangan dengan pandangan kaum liberal dalam bernegara.

Keadilan liberal
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf aufklrung (pencerahan) Jerman pernah membuat sebuah tulisan pendek yang berpengaruh bagi pandangan sekularisme dan liberalisme sampai saat ini. 

Tulisan tersebut berjudul Zum ewigen Frieden (Menuju perdamaian abadi). Kant melontarkan sebuah pertanyaan yang kemudian ia jawab sendiri; 

"Bagaimana tuntutan normatif keadilan dapat dipenuhi oleh fakta kepentingan diri?". Kant menjawab dengan singkat: "Aturlah kepentingan-kepentingan diri itu sehingga tidak bertabrakan satu sama lain".

Jawaban Kant tersebut kemudian menghasilkan sebuah konsep yang dikenal dengan Management of self interest (Manajemen kepentingan diri). Konsep ini menghendaki bahwa negara harus membedakan dua wilayah di dalamnya; wilayah publik, dan wilayah privat. 

Konsep ini sangat diperlukan terlebih dalam negara-negara yang plural. Karena, anggota-anggota masyarakat sebuah negara memiliki kepentingan privat yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Kepentingan-kepentingan anggota masyarakat tersebut berbeda karena didasarkan pada keyakinan religius, ideologi, dan berbagai sikap privat lainnya.

Di sinilah negara perlu hadir dalam merumuskan batasan-batasan atas kepentingan-kepentingan privat tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu koordinasi anggota masyarakat dalam bermasyarakat dan bernegara. 

Rumusan ini diperlukan guna mencapai keadilan sebagai konsekuensi dari masyarakat yang kompleks. Menurut John Rawls (1921-2002) keadilan dalam masyarakat kompleks akan tercapai jika terjadi sekularisasi, dan jika kebijakan dan tindakan negara tidak memihak kelompok manapun.

Dalam masyarakat kompleks, perlu dipisahkan antara wilayah publik dan privat guna mencapai keadilan. Secara konseptual, wilayah ini memiliki perbedaan yang terlihat samar namun signifikan. 

Wilayah publik dijalankan menurut konsepsi tentang yang adil, sementara wilayah privat, karena terkait preferensi individu maupun sub-sub kelompok dalam masyarakat berjalan menurut konsepsi tentang yang baik.

Immanuel Kant, setuju bahwa keutuhan masyarakat kompleks tidak dapat dijaga, bila pemerintah mendasarkan kebijakan dan tindakannya di atas konsepsi tentang yang baik. Karena sejak saat itu, maka pemerintah tidak berdiri di atas semua golongan dan menjadi partisan. Inilah yang dikenal sebagai keadilan liberal.

Hal ini kemudian dapat kita kaitkan dengan pidato Macron tersebut. Dengan menyatakan salah satu agama sebagai sumber krisis, maka secara seketika itu juga ia mengambil tempat berlawanan dengan sikap privat masyarakat tersebut. 

Dan sejak saat itu pula ia berdiri di atas konsepsi tentang yang baik. Dia -- suka tidak suka---harus menerima tudingan sebagai pemimpin partisan atas pernyataan tersebut.

Bukan tanpa alasan, karena pemicu dari teror-teror yang berlangsung di Perancis adalah sebuah pertentangan antara dua sikap privat anggota masyarakat. 

Antara seorang guru -- yang bisa kita asumsikan sebagai seorang liberal---yang menunjukkan karikatur nabi kepada anak beragama islam yang tentu berdasarkan ajarannya menentang hal-hal semacam itu (merendahkan orang suci). 

Kemarahan dari golongan islam kemudian diwakilkan oleh pihak-pihak yang melancarkan teror (entahpun aksi teror tidak dibenarkan masyarakat islam). Kepala guru tersebut dipenggal, dan memicu unjuk rasa di Perancis.

Yang dikecam Macron memang adalah tindakan terorisme yang merenggut nyawa warga negaranya. Namun perlu diingat bahwa masyarakat sedang bergumul dalam pertentangan kepentingan privat. 

Macron, sebagai seorang liberal harusnya bisa memberi tanggapan yang lebih bijak, apalagi dengan posisinya sebagai pemimpin negara tersebut. Dalam menanggapi pertentangan sikap-sikap privat yang kadung terjadi, tidak seharusnya ia berdiri melawan salah satu kepentingan privat. 

Alih-alih mengatasi masalah, pernyataannya malah semakin memperluas pergolakan lintas negara. Sikap imparsial dan bebas kepentingan-kepentingan privat tidak hanya dibutuhkan dalam kebijakan publik, namun juga pernyataan atau tanggapan mewakili otoritas negara.

Presiden Perancis, Emmanuel Macron (AFP via Kompas.com)
Presiden Perancis, Emmanuel Macron (AFP via Kompas.com)
Persoalan Sentimentalitas
Rasanya perlu pulalah kita melihat reaksi publik, khususnya dunia islam terhadap pernyataan Macron tersebut. Kecaman meluas dari umat islam dunia, dan juga pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Kecaman-kecaman dari negara-negara tersebut kepada Perancis masih dapat kita maklumi sebagai teguran demi perdamaian global.

Untuk pengecaman yang lebih luas, yakni di tengah masyarakat (khususnya di basis Islam), momen ini menjadi kesempatan kita untuk mengukur rasionalitas kaum religius. Karena, problem kaum religius dalam bermasyarakat selama ini adalah sentimentalitas yang begitu kental.

Mari kita urai 'konflik' yang sedang berlangsung ke dalam 3 (tiga) bagian. Pertama, kemarahan umat islam terhadap tindakan guru yang menampilkan karikatur Muhammad tersebut. Kedua, teror sebagai respons tindakan oknum guru tersebut. Dan ketiga, pidato kontroversial Emmanuel Macron.

Umat islam banyak menentang tindakan guru tersebut, sekaligus mengecam tindakan teror yang mengatasnamakan islam. Reaksi yang timbul cukup ramai, namun tidak semasif kecaman publik terhadap pernyataan Emmanuel Macron. 

Sesaat setelah Macron mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan islam tersebut, kecaman terhadap terorisme dari kalangan islam bak tenggelam dan beralih ke pernyataan Macron. 

Sebaliknya, kaum yang melabeli diri sebagai liberal, kebanyakan diam dan menutup mata pada pernyataan Macron yang bertentangan dengan nilai-nilai liberal tersebut.

Mengapa umat islam lebih fokus kepada pernyataan Macron daripada mengecam tindakan terorisme yang menodai citra komunitas islam global? Dan mengapa kaum liberal lebih banyak diam ketika pernyataan Macron pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai liberal?

Jawabannya adalah sentimentalitas. Umat islam jauh lebih reaktif terhadap pernyataan Macron, karena sudah tenggelam dalam kebencian terhadap sekularisme dan freedom of speech yang dianut Perancis.

Poster bergambar wajah Presiden Prancis, Emmanuel Macron diinjak sejumlah orang di depan Masjid Al Jihad, Medan di Jalan Abdullah Lubis pada Jumat (30/10/2020) sore tadi. Mereka mengecam pernyataan Presiden Macron karena dinilai menghina Nabi Muhammad. (KOMPAS.COM/DEWANTORO)
Poster bergambar wajah Presiden Prancis, Emmanuel Macron diinjak sejumlah orang di depan Masjid Al Jihad, Medan di Jalan Abdullah Lubis pada Jumat (30/10/2020) sore tadi. Mereka mengecam pernyataan Presiden Macron karena dinilai menghina Nabi Muhammad. (KOMPAS.COM/DEWANTORO)
Pelecehan nabi terjadi atas nama freedom of speech, sehingga umat islam sudah menabung amarah kepada konsep tersebut. Apalagi, Macron dalam kasus karikatur Charlie Hebdo, menolak menindak majalah tersebut atas nama kebebasan berpendapat (yang mana tepat sebagai seorang liberal). 

Sehingga kemarahan terhadap pernyataan Macron merupakan akumulasi kemarahan yang didasarkan preferensi privat maupun tendensi kolektivis.

Beberapa umat islam tidak menoleransi sekularisme dan freedom of speech yang kebablasan, sehingga kemarahan terhadap pernyataan Macron jauh lebih masif ledakannya dibanding kecaman terhadap terorisme.

Di pihak yang satu, kaum yang menjunjung tinggi sekularisme terkesan diam dan tak bereaksi atas pernyataan Macron.

Sentimentalitas menyebabkan ketidakjernihan dalam memandang masalah yang sebenarnya. Reaksi yang timbul lebih banyak disebabkan emosi yang diaduk daripada otonomi individu dalam memandang masalah yang ada. 

Sentimentalitas tentu jadi problem besar ke depannya bagi kehidupan bersama. Menghadapi tabrakan preferensi privat dengan argumen penuh sentimen tidak akan pernah menjadi solusi dalam kehidupan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun