Mohon tunggu...
Murdiono Mokoginta
Murdiono Mokoginta Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan/ Penulis Artikel/ Kolomnis

Penulis yang fokus pada riset-riset sejarah lokal terutama di wilayah Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bolaang Mongondow Tidak Dijajah Selama 350 Tahun

30 Desember 2024   11:46 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catatan Residen Manado, E.J. Jelessma (1905) terkait Perlawanan di Bolaang Mongondow 1902

Riedel Manuel Manoppo adalah raja yang selalu mengganggu jalannya bisnis bagi perkembangan ekonomi di kerajaan dan memelihara para bangsawan pemalas yang hanya hidup dari keringat rakyat sendiri tanpa memedulikan nasib mereka."  (E.J. Jellesma, Residen Manado (1893-1902))

Itulah catatan yang ditulis oleh Eeltje Jelles Jellesma dalam koran Het Vederland Staat- En Leterkundig Nieuwsblad (Volume: 37/ No. 134) 7 Juni 1905 dan De Telegraaf; Het, Mest, Verspreide Groote Dagblad, (Vol. 10, No. 3689), 8 November 1902 tentang alasannya untuk menganti Raja Bolaang Mongondow Riedel Manuel Manoppo karena menolak kebijakan Pax Netherlandica.

Riedel Manuel Manoppo (1893-1902) ada di antara raja-raja Nusantara era itu yang berusaha melawan kebijakan Pax Netherlandica untuk memasukan kerajaan Bolaang Mongondow dalam lingkup kekuasaan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Raja Bolaang Mongondow itu sangat memahami konsekuensi hukum yang dihadapi bila menerima mentah-mentah keputusan pemerintah kolonial yang akan menjadikan Bolaang Mongondow dari kerajaan merdeka penuh menjadi negeri yang setengah merdeka atau bahkan tidak merdeka sama sekali.

Pax Netherlandica merupakan usaha Belanda untuk memasukkan wilayah-wilayah yang berada dalam jangkauan politiknya untuk berada di bawah sistem politik dan birokrasi mereka. Hanya saja yang menjadi masalah serius adalah di beberapa wilayah lainnya masih berdiri kerajaan-kerajaan yang memiliki supremasi penuh atas rakyat dan tanahnya. Di luar wilayah yang diperintah langsung oleh jajaran Europees Bestuur dengan perangkat Inlands Bestuur di bawahnya, terdapat pula wilayah yang lain disebut Zelfbesturen Landschappen. Administrasi pemerintah di wilayah ini diatur berdasarkan kesepakatan politik antara negeri (landschap) yang bersangkutan dan Gubernur Jendral Hindia Belanda (Mokoginta, 2024: 46).

Mulanya melalui Contract Met Bolaang Mongondou 22 Oktober 1895, Pemerintah Belanda memaksa Raja Riedel Manuel Manoppo harus mengakui wilayahnya sebagai bagian dari Kerajaan Belanda. Kontrak tersebut kemudian diabaikan oleh kerajaan yang menyebabkan Jellesma memerintahkan A.C. Venhuizen ke Bolaang pada kisaran tahun 1898-1899 untuk meminta kesiapan Bolaang menjadi bagian dari Pemerintah Belanda secara penuh.

Kedatangan Veenhuizen ke Bolaang menyebabkan kekacauan di sana. Beberapa Korps Polisi yang mengawal Veenhuizen yang tengah berbicara dengan raja dalam istana secara langsung mengibarkan bendera Belanda di halaman Komalig Bolaang. Hal ini mendapatkan reaksi masyarakat yang datang bersama salah satu tokoh Islam terkemuka yang bernama Hatibi Dibo Mokoagow memotong tiang bendera Belanda dan membuangnya hingga menyulut kerusuhan di Bolaang. Veenhuizen akhirnya pulang dengan penolakan dari raja dan masyarakat Bolaang untuk menjadi bagian dari Pemerintah Belanda. Sementara akibat kekacauan di Bolaang, Hatibi Dibo Mokoagow ditangkap pada tahun 1904 oleh Belanda dan ditembak mati.

Sikap keras Riedel Manuel Manoppo membuat Residen Manado geram dan bertekad untuk membunuh pengaruh raja. Akhirnya awal tahun 1901, atas perintah Residen Manado, Veenhuizen tiba di Pedalaman Mongondow untuk bertemu dengan Presiden Raja Mongondow Datoe Cornelis Manoppo dan beberapa bangsawan di sana untuk mengangkat beliau sebagai raja yang mendapatkan legitimasi dari Pemerintah Kolonial. Hal ini tentu dengan syarat bahwa raja yang baru harus menerima kebijakan Belanda untuk menjadikan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow dan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya sebagai Afdeeling Bolaang Mongondow yang langsung berada di bawah Keresidenan Manado.

Pada 1 Juli 1901 kebijakan itu ditetapkan melalui Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 19 Juni 1903 No. 32 (Staatsblad. 249) yang ditandatangani oleh Sekretaris Jendral Hindia Belanda C.B Nederbrug. Sejak saat itu pula menurut perspektif hukum kolonial Bolaang Mongondow resmi berada di bawah Hindia Belanda yang berkedudukan di Keresidenan Manado sebagai Afdeeling Bolaang Mongondow dengan mengabungkan Kerajaan Bolaang Mongondow, Bintauna, Kaidipang, Bolaang Itang, Bolango Uki.

Di sisi lain, di Negeri Bolaang, masyarakat dan bangsawan di sana tidak mengakui Datoe Cornelis Manoppo sebagai raja tetapi hanya Riedel Manuel Manoppo yang menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dalam tubuh Kerajaan Bolaang Mongondow. Kubu kerajaan terbagi menjadi faksi Bolaang di bawah Riedel Manuel Manoppo tetapi tidak dilegitimasi oleh Pemerintah Kolonial dan berkedudukan di Negeri Bolaang. Sementara faksi Mongondow oleh Datoe Cornelis Manoppo yang juga mendapat legitimasi beberapa bangsawan pedalaman dan pemerintah kolonial dengan kedudukan pusat pemerintahan di Kotobangon.

Lepas dari segala konflik internal kerajaan di masa itu dan bagaimana kita membawa jiwa zaman ke era masa kini di mana Bolaang Mongondow menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Bolaang Mongondow sendiri hanya berada di bawah Hindia Belanda selama kurang lebih 41 tahun (1901-1942). Bolaang Mongondow menjadi kerajaan yang setengah merdeka hanya 41 tahun dan sebelum itu negeri ini adalah sebuah kerajaan merdeka penuh yang mengatur dan mengurus negaranya sendiri.

Membaca sejarah lokal ini saya akhirnya bisa menerima wacana Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon (baca: CNN Indonesia "Menteri Kebudayaan Fadli Zon Akan Revisi Catatan Sejarah Indonesia (14/12/2024)") yang menyatakan akan merevisi narasi historiografi sejarah Indonesia yang mengkultuskan mitos 350 tahun dijajah. Karena fakta-fakta yang ada, beberapa negeri di Nusantara masih ada yang merdeka penuh setidaknya sebelum abad-20 termasuk Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru tunduk dalam pemerintahan kolonial pada tahun 1901.

Beberapa aspek yang dapat dilihat secara cermat misalnya penggunaan bendera Belanda. Meskipun pada tahun 1881 Pemerintah Belanda mengharuskan agar bendera mereka digunakan di darat dan di laut, tetapi Kerajaan Bolaang Mongondow masih menggunakan bendera kerajaan secara penuh tanpa bendera Belanda. Bahkan sebagaiamana catatan di atas, di tahun 1899 Bendara Belada di larang di kibarkan di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. Pengunaan bendera Belanda dan cap resmi kerajaan nanti berlaku pada era Datoe Cornelis Manoppo.

Sejarawan A.B. Lapian dalam pengantarnya pada buku "Bukan 350 Tahun Dijajah" oleh G.J. Resink menulis bahwa ada tiga kelompok bangsa-bangsa di Nusantara hingga abad ke-20 yaitu: Pertama, negeri-negeri yang sudah mengakui Belanda sebagai souverain (walaupun hubungan ini juga bersifat internasional karena diatur traktat). Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda. Belanda diakui sebagai sauverein dan leenheer yang berarti negeri pribumi telah menempatkan dirinya sebagai vasal. Dalam kasus ini menurut Lapiana ada 7 negeri di Sulawesi Utara yang termasuk (di luar Bolaang Mongondow yang baru menjadi Afdeeling nanti pada tahun 1901). Ketiga, negeri-negeri yang hanya mengakui Belanda sebagai leenheer tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan (Resink, 2016).

Kerajaan Bolaang Mongondow sendiri melihat beberapa kondisi faktual sebelum abad ke-20 sepertinya berada pada kelompok selain tiga kelompok di atas. Kelompok ini yang dimaksudkan oleh Lapian (2016) sebagai kelompok yang diakui oleh Belanda sebagai contractuale bondgenooten (sekutu kontrak-negeri-negeri yang berdasarkan perjanjian yang harus dilihat dalam kedudukan setingkat dangan Hindia Belanda). Bukti di mana pada tahun 1895 Belanda masih meminta pembahruan kontrak agar raja Bolaang Mongondow mengakui Ratu Belanda sebagai yang dipertuankan sebagaimana dalam Contract Met Bolaang Mongondou 22 Oktober 1895 membuktikan hal itu bahwa sebelum abad ke-20 Bolaang Mongondow adalah negeri yang merdeka penuh.

Pada akhirnya sangat menarik menantikan rekonstruksi historiografi sejarah nasional Indonesia yang selama ini beriman pada mitos 350 tahun dijajah untuk direvisi kembali. Dengan ini maka sejarah nasional akan dibaca secara holistik dengan melihat kembali secara kritis sejarah lokal, khususnya kerajaan dan beberapa negeri yang merdeka di masa lalu termasuk Bolaang Mongondow. Karena secara faktual negeri ini memang hanya dijajah (berada dalam Hindia Belanda) sekitar 41 tahun saja. Bolaang Mongondow tidak dijajah selama 3 abad lamanya.

*Penulis adalah peneliti sejarah lokal Bolaang Mongondow Raya (BMR) di Sulawesi Utara. Menulis Buku Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 (Penerbit Ombak, 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun