Membaca sejarah lokal ini saya akhirnya bisa menerima wacana Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon (baca: CNN Indonesia "Menteri Kebudayaan Fadli Zon Akan Revisi Catatan Sejarah Indonesia (14/12/2024)") yang menyatakan akan merevisi narasi historiografi sejarah Indonesia yang mengkultuskan mitos 350 tahun dijajah. Karena fakta-fakta yang ada, beberapa negeri di Nusantara masih ada yang merdeka penuh setidaknya sebelum abad-20 termasuk Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru tunduk dalam pemerintahan kolonial pada tahun 1901.
Beberapa aspek yang dapat dilihat secara cermat misalnya penggunaan bendera Belanda. Meskipun pada tahun 1881 Pemerintah Belanda mengharuskan agar bendera mereka digunakan di darat dan di laut, tetapi Kerajaan Bolaang Mongondow masih menggunakan bendera kerajaan secara penuh tanpa bendera Belanda. Bahkan sebagaiamana catatan di atas, di tahun 1899 Bendara Belada di larang di kibarkan di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. Pengunaan bendera Belanda dan cap resmi kerajaan nanti berlaku pada era Datoe Cornelis Manoppo.
Sejarawan A.B. Lapian dalam pengantarnya pada buku "Bukan 350 Tahun Dijajah" oleh G.J. Resink menulis bahwa ada tiga kelompok bangsa-bangsa di Nusantara hingga abad ke-20 yaitu: Pertama, negeri-negeri yang sudah mengakui Belanda sebagai souverain (walaupun hubungan ini juga bersifat internasional karena diatur traktat). Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda. Belanda diakui sebagai sauverein dan leenheer yang berarti negeri pribumi telah menempatkan dirinya sebagai vasal. Dalam kasus ini menurut Lapiana ada 7 negeri di Sulawesi Utara yang termasuk (di luar Bolaang Mongondow yang baru menjadi Afdeeling nanti pada tahun 1901). Ketiga, negeri-negeri yang hanya mengakui Belanda sebagai leenheer tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan (Resink, 2016).
Kerajaan Bolaang Mongondow sendiri melihat beberapa kondisi faktual sebelum abad ke-20 sepertinya berada pada kelompok selain tiga kelompok di atas. Kelompok ini yang dimaksudkan oleh Lapian (2016) sebagai kelompok yang diakui oleh Belanda sebagai contractuale bondgenooten (sekutu kontrak-negeri-negeri yang berdasarkan perjanjian yang harus dilihat dalam kedudukan setingkat dangan Hindia Belanda). Bukti di mana pada tahun 1895 Belanda masih meminta pembahruan kontrak agar raja Bolaang Mongondow mengakui Ratu Belanda sebagai yang dipertuankan sebagaimana dalam Contract Met Bolaang Mongondou 22 Oktober 1895 membuktikan hal itu bahwa sebelum abad ke-20 Bolaang Mongondow adalah negeri yang merdeka penuh.
Pada akhirnya sangat menarik menantikan rekonstruksi historiografi sejarah nasional Indonesia yang selama ini beriman pada mitos 350 tahun dijajah untuk direvisi kembali. Dengan ini maka sejarah nasional akan dibaca secara holistik dengan melihat kembali secara kritis sejarah lokal, khususnya kerajaan dan beberapa negeri yang merdeka di masa lalu termasuk Bolaang Mongondow. Karena secara faktual negeri ini memang hanya dijajah (berada dalam Hindia Belanda) sekitar 41 tahun saja. Bolaang Mongondow tidak dijajah selama 3 abad lamanya.
*Penulis adalah peneliti sejarah lokal Bolaang Mongondow Raya (BMR) di Sulawesi Utara. Menulis Buku Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 (Penerbit Ombak, 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H