Kualitas Infrastruktur
Jambi juga masih mempunyai banyak pekerjaan rumah terkait infrasturktur. Kondisi ruang kelas yang diambil dari PDSPK tahun 2019 mengungkapkan bahwa PAUD memiliki 208 kelas dengan rusah berat dan 131 rusak ringan, SD memiliki 2253 kelas rusak berat dan 1931 rusak ringan, SMP memiliki 510 rusak berat dan 628 rusak ringan, SMA dengan 110 kelas rusak berat dan 198 rusak ringan, SMK 39 kelas rusak berat dan 55 rusak ringan, dan SLB 14 rusak berat dan 7 rusak ringan.
Dengan kondisi seperti ini, jargon "Merdeka Belajar" belum sampai di Jambi. Siswa dan guru di Jambi masih belum merdeka karena masih terkungkung dengan permasalahan burukunya fasilitas di dalam kelas. Bukankah syarat agar siswa betah belajar, salah satunya adalah memiliki ruang yang nyaman. Nyaman bukan berarti harus mahal, namun paling tidak kelas mereka tidak rusak dan terancam roboh. Data di atas tentu belum termasuk sekolah-sekolah/madrasah swasta di pedesaan. Gubernur Haris dan Wagub Sani harus benar-benar berkolaborasi dengan seluruh instansi baik swasta maupun pemerintah untuk dapat bahu membahu memperbaiki sarana pendidikan di Jambi yang masih banyak rusak.
Covid-19 dapat dijadikan sebagai momentum untuk perbaikan sarana sekolah, karena siswa banyak belajar secara online; sehingga perbaikan sarana kelas tidak akan mengaggu proses belajar mengajar. Tinggal bagaimana pemerintah dapat jeli dalam mengalokasikan dana untuk fokus pada penyelesaian masalah Covid-19 dan perbaikan sarana pembelajaran; yang kedua-duanya sama urgennya.
Pelibatan Orangtua dan Masyarakat
Dahulu, pemerintah terkesan mengesampingkan peran orang tua dan masyarakat pada pendidikan sekolah. Padahal jauh-jauh hari Ki Hajar Dewantara mewanti-wanti kita, bahwa pendidikan akan dapat berjalan dengan baik dengan tripusat pendidikan: masyarakat, sekolah, dan rumah. Namun seiring waktu berjalan, Tri Pusat pendidikan mulai ditinggalkan; tidak lagi dikaji dan dilaksanakan. Hasilnya, orang tua berpandangan urusan pendidikan adalah urusan sekolah, tugas orang tua adalah membayar iuran SPP atau Komite sekolah. Ketika mereka sudah membayar iuran komite dan SPP mereka beranggapan sudah terlibat dalam urusan pendidikan anak (Raihani, 2019).
Padahal, pendidikan tidak akan berhasil jika hanya diserahkan pada guru semata. Covid-19 telah berhasil membuka mata, bahwa kita semua adalah guru, dan semua rumah adalah sekolah. Belajar di rumah telah berhasil meyadarkan orang tua akan pentingnya keterlibatan mereka pada pendidikan anak. Sekolah juga mulai sadar, bahwa mereka harus proaktif dalam merangkul orangtua dan masyarakat, agar mereka secara sadar terlibat pada urusan pendidikan dan pengajaran, bukan pada urusan iuran sekolah semata.
Pemerintah Jambi tentu juga harus pro-aktif dalam menjalankan program-program strategis untuk kembali menghidupkan tripusat pendidikan. Untuk urusan ini, saya yakin Dinas Pendidikan mengetahui persis program-program apa yang harus dilaksanakan.
Bebaskan Guru dari Jajahan Politik
Bukan rahasia lagi bahwa guru di Jambi dan mungkin di Indonesia pada umumnya terjajah oleh egoisme para oknum calon pemimpin daerah. Betapa tidak, untuk urusan perolehan suara saja kepala sekolah mendapat tekanan untuk menjadi simpul perolehan suara. Jika tidak bersedia akan terancam diberhentikan dari jabatannya.
Setelah itu beberapa oknum kepala sekolah yang tidak mempunyai integritas lalu memberikan tekanan pada seluruh guru dan staf TU agar dapat mengumpulkan KTP keluarganya, untuk kemudian mencoblos pasangan calon tertentu. Namun sekali lagi ini tidak berlaku untuk semua kepala sekolah dan guru, hanya oknum saja. Ada banyak pula kepala sekolah yang menentang praktek penjajahan politik ini.