Pada sebuah diskusi saya pernah ditanya tentang siapa tokoh pendidikan idola? Ki Hajar Dewantara? Benar; tapi masih ada yang lebih di atasnya. John Dewey? Mungkin, tapi masih ada di atasnya lagi. Jeane Piaget? Bisa jadi, tapi masih ada yang lebih tinggi. Aristoteles? Boleh sih, namun masih ada yang lebih keren lagi. Plato? Plato hebat, namun masih ada yang lebih hebat.
Siapakah itu? Dialah yang dalam buku "The 100: A Rangking of the most Influential Persons in History", oleh Michael Hart ditempatkan pada posisi nomor satu: Baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Beliaulah guru dari segala guru. Beliaulah teladan dari segala teladan. Beliaulah dosen dari segala dosen. Beliaulah professor dari segala professor. Beliaulah pendidik dari segala pendidik.
Lalu, keteladanan apa yang dapat dijadikan sebagai panduan bagi para pendidik abad 21? Sebenarnya delapan kualitas pendidik oleh Andrew Churches: The adaptor, the communicator, the learner, the visionary, the leader, the model, the collaborator, the risk taker; keseluruhannya telah diajarkan jauh-jauh hari oleh Muhammad Putra Abdulllah. Karena Baginda Nabi, adalah seorang Guru. Guru yang mendidik dengan kasih sayang. Guru yang mendidik dengan keteladanan. Guru yang mengajarkan kulitas teamwork. Guru yang mengajar dengan visi yang jauh ke depan. Beliu guru yang tak malu untuk belajar dan selalu belajar. Mari kita sedikit kupas kualitas pendidik abad 21 yang telah dicontohkan oleh Baginda nabi:
The adaptor
Teknologi selalu berimprovisasi. Pengetahuan selalu berkembang. Peserta didik pun berbeda karakter di setiap zaman. Maka seorang pendidik harus pandai beradaptasi pada setiap kondisi dan situasi. Guru tidak boleh hanya mempunyai satu buku sumber atau acuan dalam mengajar. Guru harus membangkitkan rasa ingin tahu peserta didik sehingga termotivasi untuk menggali dari berbagai macam sumber terhadap ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Dengan demikian, penggunaan strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran pun harus selalu diperbaharui sesuai dengan karakter peserta didik, karakter lingkungan tempat guru mengajar, serta kondisi teknologi dan situasi pada zamannya.
Pengajaran ala nabi tak pernah langsung frontal. Diawali dengan adaptasi dengan lingkungan. Dimuali dengan pelan-pelan dan disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karenanya, metode pengajaran Nabi ditiru oleh sahabat dan murid-muridnya, termasuk di Indonesia. Pengajaran Islam dilakukan dengan penyesuaian budaya. Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo misalnya, mengajarkan Islam dengan menggunakan Wayang.
The Communicator
Nabi Muhammad adalah contoh guru yang paling hebat sepanjang masa. Di mana sahabatnya, sekaligus murid merasa bahwa dirinyalah yang paling disayangi Rasulullah. Bayangkan, setiap murid merasa bahwa dia sendirilah murid kesayangan Nabi. Begitu hebat gaya komunikasi nabi, sehingga siapapun yang pernah bertemu dan berinteraksi langung merasa menjadi sabahat dekat. Baginda nabi mampu berkomuniasi dengan semua golongan, semua ethnic, semua umur, dan semua golongan. Nabi Muhammad juga selalu mengulang informasi sebayak tiga kali, agar muridnya memahami dan tidak ada kesalahpahaman. Sungguh kualitas yang jarang dapat ditemui di abad 21 ini. Kita wajib untuk terus belajar dari gaya komunikasi nabi dalam mengajar dan mendidik.
The learner
Teachers are learners. Guru adalah pembelajar. Tak boleh guru merasa berkecukupan dengan ilmu yang dimiliki saat ini. Karena, siswa akan terus berkembang. Siswa yang kita ajar sekarang, akan jauh berbeda pengetahuan dan keterampilannya dengan siswa 5 atau 10 ahun yang akan datang. Teknologi pengajaran yang kita gunakan saat ini akan jauh berbeda pada 5 atau 10 tahun yang akan datang. Oleh karenanya Nabi memberikan pesan yang berharga bahwa menuntut ilmu dimulai dari buaian hingga ke liang lahat. Siapapun itu, tua/muda, guru/murid, tetap harus selalu belajar. Hanya kematian yang dapat menghentikan seorang guru untuk terus meng-update informasi, teknologi, literasi, pengetahuan, dan keterampilan.
The model