Saat menulis artikel ini, saya yakin para pemuda tengah asik dengan agendanya masing-masing. Ada yang tengah bergelut dengan usaha bisnis yang tengah dibuka, ada yang sibuk mengerjakan tugas kuliah/sekolah, ada yang sibuk mengikuti agenda politik, dan bahkan mungkin ada yang tengah ikut rapat untuk aksi demo lanjutan UU Cipta Kerja.
Dari beberapa kesibukan di atas, aksi pemuda mempersiapkan unjuk rasa yang kabarnya akan digelar pada tanggal 28 Oktober dan 2 November, saya beri highlight tersendiri.
Hal ini menjadi penting, karena pasca Reformasi, suara pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa nyaris tak terdengar. Unjuk rasa yang terbukti selama ini membawa perubahan baik dalam sekala kecil dan besar, hampir punah baik di media masa dan sosial.
Masyarakat luas mulai khawatir, tak mempunyai gerbong murni sebagai jembatan rakyat dengan pemerintah. Beberapa kaum tua juga gusar: toa, senjata sakti mahasiswa pengawal kebijakan pemerintah sembunyi entah ke mana.
Hingga lahirlah, beberapa gerakan semisal 212, KAMI, gerakan emak-emak, dan kegiatan ormas lainnya. Ini membuktikan, rakyat mulai was-was sehingga membuat aliran baru agar suara mereka didengar oleh pemerintah.
Banyak pengamat menilai, suara pemuda yang hampir hilang ini bukan karena sirna begitu saja. Setidaknya ada tiga penyebab pijar pemuda mulai meredup, sebagaimana dituturkan oleh Pangi, pengajar UIN Syarif Hidayatuallah pada harian Republika (2017).
Penyebab yang pertama, pemerintah mulai mengurangi kebabasan mahasiswa untuk menyampaikan suara pada mimbar terbuka. Hal ini diindikasikan dengan pemberlakuan sistem kampus yang dibuat sedemikian rupa, sehingga membaut sibuk mahasiswa agar dapat menyelesaikan kuliah dengan cepat.
Penyebab yang kedua, menurut Pangi, adalah pengkondisian sistem dan regulasi kampus yang sangat ketat sehingga membuat mahasiswa tiarap, karena jika mereka masih sering melalukan aksi masa, akan berimbas pada kelulusan kuliah. Bahkan kabarnya, tidak sedikit mahasiswa yang harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Ketiga, politik meja makan ala pemerintah yang mengundang pimpinan mahasiswa, LSM, tokoh agama, influencer, blogger, hingga pelawak, sedikit banyak mampu meredam diskusi-diskusi online dan offline terkait upaya dalam mengkritisi pemerintah.
Masyarakat rindu dengan suara murni mahasiswa. Rakyat rindu akan jargon pemuda sebagai agent of change. Alih-alih teriakan mahasiswa, televisi dan media sosial malah dikejutkan dengan maraknya demo emak-emak, unjuk rasa kaum tua yang tak begitu terstruktur dan massive ala mahasiwa. Rakyat mulai merana.
Hingga akhrinya, secara tiba-tiba rakyat dikejutkan dengan gonjang-ganjing Omnibus Law. Pemuda mulai bersuara. Mahasiwa mulai terusik dengan Undang-undang yang menuai kritik di mana-mana. Mimbar-mimbar diskusi akademik mulai digelar. Selimut tidur mahasiswa mulai disingkap. Satu-persatu mahasiswa bahkan pelajar yang seharusnya belum masanya bersuara, mulai cuci muka untuk bangun dari tidurnya.