Berkaca dari keberanian Kartini, kita harus tetap berani dan optimis dalam menghadapi bencana Corona. Keberanian yang tetap diimbangi dengan kewaspadaan. Keberanian yang terukur. Keberanian yang tidak menyepelekan: misalnya keluar rumah tidak menggunakan masker, berkumpul dalam keramaian meski ada himbauan untuk membatasi diri dalam kerumunan, atau tidak mengindahkan himbauan pemerintah untuk mencuci tangan dengan sabun secara rutin setelah berpergian atau berinteraksi dengan teman.
Pun demikian, kita harus tetap optimis, bahwa kita akan memenangkan peperangan ini. Kita akan bersama-sama berkomitmen membantu pemerintah. Kita akan bersama-sama mematuhi aturan yang dibuat dari pusat hingga desa. Insya Allah, atas izin Allah dengan semangat keberanian dan optimisme yang tercermin dari RA Kartini, kita akan keluar sebagai pemenang.
Semangat Berkarya
Bayangkan, andai kata Kartini tidak menulis dan berkirim surat pada sahabat-sahabatnya, akankah Kartini dikenal hingga saat ini? Begitu banyak para pejuang kemerdekaan yang notabene adalah Wanita, namun hanya Kartini yang dijadikan sebagai tokoh emansipasi Wanita. Tentu, salah satunya adalah karena karya-karyanya.
Betul kata pepatah, Harimau mati meninggalkan belang, Rusa mati meniggalkan tanduk, Gajah mati meninggalkan gading, maka hendaknya kita sebagai Manusia ada sesuatu pula yang ditinggalkan. Kartini mengajarkan pada kita bahwa Manusia yang dipanggil Tuhan paling tidak meninggalakan tulisan yang dapat dikenang.
Betapa tidak, Kartini muda telah mampu menerbitkan tulisannya yang berjudul "Upacara Perkawinan pada Suku Koja" di surat kabar Belanda Holdan Lelie saat ia masih berusia 14 tahun. Bayangkan, usia remaja, tanpa ada bantuan internet dan email, mampu menerbitkan tulisan di luar negeri, bukan di tanah Jawa atau di Hindia-Belanda kala itu. Usia 14 tahun itu adalah usia anak SMP. Sangat jarang, bahkan hingga era global seperti saat ini, penulis SMP yang terbit di luar negeri masih dapat dihitung jari. Semangat berkarya di usia muda inilah yang harus kita ikuti.
Masa Corona ini memberikan banyak peluang kepada sesiapa untuk berkarnya. Berkarya tentu dapat dilakukan sesuai passion. Mereka yang hobi menulis dapat mengasah ketajamannya ke level peberbitan. Mereka yang hobi bertani dapat mengisi waktu dengan bercocok tanam. Mereka yang hobi bermesin, dan berinovasi menciptakan atau membuat variasi permesinan.
Mereka yang hobi membaca, dapat memanfaatkan untuk menambah koleksinya hingga mampu membuat perpustakaan pribadi. Mereka yang hobi bermain musik atau bernyanyi dapat membuat konten youtube yang dapat dimonetisasi. Atau kegiatan lainnya yang kiranya mampu dimaksimalkan di era Work from Home (WFH) saat ini. Rebahan saja tidak cukup, kita harus dapat merubah gelar kita menjadi kaum rebahan yang produktif.
Semangat dalam Kesederhanaan
"Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi" (Surat RA Kartini pada kepada Stella, 18 Agustus 1899 dalam Simatur, 2014). WFH terkadang secara tidak sengaja mengekpose dan memamerkan kekayaan. Ramai di sosial media postingan yang entah disengaja atau tidak malah cenderung bersifat pamer/ria. Secara etis pamer rumah mewah atau pamer membeli mobil baru, tentu tidak dapat diterima, di tengah maraknya PHK dan tutupnya usaha kecil dan menengah akibat Corona.
Raden Adjeng Kartini mengajarkan kepada kita bahwa keningratan tidak harus dipamerkan. Kartini yang terlahir sebagai keluarga yang serba ada tidak lantas membuatnya terlena dan menikamati kemewahan. Ia tetap memikirkan bagaimana agar kaumnya dapat terbebas dari pingitan dan diperbolehkan mengeyam pendidikan setinggi-tingginya. Baginya, biarlah sederhana asalkan perempuan dapat mengenyam pedidikan yang tinggi. Karena RA Kartini meyakini pendidikan adalah kunci utama emansipasi manusia. Berkaaca dari semangat kesederhanaan Kartini, era Covid-19 kita jadikan momentum untuk merefleksi diri dan memaknai kesederhanaan pada posisi tertinggi.