"Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar."
(Surat Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899 dalam Simatur, 2014)
Seperti halnya Kartini, saat ini kita terpenjara di dalam rumah kita sendiri. Tidak hanya wanita yang tidak boleh keluar rumah, kita semua: tua/muda, pria/wanita, kaya/miskin semua disarankan untuk membatasi diri dari keluar rumah. Tentu kita sedikit beruntung dibanding Ibu kita Kartini, karena meskipun kita terpenjara di dalam rumah, setidaknya kita masih bisa bercanda ria dengan keluarga.
Kita masih dapat memanfaatkan internet untuk berkomunikasi dengan teman dan handai taulan. Kita juga masih dapat bermain game atau sekedar monton Televisi bersama keluarga.
Namun, kondisi kita berbeda dengan sosok bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat yang terlahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA Kartini dipingit tanpa ada keluarga yang bisa diajak bercanda tawa, tidak ada televisi atau drama Korea, tidak pula ada internet untuk bersosial media. Yang ada hanya tembok yang mengurungnya.
Namun demikian, keterbatasan tidak menyurutkan jiwa juangnya untuk memberontak demi menggapai cita-cita dan memperjuangkan hak-hak kaum wanita untuk berkaya dan meraih pendidikan yang lebih layak. Kartini tidak berjuang mengangkat senjata. Kartini tak perlu pula bergerilya bersama tantara. Namun ia berjuang dengan goresan pena.
Dengan kegigihan dan keberaniannya, ia berhasil meyakinkan pada siapa saja bahwa wanita harus memperoleh hak pendidikan yang sama, agar kelak dapat membantu dan membekali kodratnya sebagai ibu untuk anak-anak mereka. Pada tulisan ini, saya ingin berbagi tentang semangat juang yang dapat kita teladani di saat kita bernasib hampir sama denga RA Kartini: dikarantina di dalam rumah.
Semangat Keberanian dan Optimisme
Nilai juang pertama yang patut diteladani oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan adalah semangat keberanian dan optimisme. Meskipun RA Kartini dipingit, namun dengan berani ia berkirim surat dengan teman-temannya di Belanda. Pada saat itu, tidak banyak kaum wanita yang berani menyuarakan aspirasi, karena takut dianggap menyalahi kodrat wanita Jawa. Namun, Kartini berani menentang arus. Kartini berani menyalakan api di tengah kegelapan.
Akan tetapi, keberanian dan optimisme yang dicontohkan oleh RA Kartini adalah keberanian yang terukur. Keberanian yang telah dipertimbangkan dengan matang. Keberanian yang dilandasi keimanan kepada Tuhan. Sebagaimana surat yang ia kirimkan pada Nyonya Andendon, 12 Oktober 1902:
"Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah" (Simatur, 2014).