Mohon tunggu...
Diode Electra
Diode Electra Mohon Tunggu... lainnya -

apaaa ya,... buka fb ajja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Indonesia, Semua Bebas Bicara

17 April 2016   10:00 Diperbarui: 17 April 2016   11:48 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja puji dan Syukur kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Kuasa-Nya-lah, kita, orang Indonesia, kini bisa menikmati indahnya demokrasi. Dengan modal "demokrasi" itu pulalah setiap orang di Indonesia jadi bebas menyalurkan pendapatnya, seperti juga yang saat ini saya lakukan.

Bicara mengenai kebebasan berpendapat, akhir-akhir ini ada beberapa tulisan, yang cukup menarik hati saya untuk ikut berkomentar. Bebas saja, ini negara demokrasi, kan?

Pertama, mari kita baca terlebih dahulu tulisan seorang tokoh yang memiliki gelar dan jabatan cukup terpandang di Indonesia yang satu ini. 

[caption caption="say no to asbun"][/caption]

Tulisan di atas merupakan salah satu artikel yang dimuat di media nasional. Pada koran tersebut disebutkan bahwa si penulis adalah seorang Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR. Berbicara tentang pajak, mestinya professor ini merupakan ahli di bidang perpajakan, oleh sebab itu beliau dapat memberikan pandangannya tentang kasus pajak yang akhir-akhir ini mencuat, Panama Papers, dan Kematian Pegawai Pajak.

Karena penasaran dengan sosok yang mulia ini, maka penulis mencari biodata beliau. 

[caption caption="biodata dari merdeka.com"]

[/caption]

Tidak diragukan lagi, beliau ini adalah orang pintar, penerima beasiswa di Amerika, dan mendapat gelar doktor setelah menyelesaikan S3-nya di UI. Beliau merupakan ahli di bidang komunikasi dan menjadi pakar komunikasi politik. Adalah hal yang menarik jika seorang professor komunikasi politik menyampaikannya pandangannya tentang perpajakan dan kasus kriminalisasi aparat negara. 

Selanjutnya, mari kita sedikit mengulas tulisan beliau.

“Prada S. Siahaan 10 tahun bekerja di Direktorat Jenderal Pajak; 4 tahun terakhir ia ditempatkan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sibolga, Sumatera Utara, sebagai Juru Sita. Pangkatnyaa baru 2C. Itu berarti Prada pegawai negeri rendahan. Ia, bersama temannya sesama PNS aparat pajak, mati mengenaskan ditikam...”, paragraf satu.

“Pengusaha tersebut pasti sudah berkali-kali ditagih oleh aparat pajak untuk melunasi utangnya...”, paragraf tiga.

Paragraf pertama berisi pemaparan (yang menurut beliau adalah) sebuah fakta. Tapi tunggu dulu, benarkah faktanya demikian? Benar, Prada S. Siahaan merupakan pegawai 2C (yang disebut sebagai pegawai negeri rendahan, saya baru tahu kalau ternyata pegawai negeri juga dapat dikatakan memiliki status "rendahan", elok sekali dibaca). Pada paragraf ini juga disebutkan bahwa "Ia, bersama temannya sesama PNS aparat Pajak, mati...", pegawai pajak yang mati dalam kasus ini memang dua orang, satu orang merupakan PNS, dan seorang lagi adalah pegawai honorer. Dari paragraf ini, kita bisa mengetahui bahwa sang professor belum benar-benar mempelajari identitas korban penusukan tersebut.

Pada paragraf ketiga, sang professor menyatakan bahwa sang pengusaha yang melakukan penusukan pasti sudah berkali-kali ditagih. Terdapat kata "pasti" pada kalimat tersebut. Padahal polisi yang menangani kasus tersebut (pada saat tulisan tersebut dimuat) belum menyimpulkan apapun. Hebatnya, sang professor seolah sudah memiliki mata batin atau mendapatkan mukzizat untuk membaca masa lalu.

Kemudian pada paragraf selanjutnya, saya rasa sudah tidak perlu kita ulas, karena kita sudah bisa menebak ke mana arahnya. Atas tulisan tersebut, apa yang terjadi pada professor yang terhormat?

[caption caption="klarifikasi dan permintaan maaf?"]

[/caption]

Permintaan maaf atas keteledoran dan kealpaan karena telah melakukan tudingan. Ya, ini semua terjadi karena sang professor menanggapi peristiwa yang bukan bidangnya. Mungkin jika professor memberikan pendapat mengenai komunikasi utamanya komunikasi politik, artikelnya cukup valid, tentu saja ini hanya opini saya sebagai penulis (yang juga bisa salah).

Baiklah, kita sudah mengulas satu contoh. Mari kita lihat tulisan seorang dokter di media sosial (yang followernya sudah banyak) yang juga merupakan contoh kebebasan menyalurkan pendapat yang lainnya. 

[caption caption="contoh komentar"]

[/caption]

Sebelum mengulas pendapat pada gambar di atas, mari kita cari tahu dulu apa yang dimaksud "WTP" pada opini pemeriksaan. 

[caption caption="sumber : wikipedia"]

[/caption]

"opini wajar tanpa pengecualian" akan diberikan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material, ..., perusahaan/pemerintah telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum, ...

Jadi, dalam melakukan audit, seorang auditor (atau biasa juga disebut pemeriksa) itu tugasnya cukup "simple" yaitu hanya mencocokkan resume praktek (dituangkan dalam bentuk laporan keuangan) yang dilakukan oleh auditee (pihak yang diaudit atau diperiksa) dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Nah, jika praktek tersebut sudah sesuai dengan prinsip yang berlaku umum, maka BPK patut mengeluarkan opini WTP-nya. Apakah jika WTP berarti tidak ada korupsi? Oh, belum tentu. Karena kan sifatnya hanya mencocokkan, saya ulangi lagi, MENCOCOKKAN. Namun, memang terkadang melalui proses pencocokkan itu bisa ditemukan indikasi korupsi, sederhananya seperti itu (untuk lebih jelas, silahkan cari anak akuntansi dan tanyakan langsung, mungkin 3 sks cukup). 

Kembali mengulas postingan seeorang dokter mengenai opini BPK yang merupakan hasil MENCOCOKKAN tadi, setelah penulis amati, ternyata banyak follower sang dokter yang ikut berkomentar tanpa paham permasalahan yang ada. Kemudian terjadilah suudzon masal. Tentu saja hal ini menjadi keresahan, kegelian, dan tertawaan teman-teman yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi. 

[caption caption="status sang dokter bikin ketawa-ketiwi anak akuntansi"]

[/caption]

Apa jadinya jika sang dokter dan rumah sakit tempatnya bekerja tadi diminta klarifikasi oleh BPK atas status sang dokter di media sosial tersebut, ya? Coba tolong BPK sekali-kali melakukan tuntutan hukum pada pihak asbun di luar sana. 

Melalui sedikit contoh dan ulasan di atas, saya harap pembaca semua dapat memahami, bahwa berpendapat tentang sesuatu yang tidak kita kuasai merupakan suatu kejahatan yang mengerikan (iyalah, bisa jadi suudzon dan fitnah kan? Ingat, fitnah itu lebih kejam daripada membunuh). Jadi ada baiknya, sebelum kita asbun dan sotoy (saya suka mandi pake asbun dan makan sotoy betawi juga sih), ada baiknya dipikir terlebih dahulu kira-kira apa konsekuensi yang kita dapat. Beruntung sang professor hanya perlu mengklarifikasi tulisannya, beruntung sang dokter hanya jadi bahan tertawaan para akuntan dan auditor, tetapi terhadap konsekuensinya di akhirat (atas fitnah tersebut), apakah kita masih bisa katakan mereka beruntung?

Mari kita berpendapat dengan lebih smart. Nowadays democracy is free, but it is not free of consequences.

 

 

Terdapat beberapa jenis manusia di dunia ini, diantaranya :

orang yang memang benar-benar tahu dan bersikap demikian.
orang yang tahu, tetapi pura-pura tidak tahu.
orang yang tidak tahu dan menyadari serta mengakui ketidaktahuannya.
orang yang tidak tahu, tetapi sok tahu, dan tidak tahu kalau dia tidak tahu, tapi ngotot seolah-olah dia adalah pemimpin negara api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun